tirto.id - “Saya belanja di toko online sudah 10 hari belum nyampe barangnya sudah inbox, WA ke penjual tapi tak ada respons sudah berkali email ke CS tapi selalu diulur terus nggak bisa ngatasin masalah ini tolong kepada lembaga YLKI untuk menegur toko belanja seperti ini yang bukannya mempermudah pembeli untuk berbelanja.”
Curhatan Dewi ini mungkin mewakili para konsumen yang sering berbelanja online. Hak barang seorang konsumen yang seharusnya sudah di tangan, bisa tapi tak jelas keberadaannya.
Kejadian semacam ini tak hanya sebatas curhatan belaka. Laporan-laporan konsumen saat berbelanja dengan sistem online kini berbuah laporan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Beberapa tahun terakhir YLKI cukup kenyang menerima aduan konsumen yang merasa dirugikan saat merasakan pengalaman pahit berbelanja online.
Refund Hingga Persoalan Data Pribadi
Pada 2014, aduan tentang belanja online tidak masuk dalam 10 besar pengaduan di YLKI, tapi tahun berikutnya pengaduan soal belanja online malah menduduki peringkat keempat laporan yang paling banyak diadukan konsumen. Pada 2016, keluhan tentang e-commerce meningkat ke posisi ketiga.
Dalam laporan YLKI yang berjudul “Bedah Pengaduan Konsumen 2015”, dari 77 kasus terkait belanja online yang diadukan ke YLKI, 20 persen atau 16 kasus diantaranya tentang kendala menarik kembali (refund) biaya yang telah disetorkan, lalu 16 persen atau 13 kasus tentang informasi produk yang tidak sesuai dengan barang, dan 15 persen atau 12 kasus proses pengiriman lama 12 kasus, dan lainnya.
Dalam perkara refund misalnya, konsumen dalam posisi sangat lemah ketika barang yang ditawarkan melalui internet ternyata tidak sesuai dengan barang yang dikirim. Dalam kondisi seperti ini, konsumen sebenarnya memiliki opsi untuk membatalkan. Kenyataannya konsumen mengalami kesulitan saat melakukan refund.
Persoalan lain juga membayangi hak-hak konsumen yaitu soal keamanan data pengguna. Data-data pribadi seperti nomor handphone, email, hingga yang paling sensitif seperti jejak data kartu kredit masih menjadi risiko bagi pegiat belanja online. Setiap toko online memang menampilkan ketentuan data privasi, dan biasanya ada komitmen untuk menjaga data konsumen. Namun, sering kali ada embel-embel pengecualian seperti contoh yang terekam dalam ketentuan kebijakan privasi di marketplace Tokopedia.
“Setiap informasi/data Pengguna yang disampaikan kepada Tokopedia dan/atau yang dikumpulkan oleh Tokopedia dilindungi dengan upaya sebaik mungkin oleh perangkat keamanan teruji, yang digunakan oleh Tokopedia secara elektronik. Meskipun demikian, Tokopedia tidak menjamin kerahasiaan informasi yang Pengguna sampaikan tersebut, dalam kondisi adanya pihak-pihak lain yang mengambil atau mempergunakan informasi Pengguna dengan melawan hukum serta tanpa izin Tokopedia.”
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi termasuk yang mewanti-wanti persoalan data pribadi konsumen saat bertransaksi online. Penyelenggara toko online harus memberikan komitmen tertulis bahwa data pribadi konsumen hanya untuk keperluan transaksi saja tidak untuk kepentingan yang lain seperti promosi, bahkan diperjualbelikan. YLKI mengimbau bila tidak ada komitmen tertulis, konsumen sebaiknya tak menggunakan transaksi online di toko yang bersangkutan karena berisiko tidak aman.
“Itu yang paling rawan dan konsumen mayoritas tidak paham, dan produsen mayoritas belum punya itikad baik untuk melindungi data pribadi konsumen,” kata Tulus kepada tirto.id.
Persoalan data pribadi hanya satu aspek perlindungan konsumen yang masih terabaikan di jagad perdagangan online. Iming-iming diskon yang belum tentu terbukti sesuai kenyataan, juga persoalan keaslian dan standar wajib produk, kualitas barang yang tak sesuai dengan yang dijanjikan penjual, dan seabrek masalah lain. Belum lagi persoalan sengketa atau penipuan yang melibatkan e-commerce di luar negeri. Kesemuanya itu bermuara dari ketiadaan aturan secara khusus yang mengatur tentang e-commerce, sehingga menempatkan konsumen pada posisi yang sangat lemah.
Prinsip perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara online maupun non online secara normatif memang diatur oleh UU Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada pasal 1 ayat 1 bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga menyinggung soal Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronika (UU ITE) yang belum lama ini direvisi juga sering menjadi landasan transaksi elektronik. Namun, kesemuanya masih bersifat umum tak secara khusus mengatur soal perlindungan konsumen pada perdagangan online.
Saat ini, rancangan PP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP TPMSE) masih digodok, diantaranya akan mengatur lebih rinci soal kejelasan identitas dan legalitas pelaku usaha toko online, kejelasan karakteristik barang yang ditawarkan, kejelasan harga dan cara pembayaran barang, dan kejelasan cara penyerahan barang ke konsumen.
Aturan khusus soal e-commerce merupakan bagian dari turunan UU Perdagangan dan peta jalan e-commerce Indonesia yang merupakan paket kebijakan ekonomi jilid XIV. Ada tujuh hal yang menjadi fokus utama antara lain persoalan pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan SDM, infrastruktur komunikasi, logistik dan keamanan siber.
Belanja online sebagai bagian dari sebuah cara transaksi masih memungkinkan memunculkan sebuah sengketa dan penipuan. Apalagi persoalan perlindungan terhadap hak-hak konsumen masih menjadi pertanyaan besar dan sering kali terabaikan. Adanya payung hukum yang jelas memang sebuah angin segar, tapi prinsip utama sebagai konsumen harus tetap berhati-hati saat bertransaksi, tak kecuali via online.