tirto.id - Kibaran bendera Cina dan Etiopia meramaikan stasiun-stasiun dan lintasan jalur layang kereta ringan atau light rail transit (LRT), Minggu 20 September 2015 lalu. Itulah untuk pertama kalinya transportasi massal LRT di Addis Ababa, Etiopia beroperasi.
Warga Kota Addis Ababa menyemut untuk mengantre di setiap stasiun LRT. Kehausan mereka terhadap transportasi massal yang ditunggu-tunggu akhirnya terpuaskan. Lambaian tangan para warga kota tak henti-hentinya saat gerbong LRT membelah kota di hari pertama, menandakan kegembiraan era transportasi modern di ibu kota berpenduduk 4 juta jiwa itu.
“Hari ini salah satu hari yang diingat dalam sejarah transportasi di Etiopia, terima kasih untuk semua stakeholder dan pihak yang sudah berpartisipasi di proyek ini. Selamat untuk rakyat Etiopia,” kata Menteri Transportasi Etiopia Workneh Gebeyehu.
Etiopia boleh berbangga, mereka mampu punya transportasi massal yang bisa diandalkan seperti LRT, menyusul rekan sebenua mereka di Afrika Utara seperti Tunisia, Maroko, dan Algeria yang sudah punya jaringan LRT dan trem. Keberhasilan Etiopia mampu menginspirasi negara-negara tetangganya, yang juga meniru langkah besar negara di sisi timur benua Afrika ini.
Berani Memulai
Kegembiraan warga Kota Addis Ababa tahun lalu, bisa merasakan transportasi yang bisa diandalkan, terjangkau bagi kantong warga tak hadir begitu saja. Mereka harus menunggu tiga tahun lamanya. Sebelum ini, warga hanya mengandalkan transportasi tradisional mini vans, perpaduan taksi dan bus yang jauh dari kata layak. Mereka tak punya alternatif lain selain transportasi yang tidak layak tersebut. Secercah harapan muncul kala ide untuk pembangunan LRT muncul.
LRT di Addis Ababa mulai konstruksi sejak Januari 2012, dan memasuki masa uji coba Februari 2015. Tak mudah memang bagi negara dunia ketiga membangun transportasi modern, sempat ada kegamangan dari pemerintah mereka yang masih fokus pada persoalan pangan dan papan rakyatnya.
Keputusan berani pemerintah Etiopia empat tahun lalu kini sudah terbayar. Berawal dari penandatangan kontrak proyek LRT senilai 475 juta dolar AS pada 2009, era transportasi modern dimulai di Etiopia. Dengan nilai proyek sebesar itu, Addis Abba kini punya dua koridor jalur LRT yang totalnya 34,3 km, terdiri dari koridor utara-selatan dari Menelik Square-Kaliti sepanjang 16,9 km dan 17,4 km untuk koridor barat-timur dari Ayat-Tor Hailoch.
Hampir setahun LRT Addis Ababa beroperasi. Sambutan positif warga pun masih tetap tinggi sama seperti awal kali pertama LRT hadir di kota mereka. Wajar saja, dengan cukup merogoh kantong senilai 6 birr Etiopia, setara 0,193 dolar AS atau sekitar Rp2.500, penumpang bisa menikmati perjalanan LRT sejauh 17 km.
“Saya menghabiskan lebih dari 60 birr untuk menjalankan tugas saya sehari-hari, dengan waktu yang terbuang karena kemacetan. Sekarang, itu adalah masa lalu dan saya menghabiskan hanya 4 birr (dengan LRT),” kata Mehert Endle seorang warga Addis Ababa dikutip dari Chinadaily.
Mehert Endle hanya salah satu dari ribuan warga Addis Ababa yang menikmati fasilitas modern ini setiap hari. Ada 60.000 orang per jam bisa terangkut dari dua jalur LRT. Semenjak berhasil mengoperasikan jalur pertama LRT pada 20 September, yang kemudian disusul pada 9 November 2015 untuk jalur kedua, Etiopia menjadi panutan negara-negara lainnya. Beberapa ibu kota dari negara seperti Kenya, Uganda, Nigeria ikut memulai proyek LRT.
Ramai-ramai Bangun LRT
Berselang sebulan ketenaran Etiopia memiliki LRT untuk jalur yang kedua sepanjang 17,4 km, Uganda mulai tergiur. Pada pertengahan Desember 2015, pemerintah Uganda menandatangani proyek LRT dengan investor untuk pengadaan jalur kereta ringan di Ibu Kota Kampala.
Fase pertama proyek ini menelan dana 440 juta dolar AS, untuk rute melayang sepanjang 35 km, yang ditargetkan selesai pada 2020. Ini hanya pijakan awal dari ambisi Uganda menjadikan ibu kota mereka terkoneksi dengan kota sekitar. Untuk jangka panjang akan dibangun jalur sepanjang 240 km menghubungkan dengan kota pendukung seperti Entebbe, Nsangi, dan Wakiso.
Setelah Uganda, Kenya rupanya juga tak mau kalah cepat. Berjeda hanya dua bulan setelah kontrak jutaan dolar LRT Uganda. Presiden Kenya Uhuru Kenyatta pada 19 Februari mengumumkan kabar yang cukup mengejutkan. Mereka juga akan memulai proyek LRT pada Juni 2016 untuk membelah kepadatan lalu lintas di Nairobi-Mombasa. Rencananya akan ada 300.000 orang per hari akan terangkut dengan LRT yang menelan biaya 150 juta dolar AS ini.
Dari negara-negara Afrika yang seolah sedang berlomba, Nigeria seperti pecundang. Padahal Nigeria salah satu yang pertama merintis pembangunan transportasi massal di benua hitam ini. Ketika Etiopia sudah memulai pembangunan LRT, Nigeria justru diterpa penundaan proyek karena masalah pendanaan yang dianggap terlalu besar.
Akhir tahun ini Nigeria berambisi bisa menuntaskan proyek jalur pertama LRT yang sempat tertunda. LRT yang membelah Kota Lagos ini seharusnya sudah selesai pada 2011. Persoalan pendanaan memang menjadi hal krusial dalam pembangunan transportasi massal, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Bandar LRT di Afrika
Negara-negara Afrika mampu memulai dan membuktikan bisa merealisasikan proyek LRT yang menyedot dana tak sedikit. Lalu dari mana dana-dana mereka? Cina lah jadi lumbung uang Etiopia hingga Nigeria. Cina juga yang mewujudkan mimpi membangun transportasi modern di Afrika.
“Etiopia teman yang sangat dekat bagi Cina di Afrika. Jadi, hubungan kedua negara hampir di semua bidang. Ini berjalan begitu pesat, termasuk di sektor infrastruktur transportasi perkotaan,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Cina Zhang Ming dikutip dari ebc.et.
Pernyataan Zhang ini disampaikan Desember lalu, tepat sebulan setelah peresmian jalur kedua LRT Addis Ababa. Bak seorang bos yang ingin melihat hasil sumbangsihnya, sang wakil menteri menjajal kondisi LRT dari pendanaan mereka. Dana-dana segar Cina mengalir ke berbagai proyek LRT di Nigeria, Etiopia, dan Uganda. Hanya Kenya yang menggunakan dana Hungaria untuk proyek kereta ringannya.
Cina Railway Group (CREC) mengucurkan dana 475 juta dolar AS untuk LRT Addis Ababa melalui Export-Import Bank of China. Selain pembiayaan, Cina punya hak mengoperasikan LRT buatan mereka. Yang menarik, ini untuk kali pertama perusahaan Cina mengoperasikan langsung proyek transportasi perkotaan di Afrika,
Di sini lah kecerdikan Cina, selain mengucurkan uang untuk membangun, Cina juga memaksimalkan apa yang mereka miliki. Selain tenaga kerja Cina yang ikut terlibat dalam proyek di LRT Etiopia, perusahaan teknologi mereka juga ikut masuk. Misalnya saja, Huawei dipercaya sebagai perusahaan yang menyediakan sistem komunikasi nirkabel dalam LRT Addis Ababa.
Cina dengan kekuatan modalnya telah menjadikan Afrika sebagai pasar utama dari proyek-proyek infrastruktur. Ini akan sulit dilakukan oleh negara lain. Berdasarkan laporan Baker & McKenzie, Export-Import Bank of China menyediakan dana segar 1 triliun dolar untuk membiayai infrastruktur di Afrika pada dekade ini. Cina juga disebut-sebut ada di belakang 80 persen pembiayaan pembangunan infrastruktur di benua hitam.
Kiprah sumber dana Cina di proyek infrastruktur juga terjadi di Indonesia melalui kereta cepat Jakarta-Bandung dengan kucuran dana sekitar Rp80 triliun. Namun untuk LRT, pemerintah lebih memilih cara lain. Pembiayaan jalur LRT Jabodetabek tahap pertama dengan total 42,1 km mencakup Cibubur-Cawang 13,7 km, Cawang-Dukuh Atas sepanjang 10,5 km dan Bekasi Timur-Cawang 17,9 km menggunakan dana APBN.
Kontrak proyek LRT tahap pertama diperkirakan senilai Rp20 triliun, melalui penugasan kepada BUMN PT Adhi Karya. LRT tahap pertama targetnya baru diselesaikan pada kuartal I-2018. LRT juga dibangun oleh pemerintah di Palembang dan DKI Jakarta untuk menyambut Asian Games 2018.
"Sudah saatnya kita mulai pekerjaan yang tertunda. Pekerjaan ini jangan ditunda lagi karena kemacetan Jakarta sudah akut," pesan Presiden Jokowi saat groundbreaking LRT pada 9 September tahun lalu.
Indonesia memang kalah cepat dengan Etiopia, Afrika dalam membangun LRT, tapi setidaknya bisa mandiri membangun LRT dengan sumber dana dan kemampuan di dalam negeri. Namun, jangan sampai jadi alasan proyek LRT yang mendesak ini molor dari target. Bila tak mau malu dua kali dengan Etiopia Afrika yang publiknya sudah wara-wiri dengan LRT sejak tahun lalu.