Menuju konten utama

Timpangnya Kekuatan Ekonomi RI di Balik Isu Boikot Produk Perancis

Seruan memboikot produk Perancis tak berbanding lurus dengan kekuatan ekonomi Indonesia dibanding negara itu. Faktanya Indonesia lebih bergantung.

Timpangnya Kekuatan Ekonomi RI di Balik Isu Boikot Produk Perancis
Massa dari berbagai ormas Islam melakukan aksi mengencam Presiden Perancis Emmanuel Marcon di depan Kedubes Perancis, Jakarta, Senin (2/11/2020). tirto.id/ Andrey Gromico

tirto.id - Pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam menyulut kemarahan muslim dunia. Ekspresi kegeraman lantas muncul salah satunya dengan seruan memboikot produk-produk negara tersebut.

Di Indonesia, seruan boikot disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, seperti dinyatakan Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi, Jumat (30/10/2020), mereka juga "mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan tekanan dan peringatan keras kepada Pemerintah Perancis."

Lalu bagaimana sebetulnya relasi ekonomi Indonesia-Perancis? Menurut data UN Comtrade, justru negara kitalah yang bergantung pada mereka.

Data ekspor-impor selama empat tahun terakhir menunjukkan neraca dagang Indonesia terhadap Perancis selalu defisit. Artinya, Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Pada tahun 2016 defisit mencapai 470,83 juta dolar AS, lalu menjadi 583,94 juta dolar AS (2017), 620,99 juta dolar AS (2018), dan 445,78 juta dolar AS (2019).

Selama 2019, nilai produk terbesar yang diimpor Indonesia dari Perancis adalah golongan barang HS 84 (reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; dan bagian-bagiannya) senilai 204,87 juta dolar AS. Di urutan kedua ada HS 85--terkait mesin dan perlengkapan elektris--dengan nilai 151,74 juta dolar AS. Lalu diikuti oleh HS 88 yang merupakan pesawat dan bagiannya senilai 102,14 juta dolar AS. Di urutan keempat dan kelima Indonesia cukup rajin mengimpor HS 33 (parfum dan komestik) dan HS 4 (produk dairy) yang masing-masing senilai 100 dan 92 juta dolar AS.

Jika dilihat lebih detail, barang yang umumnya diimpor Indonesia merupakan kebutuhan dengan teknologi tinggi yang mungkin belum dapat diproduksi di dalam negeri. Sementara untuk produk konsumsi masyarakat seperti produk-produk Danone sebagian tak diimpor lagi tetapi diproduksi di sini. Melansir Antara, Corporate Communications Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan produksi mereka bahkan melibatkan tenaga kerja Indonesia.

Kalaupun masih diimpor, nilai barang yang dikirim Perancis ke Indonesia juga tidak terlampau banyak dibanding negara lain, terutama pada asumsi produk pakaian, tas, dan parfum. Data UN Comtrade menunjukkan impor HS 61 dan 62 untuk pakaian jadi, Indonesia menempati urutan ke-83 dan ke-77 tujuan ekspor Perancis. Untuk barang seperti tas dalam HS 42, Indonesia menempati urutan ke-49 sebagai tujuan ekspor. Barang seperti parfum HS 33 berada di urutan ke-51.

Ekspor Perancis untuk produk obat-obatan (HS 30) ke Indonesia sebenarnya cukup besar, mencapai 68,40 juta dolar AS. Namun angka ini pun hanya membuat Indonesia berada di urutan ke-61.

Lantas bagaimana jika seandainya Indonesia menjadi sasaran boikot dari Perancis? Posisi Perancis justru relatif lebih kuat. Data UN Comtrade menunjukkan ekspor Indonesia sebagian besar nilainya di bawah impor. Ekspor umumnya didominasi produk minyak sawit, karet, pakaian jadi, dan furnitur. Semua ini mudah dicari lagi pasarnya ke negara lain.

Impor batu bara dan mineral (HS 27) terbesar Perancis justru berasal dari Belgia (9,92 miliar dolar AS), Rusia (8 miliar dolar AS), dan Saudi Arabia (7,1 miiar dolar AS). Untuk impor produk sawit (HS 15), terbanyak berasal dari Spanyol (496 juta dolar AS), Belgia (362 juta dolar AS), dan Belanda (304 juta dolar AS). Indonesia hanya menempati posisi ke-76 importir batu bara dengan nilai 1,13 juta dolar AS. Lalu Indonesia menempati posisi ke-7 dengan nilai 96,39 juta dolar AS sebagai sumber impor sawit Perancis.

Di sisi lain Indonesia juga cukup bergantung pada Perancis untuk perkara pinjaman luar negeri secara bilateral. Menurut Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Edisi Oktober 2020 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, posisi utang luar negeri Indonesia ke Perancis terus naik. Tahun 2011 posisinya berada di angka 2,74 miliar dolar AS, lalu naik menjadi 3,25 miliar dolar AS (2016), dan 4,08 miliar dolar AS per Agustus 2020.

Untungnya, posisi utang Indonesia terhadap Perancis ini relatif kecil dibanding pinjaman luar negeri lain. Perancis menempati posisi ke-11 sebagai kreditur terbesar Indonesia. Per Agustus 2020, posisi pinjaman luar negeri RI didominasi oleh Singapura (69,72 miliar dolar AS), Amerika (29,46 miliar dolar AS), dan Jepang (29,00 miliar dolar AS).

Barangkali atas dasar itu pemerintah tidak memboikot produk-produk Perancis, meski Presiden Joko Widodo melayangkan protes keras terhadap Macron. Jokowi mengatakan pernyataan Macron "menghina agama Islam" dan "telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia" lewat kanal Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (31/10/2020). Alasan resmi pemerintah, karena kasus ini menyangkut isu "non-trade."

Namun gerakan boikot tetap berlangsung dalam skala mikro. Ini misalnya dilakukan beberapa gerai Islami di beberapa kota.

Baca juga artikel terkait BOIKOT PRODUK PERANCIS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino