tirto.id - “Dalam rentang lima tahun, semua perusahaan akan menjadi perusahaan internet atau mereka tidak akan menjadi perusahaan apapun.”
Saat kalimat tersebut terucap, dunia internet masih dalam proses penjajakan. Masa depan internet, masih terasa samar dan tak menentu. Pada tahun 1999 itu, dengan cerdik Andrew Grove, mantan CEO Intel memberikan prediksinya akan masa depan dunia internet.
Memasuki tahun 2017 atau selepas 18 tahun ucapan itu keluar dari mulut Grove, dunia hampir didominasi oleh perusahaan-perusahaan berbasis internet. Google dan Facebook, mencuat menjadi perusahaan yang sukses mendominasi percakapan sehai-hari kita. Di sisi lain, perusahaan seperti Amazon, Alibaba, Lazada, dan Tokopedia, sukses mengubah bagaimana orang-orang menemukan barang yang dicari dan berbelanja tanpa perlu repot-repot beranjak dari tempat tinggal.
Untuk perubahan yang disebut terakhir, merujuk data yang dipacak dari Statista angkanya meningkat pesat. Pada 2016, e-commerce hanya menyumbang 8,7 persen terhadap penjualan ritel global. Pada tahun 2017 ini, sumbangsih e-commerce diprediksi meningkat menjadi 10,1 persen terhadap penjualan ritel global. Pada tahun 2012 mendatang, persentase perdagangan e-commerce terhadap penjualan ritel global diprediksi akan mencapai 15,5 persen.
Senada dengan peningkatan tersebut, data lain yang dipublikasikan Statista mencatat bahwa pada tahun 2017, penjualan retail e-commerce di seluruh dunia diprediksi mencapai angka $2,2 triliun. Pada tahun 2020 mendatang, total penjualan retail dari e-commerce diprediksi akan mencapai angka $4,4 triliun.
Secara sederhana, data-data tersebut mengungkapkan bahwa pertumbuhan dunia e-commerce akan terus berlanjut hingga tahun-tahun mendatang tak terkecuali terjadi pula di Indonesia.
Merujuk data dari penelitian bertajuk “The Opportunity of Indonesia” yang digagas oleh TEMASEK dan Google, pertumbuhan e-commerce Indonesia meningkat seiring dengan tumbuhnya penggunaan internet di Indonesia. Pada tahun 2015, terdapat 92 juta pengguna internet di Indonesia. Pada 2020 mendatang, diprediksi pengguna internet Indonesia akan meningkat menjadi 215 juta pengguna. Dari angka total pengguna internet tersebut, pada 2015, terdapat 18 juta orang pembeli online di Indonesia. Pada tahun 2025 mendatang, 119 juta orang diprediksi menjadi pembeli online di Indonesia. Maka tak heran, peningkatan tersebut akan mengerek nilai pasar e-commerce Indonesia. TEMASEK dan Google memprediksi bahwa nilai pasar e-commerce Indonesia akan mencapai angka $81 miliar pada tahun 2025.
Selain itu, penelitian yang digagas TEMASEK dan Google tersebut pula memprediksi bahwa Indonesia akan berubah menjadi pemain dominan dalam percaturan e-commerce terutama di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2015 lalu, Indonesia hanya menyumbang porsi 31 persen pada dunia e-commerce kawasan Asia Tenggara. Namun, pada tahun 2025 mendatang, Indonesia akan mengambil porsi hingga 52 persen pada dunia e-commerce di kawasan Asia Tenggara. Dengan kata lain, Indonesia ialah wilayah yang memiliki potensi sangat baik dalam ranah e-commerce.
Tipikal Konsumen e-Commerce
Perkembangan e-commerce yang cukup baik di Indonesia tersebut, tak lain disebabkan oleh pelaku e-commerce itu sendiri terutama tentu saja pembeli produk-produk yang dipampang dalam skema e-commerce. Hasil penelitian kolaborasi antara Google dan GfK mengungkapkan, di Indonesia, terdapat 4 tipe profil pengguna atau pembeli online. Tipe-tipe tersebut ialah Innovator, Early Adopter, Gaptek (Gap-Tech), dan Late Bloomers.
Tipe profil Innovator, merujuk penelitian tersebut, ialah mereka yang memiliki pendapatan tinggi, online dengan lebih dari satu perangkat, memperhatikan garansi suatu produk yang hendak dibeli, dan lebih menyukai melakukan pembayaran menggunakan internet banking, serta lebih suka jika toko online yang mereka kunjungi memiliki beragam metode pembayaran, termasuk juga beragam dalam bermacam kartu kredit yang ditawarkan. Selain itu, tipe profil Innovator merupakan mereka yang jauh lebih memilih menggunakan aplikasi ponsel pintar untuk berbelanja dibandingkan jalur lainnya semisal situsweb, baik versi desktop maupun mobile.
- Baca juga: Hati-hati dengan Ulasan Palsu di e-Commerce
Tipe ke-3, merupakan tipe yang disebut dengan istilah Gaptek alias Gap-Tech, yakni tipe dengan orang-orang yang memiliki jarak terhadap teknologi. Pada tipe ini, mereka yang masuk ke dalamnya cenderung memiliki pendapatan tinggi, online hanya dengan satu perangkat, lebih memilih mengakses situsweb versi mobile (M-Site) daripada aplikasi atau versi desktop, dan lebih memilih membayar menggunakan metode transfer ATM. Senada dengan tipe Early Adopter, tipe Gaptek juga merupakan tipe pemburu diskon pada toko online yang bertebaran. Yang menarik, orang-orang yang masuk tipe Gaptek, lebih menyukai memperoleh informasi langsung dari suatu brand atau merek produk yang hendak mereka beli, bukan pada informasi asing terhadap suatu produk yang hendak mereka beli.
Terakhir, ialah tipe Late Bloomers. Late Bloomers, memiliki ciri-ciri seperti cenderung memiliki pendapatan rendah, online hanya dengan satu perangkat, memanfaatkan segala kanal toko online baik desktop, m-site, maupun aplikasi, dan pada tipe ini, orang-orangnya tidak terlalu mementingkan toko online. Asalkan barang yang hendak dibeli tersedia, orang-orang yang masuk tipe ini akan langsung membelinya. Diketahui pula, orang-orang yang masuk tipe Late Bloomers ialah orang-orang yang lebih memilih metode COD (cash on delivery) alias bayar langsung terhadap produk yang mereka beli.
- Baca juga: Tempat Belanja Favorit Kelas Menengah
Secara umum, tiga tipe yakni Early Adopter, Gaptek, dan Late Bloomers, cenderung memegang konsep tangibility concerns. Artinya, mereka sangat mungkin tidak jadi membeli produk dari toko online jika suatu produk atau barang yang hendak dibeli tidak dapat disentuh atau dirasakan oleh orang-orang yang masuk ke dalam tipe ini. Selain itu, informasi offline atau dari mulut ke mulut suatu produk dan toko online, merupakan salah satu faktor penting bagi pengguna atau pembeli produk toko online mengambil keputusan. Semaking direkomendasikan, semakin tinggi kemungkinan suatu produk dibeli atau suatu toko online dikunjungi.
Profil pengguna atau pembelanja online Indonesia tersebut jelas sangat berguna bagi pelaku industri e-commerce tanah air. Metode pembayaran misalnya, dari ke-4 tipe di atas, terdapat ragam metode pembayaran yang disenangi mulai dari COD, transfer ATM, hingga internet banking. Toko online yang bisa mengakomodasi segala rupa metode pembayaran, akan memungkinkan diakses oleh ke-4 tipe di atas.
Secara umum, merujuk data yang dipublikasikan Statista, pembayaran dengan metode kartu kredit berada di posisi pertama. Persentasenya ialah mencapai angka 42 persen. Membayar memanfaatkan pembayaran elektronik seperti Paypal, berada di posisi ke-2 dengan 39 persen. Penggunaan kartu debit, masuk ke urutan ke-3 dengan persentase sebesar 28 persen.
Dari tiga besar metode pembayaran yang disukai secara internasional tersebut, jika merujuk penelitian yang dilakukan Google dan GfK, tak ada yang masuk dalam tipe-tipe pengguna atau pembeli online di Indonesia. Metode COD dan transfer ATM, dari catatan yang dipublikasikan Statista tersebut, berada di posisi ke-4 dan ke-5 dengan 23 persen dan 20 persen persentasenya.
Orang-orang Indonesia bisa dikatakan memilih jalan berbeda perihal metode pembayaran. Tapi, merujuk pemaparan tersirat yang dilakukan oleh Henky Prihatna, Head of E-commerce pada Google Indonesia dan Melissa Siska Juminto, Vice President of Business pada Tokopedia, tingkat adopsi kartu kredit yang rendah sangat mungkin menjadi penyebab rendahnya adopsi metode pembayaran dengan kartu kredit di Indonesia.
Selain soal metode pembayaran, dari penelitian tersebut pula diketahui bahwa pembelanja online di Indonesia sensitif terhadap harga. Hal ini, senada dengan data yang dipacak dari Statista. Insentif pembelanja online seperti gratis ongkos kirim dan diskon atau kupon, merupakan beberapa faktor yang mendorong orang untuk berbelanja di toko online Amazon pada kuartal-4 tahun 2016 kemarin. Ongkos kirim gratis, menjadi pendorong orang berbelanja di Amazon sebanyak 63 persen. Sedangkan diskon atau kupon, menjadi pendorong orang berbelanja dengan 41 persen.
Proses Belanja Online
Secara umum, merujuk pemaparan yang dilakukan Henky, terdapat 5 tahapan model proses belanja online. Pertama-tama ialah tahap Initial Research, Further Research, Purchasing, Order Fullfilment, dan Post Purchase. Pada tiap tahap, terdapat indikator-indikator yang menentukan apakah seorang pembeli online akan melanjutkan ke tahap selanjutnya ataukah tidak.
Di tahap Initial Research, faktor kecepatan loading suatu situsweb atau aplikasi toko online sangat berpengaruh. Semakin cepat loading, semakin disukai pengunjung. Selain itu, di tahapan ini kejelasan informasi pada produk yang dijual sangat berpengaruh terhadap kelanjutan pengunjung apakan ia lanjut ke tahap berikutnya atau tidak. Produk dengan informasi yang tidak jelas, akan mudah ditinggalkan oleh konsumen.
Pada tahapan Further Research, ketersediaan produk ialah sesuatu yang menjadi faktor utama keberlanjutan suatu proses belanja. Ada tidaknya produk yang tersedia, akan menjadi penentu seseorang berbelanja. Kemudian, pada tahapan Purchasing, proses berbelanja yang mudah ialah faktor yang menjadi penentu. Banyaknya metode pembayaran dan proses mudah, ialah kunci di tahapan ini.
Selanjutnya, pada tahapan Order Fullfillment, faktor kecepatan antar barang menjadi faktor penentu bagi pembelanja online loyal terhadap suatu toko online. Makin cepat barang sampai, makin terpercaya suatu toko online.
Terakhir, pada tahapan Post Purchasing, kepastian proses return atau balik barang ialah suatu hal yang didambakan segenap orang-orang yang melakukan proses belanja online di suatu toko online. Jika toko online menyediakan garansi return, toko online tesebut akan semakin disukai konsumen.
Sementara itu, merujuk jurnal berjudul “e-Consumer Online Behavior: A Basis for Obtaining e-Commerce Performance Metrics” karya Pece Mitrevski dam Ilija Hristoski, setidaknya terdapat 3 model alur atau tahapan belanja online. Ke-3 model itu ialah State Diagram, CBMG Diagram, dan CSID Diagram.
Pada model State Diagram, terdapat 3 proses tahapan pembelanja online. Pertama ialah tahap stimulus untuk mengunjungi toko online, kemudian tahap proses berbelanja hingga meninggalkan toko online tersebut, dan tahap terakhir ialah tahapan seperti layanan pelanggan selepas pembelian.
Pada model CBMG alias Customer Behavior Model Graph Diagram, pengumpulan informasi pembeli online merupakan salah satu faktor utama. Model CBMG, menekankan pada suatu toko online yang bisa menangkap tingkah laku pengunjungnya.
Terakhir, ialah model CSID atau Client/Server Interaction Diagram. Pada model ini, penekanan interaksi antara pelanggan dan toko online, merupakan suatu yang utama.
Pada dasarnya, model State Diagram merupakan model standard. Model CBMG dan CSID merupakan pengembangan lebih lanjut. Apa yang dipaparkan Henky, masuk ke dalam model State Diagram dengan ragam faktor baru yang menjadi poin kunci keputusan sorang pembeli online apakah akan menajutkan proses transaksi atau belanjanya ataukah tidak.
Meskipun diprediksi e-commerce Indonesia akan bersinar dalam tahun-tahun mendatang, beberapa tantangan untuk lebih mematangkan dunia e-commerce Indonesia jelas harus segera diselesaikan. Profil pengguna atau tukang belanja online Indonesia, dapat menjadi pijakan yang baik untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dunia e-commerce di Indonesia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti