Menuju konten utama

Tunjangan Rumah Anggota DPR saat Rakyat Sulit Dapat Hunian Layak

Persoalan tunjangan rumah menandakan DPR sering memulai periode baru dengan kegaduhan terkait fasilitas ketimbang urusan rakyat.

Tunjangan Rumah Anggota DPR saat Rakyat Sulit Dapat Hunian Layak
Suasana dan kondisi rumah anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan. (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

tirto.id - Rumah dengan dua lantai bercat putih itu terasa lega tak berpenghuni. Di balkon atas, pagar berwarna hitam berdiri lusuh. Cat tembok bernuansa maroon memoles dinding di lantai dua. Tanaman-tanaman di pekarangan rumah tertata seadanya dan mulai meranggas.

Begitu sekiranya kesan reporter Tirto ketika berkunjung ke salah satu rumah dinas anggota DPR RI di kompleks Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI, di Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024).

Seturut pantauan Tirto, rumah dinas anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan, tampak masih layak untuk ditempati.

Total rumah anggota dewan di kompleks Kalibata ini ada sebanyak 500 unit. Masing-masing hunian memiliki luasan sekitar 191,77 meter persegi. Cat rumah memang sudah kelihatan lusuh dan beberapa plafon rumah di daerah itu mulai mengelupas. Kendati demikian, tak ada kerusakan parah di rumah-rumah tersebut sehingga masih sangat layak untuk ditempati.

Pantauan Tirto jauh berbeda dengan pernyataan Sekjen DPR RI, Indra Iskandar, yang menyatakan rumah-rumah dinas untuk anggota DPR tak layak huni dan banyak yang rusak. Dalih ini menjadi salah satu alasan kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR sebagai pengganti fasilitas rumah dinas.

Selain itu, kompleks perumahan anggota DPR juga turut dilengkapi pengamanan ketat dan petugas kebersihan. Saat Tirto menyambangi kompleks itu, terlihat para petugas kebersihan masih tetap melakukan kegiatan bersih-bersih. Bahkan, banyak rumah masih berpenghuni.

Ketika Tirto datang ke salah satu blok di Kompleks rumah dinas DPR, hanya ada dua rumah yang kosong. Rumah ini kebanyakan diisi oleh staf anggota dewan, meskipun ada juga DPR yang dikabarkan menempati rumah di kompleks Kalibata ini.

Pantauan ini didukung oleh kesaksian dari salah satu petugas masjid di kompleks tersebut. Dia menyebut ada rumah dinas yang ditempati oleh anak anggota dewan. Selain itu, ada pula rumah dinas yang ditempati staf anggota DPR.

Namun, menurut dia kebanyakan rumah dinas memang sengaja dibiarkan kosong. Petugas yang tidak bersedia disebut namanya ini menyebut, para anggota DPR lebih memilih untuk menempati rumah pribadi mereka sendiri.

"Karena, memang beliau [para anggota DPR] punya rumah sendiri,” ucap dia saat ditemui Tirto, Senin (7/10/2024).

Menurutnya, wajar rumah dinas DPR terlihat rusak karena memang tidak ditempati. Kendati demikian, para petugas tetap melakukan perawatan rumah setiap bulan. Namun, terkadang rumah-rumah dinas tersebut kerap dijadikan tempat singgah penghuninya. Itu terjadi ketika para anggota dewan menerima tamu dari luar daerah.

"Rumah buat singgah kalau ada tamu dari daerah. Kalau enggak, tinggal di rumah sendiri," tutur petugas itu.

Kondisi rumah dinas anggota DPR

Petugas Pamdal DPR berjaga di kawasan rumah jabatan anggota DPR, Kalibata, Senin (7/10/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.

Tampaknya, kondisi kompleks rumah dinas DPR di Kalibata akan semakin sunyi ke depan. Pasalnya, Anggota DPR RI periode 2024-2029 tak lagi mendapatkan RJA, sebagaimana termaktub dalam surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diteken Sekretariat Jenderal DPR RI.

Surat itu diterbitkan pada 25 September 2024. Sebagai gantinya, anggota dewan bakal mendapat uang tunjangan untuk perumahan setiap bulan.

Rencana ini menuai protes dari publik karena dinilai tak memiliki urgensi. Terlebih, tunjangan ini berpotensi besar menambah beban anggaran negara. Diperkirakan, satu anggota DPR mereguk sedikitnya Rp30-Rp 50 juta per bulan, jika menyesuaikan harga properti di Jakarta.

Indra Iskandar mengatakan total tunjangan anggota DPR RI kemungkinan di atas Rp70 juta per bulan, lantaran tak lagi mendapatkan fasilitas rumah jabatan anggota (RJA). Indra mengatakan, kalkulasi besaran tunjangan rumah DPR masih dikaji.

Nominalnya diperkirakan lebih besar dibanding dengan tunjangan anggota DPRD di sejumlah daerah yang berkisar Rp40 juta-Rp50 juta per bulan untuk perumahan. Sebab, harga properti di Jakarta lebih mahal ketimbang wilayah Indonesia lainnya. Bahkan tunjangan untuk rumah anggota anggota DPRD Jakarta ada di angka Rp70,4 juta.

“Itu di daerah lho harga properti logikanya di daerah dan DKI pasti berbeda,” kata Indra usai meninjau rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024).

Indra menyatakan, setiap hari pihaknya menerima sebanyak 15-20 keluhan dari anggota DPR dalam aplikasi perawatan rumah jabatan Kalibata (Perjaka). Ia menyebut mayoritas keluhan karena atap rumah bocor.

Ia menambahkan, kondisi di luar juga kebanjiran ketika musim hujan. Hal itu, kata Indra, dipicu selokan yang menyempit. Tak jarang, air masuk ke dalam rumah ketika musim hujan. Jika rumah tersebut direnovasi ia khawatir akan mengganggu aktivitas para anggota DPR RI.

"Kalau enggak gitu, khususnya pada musim hujan, itu juga mengganggu konsentrasi juga buat anggota dewan yang bekerja tuh rumahnya ada bocoran, kemudian hama-hama lain," tutur Indra.

Saat dihubungi Tirto, Jumat (4/10/2024) pekan lalu, Indra berkata, pemeliharaan rumah dinas DPR yang sudah tua dianggap lebih mahal ketimbang memberikan uang tunjangan perumahan. Indra berkata lembaganya memilih memberikan tunjangan karena dinilai lebih bermanfaat.

Indra mengatakan, uang tunjangan perumahan akan dimasukan dalam komponen gaji, sehingga diberikan setiap bulan kepada para anggota DPR RI. Menurut Indra, menjadi hak para anggota dewan untuk menggunakan uang tunjangan tersebut.

"Mau sewa, mau beli, dia punya uang mukanya dari sendiri, atau dia punya rumah di seputar Jabodetabek, itu kan hak masing-masing," kata Indra.

Tidak Urgen bagi Elite

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menilai keputusan pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR memang mengesankan ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi yang sedang sulit.

Padahal, pemerintah diharap lebih fokus pada pemulihan ekonomi rakyat, termasuk penyediaan perumahan yang layak bagi masyarakat umum yang berjuang mendapatkan akses terhadap rumah terjangkau.

Dari segi urgensi, kata Nisa, argumen bahwa rumah dinas DPR akan dihentikan mungkin menjadi alasan administratif untuk mengambil kebijakan ini. Namun, jika kompleks rumah dinas DPR masih layak huni, maka keputusan memberikan tunjangan sewa dengan nominal besar justru menimbulkan pertanyaan.

“Mengapa rumah dinas yang masih layak tidak dipertahankan, dioptimalkan, atau diperbaiki agar dapat terus digunakan oleh anggota DPR? Alih-alih menghentikan penggunaannya,” kata Nisa dihubungi reporter Tirto, Senin (7/10/2024).

Seharusnya pengambil kebijakan dapat mempertimbangkan pengelolaan aset yang efisien dibandingkan mengeluarkan tambahan anggaran besar sebagai tunjangan sewa rumah. Nisa menilai, meski nominal anggaran belum ditetapkan, perkiraan angka yang bisa tembus puluhan juta bagi setiap anggota DPR per bulan berpotensi membebani anggaran negara secara signifikan.

“Misalnya, jika setiap anggota DPR menerima tunjangan Rp50 juta per bulan, maka total anggaran yang diperlukan mencapai miliaran per bulan. Angka ini bukan jumlah kecil, terutama jika dilihat dari prioritas alokasi anggaran yang lebih dibutuhkan,” jelas Nisa.

Nisa memandang wajar jika kebijakan ini menimbulkan kontroversi di masyarakat, terutama dalam konteks kesenjangan antara elite politik dan rakyat. Ketidakadilan makin besar ketika tunjangan tersebut diberikan kepada pejabat yang pada dasarnya sudah memiliki berbagai fasilitas lain.

Kebijakan ini seperti menciptakan jurang pemisah yang lebih lebar antara kebutuhan rakyat dan fasilitas yang diberikan kepada elite politik. Jika anggaran sebesar itu dialokasikan untuk program perumahan rakyat, dampaknya dinilai akan lebih dirasakan masyarakat luas yang lebih membutuhkan.

“Sementara rakyat masih kesulitan mendapatkan akses terhadap perumahan layak,” ujar Nisa.

Rumah Dinas DPR RI di Kalibata

Suasana dan kondisi rumah anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan. (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

Sementara itu, Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, memandang kebijakan DPR terbaru ini jelas menunjukkan ironi yang kontras dengan kondisi rakyat.

Di satu sisi, kata Felia pemerintah sendiri masih menghadapi pekerjaan rumah besar memenuhi kebutuhan perumahan rakyat, dengan kekurangan hampir 10 juta unit rumah.

Berdasarkan data Kementerian PUPR tahun lalu, jumlah backlog [kekurangan] kepemilikan hunian di Indonesia mencapai 9,9 Juta rumah tangga dan backlog Rumah Tidak Layak Huni mencapai 26,9 Juta rumah rangga. Rumah Tidak Layak Huni dikategorikan sebagai rumah dengan kualitas bangunan tidak layak, overcrowded, sanitasi buruk dan akses air minum yang kurang memadai.

“Di sisi lain, ada kebijakan yang mengutamakan kenyamanan bagi anggota DPR, dengan tunjangan sewa rumah yang mewah, dan gaji dan tunjangan lainnya yang lebih dari cukup namun dengan kinerja dan komitmen yang masih berpolemik,” ucap Felia kepada reporter Tirto, Senin (7/10).

Langkah ini menunjukkan ketidakselarasan terhadap prioritas kebijakan publik. Hal ini, dapat menimbulkan kritik bahwa pemerintah lebih fokus pada kenyamanan elite.

Hal ini dilakukan dengan melanggengkan kebijakan yang mendukung posisi politik daripada menuntaskan masalah mendasar yang dihadapi rakyat.

Menurut Felia, wajar saja jika kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR disebut tidak peka terhadap kondisi pubik. Banyak rakyat yang masih berjuang menghadapi kesulitan dan ketidaksetaraan kondisi ekonomi.

Pemberian tunjangan kepada anggota DPR juga pantas dikritisi karena tidak diimbangi oleh kinerja parlemen yang optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Kinerja legislasi yang tidak transparan dan abai partisipasi publik, pelaksanaan fungsi parlemen dalam mengawasi pemerintah juga tidak optimal.

“Membuat pemberian tunjangan ini tidak tepat dan tidak relevan dalam mendorong DPR berfungsi sebagaimana mestinya secara optimal,” ucap Felia.

Penyerapan KPR subsidi

Warga berjalan di depan rumah subsidi di Serang, Banten, Kamis (8/8/2024). PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) mencatat hingga Juni 2024 kelompok milenial menyumbang penyerapan kredit kepemilikan rumah (KPR) subsidi sebanyak 465.621 unit atau setara Rp68,5 triliun yaitu naik dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya hanya 425.070 unit. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/nym.

Dahulukan Dulu Urusan Rakyat

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, merasa heran, karena DPR sering memulai periode baru dengan kegaduhan terkait fasilitas. Seakan-akan layanan dan kenyaman pribadi lebih didahulukan ketimbang urusan rakyat.

“Rakyat kebanyakan yang masih kesulitan karena lesunya perekonomian,” kata Lucius.

Proses keputusan untuk meniadakan rumah dinas dan menggantinya dengan tunjangan juga disebut bermasalah. Dia menilai seharusnya yang dilakukan terlebih dahulu diskusi publik, namun kesannya kebijakan ini diambil diam-diam oleh DPR periode sebelumnya.

“Kok kesannya kalau soal rumah saja jadi pembicaraan di awal periode begini, anggota DPR seperti begitu bernafsunya mengejar harta?,” ucap Lucius.

Baca juga artikel terkait DPR RI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto