tirto.id - “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis, di manapun di dunia. Tak hanya yang kita lihat sekarang.” Pernyataan itu diungkapkan Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam kesempatan pidatonya yang diunggah BFM TV pada 2 Oktober 2020.
Dalam pidatonya tersebut, Macron mengumumkan rencananya untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler Perancis dari apa yang disebut “radikalisme Islam”.
Mengutip Al Jazeera, ia juga menegaskan tidak akan ada kelonggaran yang akan dibuat dalam upayanya mendorong agama keluar dari pendidikan dan sektor publik di Perancis.
Ia mengumumkan pemerintah Perancis akan mengajukan undang-undang tersebut pada Desember mendatang untuk memperkuat Undang-Undang tahun 1905 yang memisahkan gereja dan negara dan secara resmi membuat Perancis menjadi negara sekuler.
Langkah tersebut, menurut Macron, dilakukan untuk mengatasi tumbuhnya radikalisasi di Perancis dan meningkatkan “kemampuan untuk hidup berdampingan”.
Pernyataannya itu sontak memicu reaksi dari para aktivis muslim, tak hanya dari komunitas muslim Perancis melainkan di seluruh dunia.
Salah satunya Yasser Louati, aktivis Islam Perancis yang mengunggah sebuah cuit: “Represi terhadap muslim telah menjadi ancaman, dan kini akan menjadi keniscayaan. Pidato Macron menguatkan suara kelompok kanan, kelompok kiri yang anti-muslim dan mengancam pelajar muslim dengan pembatasan drastis home-schooling kendati di masa pandemi global.”
Pembunuhan Samuel Paty
Pada 16 Oktober, Abdullakh Anzorov, remaja 18 tahun, imigran asal Rusia menyerang Samuel Paty (47 tahun), guru warga negara Perancis, tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar di Conflans-Sainte-Honorine, sebuah daerah pinggiran kota, 24 km dari pusat kota Paris. Demikian seperti dilaporkan Al Jazeera.
Dalam penyerangan itu, Anzorov yang dibantu dua remaja lain untuk mengenali targetnya, memenggal kepala Paty hingga tewas. Penyerangan itu dipicu kemarahan Anzorov terhadap Paty yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad saat mengajar tentang kebebasan berpendapat di kelasnya.
Sebelumnya, karikatur yang sama pernah dipublikasikan majalah satir Perancis, Charlie Hebdo pada 2015 yang pada akhirnya memicu penembakan berdarah di kantor Charlie Hebdo.
Pemerintah Perancis kemudian memberikan penghormatan terhadap Paty pada 21 Oktober di Universitas Sorbonne. Dalam malam penghormatan itu, Presiden Emmanuel Macron kembali menyatakan sikapnya terhadap radikalisme Islam.
“Paty dibunuh karena Islamis menginginkan masa depan kita,” ucap Macron. “Mereka tidak akan memilikinya.”
Dalam laporan Vice, di malam yang sama, karikatur Nabi Muhammad tersebut diproyeksikan di gedung-gedung pemerintahan di dua kota Perancis. Karikatur dari enam sampul Charlie Hebdo, termasuk salah satunya Nabi Muhammad, dipajang di gedung-gedung pemerintahan di Montpellier dan Toulouse bersama dengan potret Paty.
Gambar-gambar tersebut memegang tanda yang bertuliskan “semua sudah dimaafkan”. Macron bersumpah Pemerintah Perancis tidak akan menurunkan karikatur tersebut.
Seruan Boikot dari Timur Tengah
Pembunuhan Paty membangkitkan kembali ketegangan antara sekularisme, Islamisme dan Islamofobia di Perancis. Namun kemarahan publik di negara-negara Muslim terhadap cara Macron dalam menangani problem tersebut juga memicu masalah diplomatik dan ekonomi Perancis.
Pernyataan generalisasi Macron dan pemasangan karikatur Nabi Muhammad tersebut, memicu seruan boikot produk Perancis dari sejumlah negara-negara Islam di dunia.
Salah satu yang paling agresif menyerang pernyataan Macron adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Ia menyerukan untuk memboikot seluruh produk asal Perancis di negaranya.
Tak hanya itu, Erdogan bahkan menyebut Macron perlu “menjalani pemeriksaan kesehatan mental” usai mengumumkan rencananya mereformasi Islam agar sesuai dengan nilai-nilai sekulerisme Perancis.
“Saya serukan kepada masyarakat untuk tidak mendekati atau membeli produk-produk Perancis,” ujar Erdogan, seperti dikutip CNN.
Di Kuwait, salah satu jaringan hypermarket mereka mengatakan 50 outlet berencana memboikot produk-produk asal Perancis.
Demikian yang terjadi di Qatar, termasuk di dalamnya supermarket Al-Meera yang memiliki 50 cabang di negara-negara Arab. Universitas Qatar juga akan menunda Pekan Kebudayaan Perancis sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Minggu (25/10), Kementerian Luar Negeri Perancis menyebut pemboikotan terhadap produk negaranya “tidak dapat dibenarkan” dan harus “segera diakhiri”.
Yordania, Pakistan, Mesir dan Iran juga mengutuk pernyataan Macron dan penerbitan karikatur Nabi Muhammad.
“Kami mengutuk penerbitan karikatur satir yang menggambarkan Nabi Muhammad,” ucap Ayman Al-Safadi, Menteri Luar Negeri Yordania pada sebuah cuit yang diunggah, Sabtu (24/10).
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Besar Pakistan Imran Khan, Otoritas Agama Tertinggi Mesir Imam Besar Al-Azhar, dan Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif.
“Umat Muslim adalah korban utama dalam pemujaan terhadap kebencian. Menghina 1,9 miliar Muslim dan apa yang dianggap suci oleh mereka untuk kejahatan yang dilakukan ekstrimis seperti itu adalah penyalahgunaan kebebasan berpendapat yang dimanfaatkan para oportunis. Pernyataan seperti itu hanya akan menyulut ekstrimisme,” ujar Zarif dalam sebuah cuit pada 26 Oktober.
Sejumlah orang di Libya membakar bendera Perancis dan mencorat-coret gambar Presiden. Di Jalur Gaza, warga Palestina membakar foto Macron dan menyebut pernyataannya sebagai "serangan dan penghinaan terhadap Islam."
"Kami mengutuk keras pernyataan Macron atau siapapun yang mengina Nabi Muhammad, baik dalam bentuk kata-kata, perbuatan, sikap maupun gambar," tegas Maher al-Huli, pemimpin kelompok Hamas, seperti dilansir Al Jazeera.
Bahkan pemimpin partai sayap kiri sekaligus anggota parlemen Perancis, Jean-Luc Melanchon juga menyerang Macron. "Macron benar-benar kehilangan kendali. Dengan pernyataan Erdogan itu, Perancis direndahkan, dihina dan diejek. Apa strategi Macron? Apa yang ia rencanakan selain membuat cuitan?" ujar Melanchon.
Kendati demikian, negara-negara sahabat Perancis di Eropa mendukung sikap Macron dan menyatakan solidaritasnya terhadap Paris. Seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, dan pemimpin Yunani serta Austria.
Sementara itu, Anzorov sudah ditembak mati polisi tak lama usai mengunggah video pengakuan atas pembunuhan tersebut di media sosial.
Editor: Zakki Amali