tirto.id - Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola meragukan cara pemerintah menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan memanggil para obligor akan efektif. Kasus BLBI bermula sebagai kasus pidana kemudian menjadi perdata.
"Jalur perdata yang ditempuh pemerintah, amat bergantung sepenuhnya pada itikad baik para debitor atau obligor," ujar Alvin kepada Tirto, Kamis (26/8/2021).
Satgas BLBI terbentuk sejak 6 April 2021 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD akan memanggil 48 obligor dan debitur yang berutang ke negara sebesar Rp111 triliun.
Alvin juga meragukan kemampuan Satgas BLBI dalam hal melacak dan merampas aset para obligor dan debitur. Terlebih aset mereka yang tercecer hingga ke luar negeri.
"Terlebih hingga saat ini kita belum punya Undang-Undang Perampasan Aset sehingga akan menyulitkan langkah satgas," ujarnya.
Selain itu, Alvin juga menyayangkan sikap pemerintah yang tertutup. Sejauh ini, Satgas BLBI tidak pernah menginfokan proses penagihan tersebut.
"Jika ada debitur yang sulit ditagih, perlu dieksplorasi pilihan untuk mengalihkannya ke ranah pidana. Dengan pengalihan ke ranah pidana, kekuatan hukum pemerintah akan lebih kuat sehingga aset negara bisa dieksekusi," ujarnya.
Peralihan dari pidana ke perdata, berawal dari putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung. MA menyebutkan tidak ada unsur pidana dalam perkara tersebut. MA menolak Peninjauan Kembali (PK) KPK. Sehingga KPK pun menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri