Menuju konten utama

Trump Tak Mau AS Jadi Polisi Dunia, Lalu Sekutu Bagaimana?

Kemenangan Trump menghadirkan kekuatiran bagi para sekutu. Pasalnya, Trump sudah bertekad untuk menarik seluruh pasukannya di luar negeri setelah dia dilantik sebagai presiden. Ia tak tertarik menjadikan AS sebagai polisi dunia

Trump Tak Mau AS Jadi Polisi Dunia, Lalu Sekutu Bagaimana?
Calon presiden Amerika Serikat partai Republik Donald Trump berkampanye di Hershey, Pennsylvania, Jumat (4/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Carlo Allegri/djo/16

tirto.id - Jika Amerika Serikat memakai Michael Gorbachev untuk menghancurkan Uni Soviet dari dalam, maka Rusia kini boleh bersenang hati karena Donald Trump baru saja terpilih jadi Presiden AS ke-45. Sudah jadi rahasia umum jika Trump memiliki hubungan erat dengan Kremlin dan didukung penuh oleh Presiden Vladimir Putin. Ketika Trump dinyatakan sebagai pemenang, Putin-lah kepala negara pertama yang mengucapkan selamat pada Trump.

Dalam isi telegram Kremlin kepada Trump, Putin berharap rekonsiliasi hubungan Rusia-AS yang krisis. Putin menginginkan adanya dialog intens antara Moskow dan Washington, dengan tawaran posisi menguntungkan bagi kedua negara.

Setelah Uni Soviet tumbang, poros kekuatan dunia jadi tidak berimbang. Kekuasaan penuh terpusat di kubu AS dan sekutunya. Alhasil, AS pun mendapuk dirinya sendiri sebagai polisi penjaga perdamaian dunia.

Mereka dengan gencar menyebar ribuan pasukan dan membangun pangkalan di berbagai penjuru dunia dengan dalih pengamanan, mulai dari Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Latin dll. Terkadang AS pun tak segan mengintervensi satu negara dengan cara menginvasi, misal Irak dan Afghanistan. Ya itulah AS, sebagai polisi dunia mereka diizinkan bertindak sesukanya.

Namun pamor AS kian menyusut dalam beberapa tahun terakhir, terlebih setelah Cina dan Rusia mulai berani unjuk gigi bertentangan secara frontal dengan AS. AS dan Rusia selalu berselisih paham dalam banyak kasus, mulai dari separatisme di Ukraina, konflik di Suriah, Yaman dan Irak, nuklir Iran hingga sengketa Laut Cina Selatan.

Kebijakan luar negeri Barack Obama yang tak bisa berbasa-basi dengan Kremlin menjadi sebab. Namun narasi itu akan berubah saat Trump memimpin AS. Dia tidak begitu berambisi menjadikan AS jadi polisi dunia. Kata dia, itu amat tidak menguntungkan secara ekonomis.

Trump mengancam akan menarik kembali pasukan AS di seluruh dunia. “Kami menghabiskan banyak uang bagi militer untuk kehilangan $800 miliar. Itu tidak terdengar sangat cerdas untuk saya,” katanya mengacu pada kerugian perdagangan AS. “Jika kami memutuskan ingin mempertahankan AS, kami bisa melakukannya dari tanah Amerika dan itu akan menjadi jauh lebih murah," katanya, seperti dikutip Rusia Today.

Tindak-tanduk Trump ini tentu membuat banyak negara ketar-ketir. Dan mereka yang paling khawatir adalah sekutu di lembaga Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO serta kerabat terdekat di Asia: Korea Selatan dan Jepang.

Di Eropa, keberpihakan Trump kepada Rusia mengacam keretakan di tubuh NATO. Trump menggagas kehadiran Washington di NATO kembali ditinjau ulang. Ketika ditanya oleh wartawan The New York Times ihwal respons apa yang dia lakukan jika Rusia menginvansi negara Baltik, dia menjawab dengan enteng.

"Washington akan membela anggota NATO lainnya, hanya jika mereka telah 'memenuhi kewajiban mereka kepada kami'," jawabnya.

NATO dibuat oleh AS pada 1949 untuk melindungi sekutu mereka di Eropa. NATO kini menaungi 28 negara. Dalam Pasal 5 perjanjian NATO, disepakati bahwa setiap ada anggota NATO yang diserang maka seluruh anggota wajib membantu. Komitmen yang telah terjalin hampir 67 tahun ini telah sukses menghalangi serangan negara luar yang mengancam Eropa. Pasal 5 juga membikin negara kecil dan lemah bekas pecahan Uni Soviet sepeti Estonia, Latvia dan Lithuania jadi lebih aman.

Rasa aman itu terganggu setelah Trump datang. Ucapan Trump terkait NATO membuat tiga negara itu gusar. Presiden Estonia, Toomas Hendrik Ilves, dengan cepat mengunggah di Twitter sebuah foto bukti penegas bahwa negara kecilnya patuh dalam komitmen pertahanan dan berkontribusi dalam misi di Afghanistan.

Omongan Trump ini bahkan membuat Wakil Presiden Joe Biden menemui presiden Lithuania, Latvia, dan Estonia untuk meyakinkan bahwa Trump tidak mewakili Amerika. Sialnya Trump malah menang di tengah persiapan perang Rusia yang semakin matang.

Gerak-gerik Kremlin menunjukkan adanya pergerakan ke arah sana. Pada akhir Oktober, Rusia mengirim kapal yang mengangkut rudal nuklir ke Baltik. Langkah itu muncul hanya beberapa jam setelah NATO mengumumkan pembangunan militer terbesarnya di dekat perbatasan Rusia sejak era Perang Dingin.

Sehari sebelumnya, Rusia telah merilis senjata nuklir tipe Satan-2 yang bisa menghancurkan Texas dalam sekali serangan. Rusia menyiapkan 330.000 pasukan haus darah yang ditempatkan dekat dengan perbatasan NATO. Bulan Oktober, Rusia juga memindahkan baterai rudal Iskander-M jarak menengah ke Kaliningrad. Penempatan Iskander-M di Kaliningrad adalah ancaman karena kini Rusia punya kapasitas untuk membawa hulu ledak nuklir ke Polandia.

Nah, jika anggota NATO saja sudah dibuat takut apalagi mereka yang bukan anggota. Para analisis memprediksi Trump akan memberi jalan lapang bagi Rusia untuk menyerbu Ukraina. Meskipun Trump membantah. “Dia (Putin) tidak akan masuk ke Ukraina, paham? Dia tidak akan masuk ke Ukraina. Anda bisa menggarisbawahi ini," kata Trump kepada ABC News.

Namun jika ditilik dari kasus terbaru, dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) awal Agustus lalu mengeluarkan pernyataan bahwa ada keterlibatan intelijen Ukraina dalam aksi teror di Crimea yang membunuh seorang agen Rusia. Ukraina membantah tuduhan ini. Investigasi wartawan Leonid Bershidsky menunjukkan bahwa klaim Rusia itu hanyalah operasi false flag yang dirancang untuk memberikan Rusia alasan menginvasi lebih jauh Ukraina.

Dalam sikapnya ihwal aneksasi Rusia terhadap Crimea, dengan entengnya Trump pun hanya menjawab: "Orang-orang Crimea, dari apa yang saya dengar, lebih suka bersama Rusia ketimbang dengan Ukraina," ucap Trump kepada ABC. Jika betul Trump meninggalkan NATO dan Ukraina, maka Eropa akan kepayahan menghadang Rusia, sebab kekuatan militer AS adalah separuh dari apa yang dimiliki NATO saat ini. Selain itu kepemilikan saham AS di NATO mencapai 72 persen. Wajar jika Eropa akan ketar-ketir saat Trump mengancam cabut dari NATO.

Tidak hanya sekutu di barat, sekutu di timur juga dibuat gusar. Jika di barat ada Rusia, maka di timur ada Cina. Dua sekutu terdekat di Asia, Jepang dan Korea Selatan kini was-was dengan pergerakan Cina di Laut Cina Timur.

Trump baru-baru ini berkomentar tentang ketidakadilan perjanjian antara AS dan Jepang yang dimana AS diwajibkan datang membantu Jepang jika negara matahari terbit itu diserang. Trump menyebut perjanjian itu sepihak. Sebab jika AS diserang, Jepang tidak bisa datang karena terhalang pasal 9 yang secara konstitusional melarang Jepang mengirim pasukan bersenjata di luar negeri.

“Jika Jepang diserang, kami harus mengerahkan kekuatan penuh. Kalau kami diserang, Jepang tidak perlu melakukan apa-apa. Mereka bisa duduk di rumah dan menonton televisi Sony, OK?"

Trump menyarankan Jepang harus mencabut Pasal 9 Konstitusi dan mempersenjatai kembali militer mereka, termasuk senjata nuklir. Trump berkilah berperang demi Jepang amatlah tidak sehat secara ekonomis karena neraca perdagangan dengan Jepang tidaklah sebesar dengan Cina. Saat ini Jepang sedang bersengketa dengan Cina memperebutkan Kepulauan Senkaku di Laut Cina Timur. Sengketa ini membuat gusar dan membuat AS sulit berpihak pada salah satu kubu.

Infografik Pendapat Trump Tentang Negara lain

Klaim Cina terhadap Kepulauan Senkaku di Cina Timur diperparah oleh tindakan Beijing yang membentuk Pertahanan Udara Identifikasi Zona di Laut Cina Timur. Setiap pesawat yang lewat zona ini harus melapor ke Cina. Pemerintahan Obama menentang keras tindakan ini.

Pengamat Asia Timur, Daniel John Sobieski dalam kolomnya di American Thinker menyebut ancaman Trump untuk "pergi" meninggalkan Jepang bisa menunjukkan betapa taktik di dunia bisnis berlaku untuk dunia geopolitik. Dengan mengancam Jepang, Trump bisa menaikkan tawaran secara sekaligus kepada Cina atau Jepang untuk meningkatkan perdagangan.

Nasib seperti Jepang juga dialami Korea Selatan. Dalam sebuah wawancara pada bulan Maret dengan The New York Times, Trump menuduh Korea Selatan tidak memberi kontribusi yang cukup untuk membayar puluhan ribu pasukan Amerika yang menjaga negara itu dari ancaman Korea Utara. Dia merasa gelontoran $866,6 juta dolar AS setiap tahun itu dirasa kurang. Trump mengancam angkat kaki dari Korea selatan.

Bagi Trump, dengan pergi dari Korsel dia bisa tetap menjaga perdamaian di semenanjung Korea dengan cara membuka pembicaraan dengan Pyongyang. Korut memang telah lama menyerukan penarikan pasukan AS dari Korsel. Pyongyang menyebut kehadiran pasukan AS hanya jadi sumber ketegangan militer dan hambatan untuk reunifikasi Korea. Untuk penyelesaian kasus Korea, Trump menjanjikan akan menggunakan Cina dan Rusia. Dia seolah enggan menjadikan AS sebagai satu-satunya polisi perdamaian sendirian.

Dalam konteks hubungan luar negeri, Trump ingin meredefinisi kepentingan global AS menjadi anya urusan ekonomis. Semuanya dipandang dalam konteks untung-rugi. Persetan dengan politik dan kekuasaan. Dia tidak tertarik membuat AS menjadi penjaga perdamaian, sebagai advokat hak asasi manusia, atau sebagai penjamin teritorial para sekutunya.

Meski dicecar dan dikritik oleh kaum Republikan yang meminta kebijakannya agar lebih intervensionis ketimbang George W. Bush, sejauh ini ia masih bergeming.

Dia tetap tegas enggan menjadikan AS menjadi polisi dunia. Seperti penegasannya kepada The New York Times. "Kami akan mengurus negara ini dulu, sebelum kita khawatir tentang apa yang terjadi di negara lain."

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani