Menuju konten utama

Menyoal Komposisi Pimpinan Baru DPR: Parlemen Tetap Macan Ompong

Masyarakat sipil dan media bisa terus mendorong DPR untuk kembali ke khittah-nya.

Menyoal Komposisi Pimpinan Baru DPR: Parlemen Tetap Macan Ompong
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan pidato saat memimpin Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025 Keanggotaan DPR RI 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

tirto.id - Komposisi pimpinan DPR RI masa bakti 2024-2029 seolah hanya mengulang potret periode sebelumnya. Tanpa diwarnai interupsi, Ketua DPP PDIP, Puan Maharani terpilih kembali menjadi Ketua DPR. Sementara itu, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, Sufmi Dasco Ahmad dari Fraksi Gerindra, Saan Mustofa dari Fraksi Nasdem, dan Cucun Ahmad Syamsurijal dari Fraksi PKB ditetapkan sebagai Wakil Ketua DPR RI.

Mulusnya jalan Puan duduk kembali ke kursi pimpinan DPR mencerminkan rekonsiliasi yang terjadi antara fraksi-fraksi parpol di Senayan. Sebab, sebelum DPR 2024-2029 dilantik, berembus wacana mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR lewat usulan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dengan komposisi pimpinan DPR yang tak berbeda jauh dari periode sebelumnya, muncul kekhawatiran kerja-kerja parlemen tak akan banyak mengalami perubahan berarti.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menjelaskan bahwa jabatan pimpinan DPR termasuk di Komisi DPR dan alat kelengkapan dewan (AKD), adalah hasil penunjukan, bukan pemilihan oleh anggota dewan. Di situlah persoalannya, ungkap dia, agak sulit berharap banyak pada figur-figur pimpinan DPR untuk memastikan jabatan mereka digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

“Mereka memang bukan hasil pemilihan anggota DPR. Mereka menempati posisi pimpinan DPR karena ditunjuk partai melalui fraksi,” kata Lucius dihubungi Tirto, Rabu (2/10/2024).

Idealnya, jabatan pimpinan DPR merupakan posisi yang strategis untuk kepentingan kerja dewan dan rakyat. Namun, penunjukan lewat parpol dan fraksi-fraksi di Senayan dinilai akan membuka peluang pimpinan DPR terpilih, akan lebih setia kepada garis parpol mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa tak selamanya pimpinan DPR punya keberpihakan melancarkan produk undang-undang pro-rakyat. Lucius mencontohkan, ada rancangan UU Perlindungan PRT (PPRT) yang sudah disetujui di Pembicaraan Tingkat I tetapi tak kunjung dilanjutkan pada pembahasan Tingkat II oleh Pimpinan DPR.

Kemungkinan, sebab unsur kepentingan UU PPRT bagi parpol hampir tak ada. Karenanya Lucius memandang, pimpinan DPR yang ditunjuk fraksi-fraksi parpol itu bertanggung jawab menyusun agenda rapat paripurna. Maka atas dasar pertimbangan kepentingan parpol juga, agenda rancangan UU PPRT urung diteruskan.

“Dengan konteks rekrutmen pimpinan tergantung parpol, sulit rasanya menggantungkan harapan dari sisi kepentingan publik pada mereka,” ungkap Lucius.

Peran pimpinan DPR sesungguhnya sangat strategis untuk mendorong penguatan fungsi dan peran parlemen. Koordinasi maksimal antara semua AKD di DPR untuk mendongkrak kinerja parlemen adalah hal yang menjadi tanggung jawab pimpinan. Sulit bicara tentang kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas DPR yang sesuai harapan publik jika pimpinan DPR saja masih menjadi representasi wajah parpol, bukan wajah demokrasi.

“Kalau kinerja DPR dianggap buruk, ya maka ada tanggung jawab pimpinan di dalamnya,” ucap Lucius.

Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, memandang DPR 2024-2029 tidak akan membuat gebrakan baru yang lebih signifikan dibandingkan periode sebelumnya. Ini tercermin dari nihilnya implementasi matang atas Rencana Aksi Nasional DPR di masa pimpinan Puan Maharani periode 2019-2024.

“Jadi citra DPR yang menurut mereka itu naik menurut kami tidak ada perbaikan gitu,” kata Arif kepada reporter Tirto, Rabu.

Selain itu, Arif memandang komposisi pimpinan DPR juga ada hubungan terkait konfigurasi parpol pendukung pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Hingga saat ini, tinggal PDIP yang belum memutuskan apakah akan merapat ke barisan pemerintah selanjutnya atau berada di luar sebagai oposisi. Belakangan, kabar soal rencana pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sudah santer tersiar.

Namun, Arif menilai DPR periode 2024-2029 diprediksi tidak akan menjadi rekan kritis dari pemerintah ke depan. Lebih buruk, kata dia, tidak akan ada parpol oposisi di parlemen. Pasalnya, memandang jalannya DPR periode sebelumnya, ketika PKS dan Partai Demokrat masih menjadi oposisi, parpol-parpol ini cenderung diganggu oleh pihak-pihak tertentu.

Arif memberikan contoh, ketika PKS mengkritisi UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU IKN, ada saja kasus kader PKS yang dilaporkan ke Mahkamah Dewan. Rintangan juga muncul di tubuh Partai Demokrat, saat itu muncul dualisme kepemimpinan antara kubu Moeldoko dan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di ujung periode pemerintahan presiden Jokowi, Partai Demokrat akhirnya memutuskan masuk ke dalam kabinet.

“Parlemen kita ke depan akan kehilangan muruahnya gitu, hanya mengikuti agenda-agenda pemerintahan Prabowo. Jadi menurut saya suara kritik dan sebagainya tidak akan terjadi terlalu signifikan,” ujar Arif.

Rapat Paripurna terakhir DPR periode 2019-2024

Sejumlah anggota DPR melambaikan tangan dan menunjukkan papan nama dirinya usai mengikuti Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025 Keanggotaan DPR RI 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

Jangan Ulang Kinerja Buruk

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, merasa kemungkinan besar parpol di parlemen bakal kembali jadi paduan suara yang menegasikan fungsi utama DPR. Padahal, DPR punya peran krusial untuk membawa dan menyuarakan aspirasi serta kepentingan konstituen.

Namun, kata Titi, sosok-sosok yang jadi bagian dari pembentukan sejumlah produk legislasi kontroversial masih bercokol di DPR dan bahkan punya posisi politik penting. DPR kali ini diprediksi kembali jadi stempel karet bagi berbagai proposal lembaga eksekutif tanpa ada kontrol dan kritik yang memadai sebagai kekuatan penyeimbang.

“Jadi agak susah mau optimis dengan DPR kita yang baru ini,” ucap Titi kepada reporter Tirto, Rabu.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Ia memandang, DPR periode lalu masih menyisakan pekerjaan rumah yang dapat membahayakan hak asasi manusia (HAM): seperti revisi UU Penyiaran, revisi UU TNI, dan revisi UU Polri.

Terlebih, DPR dan pemerintah sudah membentuk produk hukum seperti UU ITE dan KUHP yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat sipil, meski sudah direvisi.

“Omnibus Law juga hari ini masih dinilai merugikan hak-hak asasi manusia, antara lain hak buruh atas upah dan kondisi kerja yang layak, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat,” kata Usman lewat keterangan tertulis, Rabu.

Usman meminta DPR 2024-2029 wajib mendorong pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. DPR harus berani mendesak presiden menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengadilan ad hoc HAM untuk penyelesaian peristiwa masa lalu yang diakui pemerintah sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain itu, akuntabilitas dan transparansi setiap proses pengambilan keputusan pemerintah tak boleh lolos dari pengawasan DPR. Riset dari Amnesty, kata Usman, menemukan bahwa pembelian alat sadap oleh Polri dan BSSN yang kurang transparan luput dari kontrol DPR. Alat sadap bukan hanya berpotensi digunakan untuk memata-matai aktivis, tapi juga politisi yang kritis pada pemerintah.

“DPR harus mengawasi kinerja badan keamanan dan mendorong reformasi serius guna memastikan perlindungan hukum yang adil dan tak memihak bagi semua masyarakat," ujar Usman.

Pelantikan DPR MPR 2024

Pelantikan DPR MPR di Gedung Oarlemen Selasa 1/10/2024. youtube/TVR PARLEMEN

Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menilai fungsi check and balances DPR periode baru ini tak akan maksimal diterapkan. Hal ini disebabkan terlalu besarnya kekuatan parpol pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Haykal menilai, konsekuensi ini sudah gamblang terbukti di masa pemerintahan presiden Jokowi.

Namun, Haykal menilai bukan berarti keadaan seperti ini harus dibiarkan terjadi. Masyarakat sipil dan media bisa terus mendorong DPR untuk kembali ke khittah-nya sebagai unsur yang dapat mengimbangi kekuasaan eksekutif. DPR tidak boleh terbawa arus kemauan dari lembaga eksekutif sebelum menerapkan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi dengan maksimal.

“DPR itu sendiri sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai pejuang aspirasi rakyat. Bagaimana pun caranya itu harus tetap dilakukan dan ini menjadi tantangan bagi DPR ke depannya,” tegas Haykal kepada reporter Tirto, Rabu.

Sebelumnya, Ketua DPR RI periode 2024-2029, Puan Maharani, berjanji membuka ruang partisipasi secara lebar dalam menampung aspirasi rakyat di kepemimpinan baru ini. Puan menegakan bakal menindaklanjuti aspirasi publik kepada Komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR.

“Kalau [periode] kemarin mungkin belum tertampung nanti ke depannya akan ada komisi-komisi yang bisa menampung aspirasi rakyat yang kemarin belum tertampung," kata Puan usai dilantik menjadi ketua DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (1/10/2024).

Baca juga artikel terkait PELANTIKAN DPR RI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky