tirto.id - (Artikel sebelumnya: Bromance Presiden Prancis Macron & PM Inggris Sunak)
Riwayat hubungan Prancis-Inggris kental dengan permusuhan. Kedua negara memang pernah bersekutu untuk menghalau ekspansi imperialisme Kekaisaran Rusia dan Spanyol pada awal abad ke-18, atau yang masih agak segar dalam ingatan adalah kerja sama selama Perang Dunia Pertama dan Kedua. Momen kompak tersebut tenggelam di bawah konflik bersenjata dan aneka ragam rivalitas yang konsisten mewarnai seribu tahun sejarah kedua negara.
Latar belakang ini bahkan memunculkan ungkapan bahwa tidak ada yang bisa mempersatukan rakyat Inggris selain rasa benci mereka terhadap orang Prancis.
Kedua negara lebih akur setelah menyepakati nota kesepahaman tahun 1904 bernama Entente Cordiale, yang mengatur jatah wilayah jajahan. Namun bukan berarti konflik berakhir. Sekian dekade terakhir perseteruan mereka malah semakin absurd: Prancis melarang penjualan Cadbury asal Inggris karena dianggap bukan cokelat murni (100 persen); Inggris memboikot lagu pop Prancis sebab liriknya dinilai vulgar; juga drama kompetisi tuan rumah Olimpiade 2012.
Imigran di Selat Inggris
Pada 2016, permusuhan antarnegara memasuki babak baru seiring Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa, persekutuan ekonomi yang diikutinya sejak 1973. Brexit tak hanya bikin pusing Inggris namun juga seluruh anggota Uni Eropa karena akan mempreteli setiap kesepakatan yang sudah berlaku sekian lama.
Salah satu perkara yang bikin ribut itu adalah batas negara dan imigrasi.
Di era pra-Brexit, Inggris terikat pada Regulasi Dublin, aturan Uni Eropa untuk mengatur negara mana saja yang bertanggung jawab mengurus aplikasi pencari suaka—biasanya merujuk pada negara pertama yang didatangi imigran. Setelah tak lagi terikat aturan tersebut per 31 Desember 2020, Inggris perlu menyusun mekanisme baru, semacam undang-undang khusus, untuk menangani mereka yang sudah telanjur menyeberang Selat Inggris. Ini adalah celah perairan sempit berjarak minimal 33 km, memisahkan Inggris dari Prancis.
Penyusunannya tentu tidak bisa berlangsung cepat. Di masa kekosongan itulah para imigran semakin terdorong untuk masuk ke Inggris via lautan. Mereka berasumsi tidak akan dikembalikan ke Uni Eropa (titik lokasi pertama kedatangan) sehingga berpeluang besar ditahan di Inggris dan bisa mengajukan suaka.
Dampaknya luar biasa. Selama dua tahun terakhir, jumlah imigran yang menyeberangi Selat Inggris meningkat drastis, mencapai rekor tertinggi pada 2022 dengan lebih dari 45 ribu orang—naik 60 persen dari 2021.
Pada waktu sama, Inggris berusaha menghalau imigran ilegal melalui kerja sama dengan negara-negara Uni Eropa, terutama Prancis. Sekitar pertengahan 2021, Inggris setuju menganggarkan 54 juta pound sterling (sekitar Rp1 triliun) kepada Prancis untuk memperketat penjagaan di sisi pesisir mereka.
Selama ini Prancis cenderung enggan menjalin kesepakatan dengan Inggris karena mereka berpotensi dibebani tanggung jawab lebih besar untuk menerima pengungsi daripada negara-negara lain, semata karena letaknya paling dekat.
Pada akhir tahun, hubungan kedua negara semakin kecut setelah 27 imigran meninggal dunia karena perahu mereka tenggelam. Kecelakaan yang tergolong paling mematikan dalam riwayat penyeberangan di Selat Inggris itu terjadi di perairan Prancis. Polisi laut Prancis maupun Inggris dilaporkan enggan membantu ketika para imigran meminta tolong. Kedua pemimpin negara pun saling lempar tanggung jawab.
Perdana menteri Inggris kala itu, Boris Johnson, mengirim surat terbuka kepada Macron yang salah satu isinya adalah meminta Prancis “menarik kembali” para imigran yang menyeberang lewat Selat Inggris. Menurutnya, Prancis kurang berusaha melindungi batas negaranya dari para imigran padahal sudah dibiayai oleh London.
Di sisi lain, Macron menilai isu imigrasi ilegal di Selat Inggris adalah “tanggung jawab bersama.” Macron dikabarkan kecewa karena di hadapan publik Johnson mengklaim menjadi “korban” dan melimpahkan semua kesalahan pada Prancis. Duta besar Prancis untuk Inggris kala itu juga berkomentar bahwa hubungan kedua negara “tidak pernah seburuk itu sejak Pertempuran Waterloo.”
Ragam Perseteruan Lain
Beberapa bulan sebelumnya, kedua negara sudah berseteru tentang hak melaut di Selat Inggris. Perseteruan ini berkaitan dengan persyaratan melaut yang diterapkan Inggris pasca-Brexit. Inggris memutuskan tidak memberikan izin penuh untuk melaut pada sejumlah besar nelayan Prancis.
Prancis kemudian mengancam memutus aliran listrik ke Pulau Jersey, teritori Inggris Raya di Selat Inggris yang 95 persen listriknya bergantung pada mereka. Prancis juga mengancam akan melakukan pengecekan ekstra terhadap komoditas Inggris, bahkan melarang kapal-kapal Inggris mengakses pelabuhan Prancis. Inggris kemudian merespons dengan mengirimkan dua kapal bermeriam.
Johnson meremehkan gertakan Macron, menyebutnya “sangat tidak penting” dibandingkan isu perubahan iklim, topik utama ketika mereka semua dipertemukan dalam perhelatan bergengsi G20 dan COP26. Ketegangan yang timbul pun jadi sarana pers Inggris mengolok-olok Macron.
Akhirnya Macron melunak setelah Inggris bersedia menerbitkan tambahan lisensi melaut.
Macron dan Johnson juga sempat ribut gara-gara daging beku termasuk olahannya seperti sosis—media kemudian memopulerkan istilah “perang sosis”.
Ini bermula, lagi-lagi, dari aturan baru pasca-Brexit. Regulasi anyar melarang daging asal Inggris Raya dikirim langsung ke Irlandia Utara, provinsi di teritori Inggris dengan sejarah integrasi yang kompleks. Menurut kesepakatan tahun 2020, Irlandia Utara dapat terus mengakses pasar tunggal Uni Eropa meskipun wilayah Inggris Raya lainnya tidak. komoditas asal Inggris yang masuk ke Irlandia Utara perlu menjalani pengecekan ekstra ketat sesuai standar keamanan produk peternakan Uni Eropa.
Masalah mulai muncul seiring administrasi Johnson meminta perpanjangan waktu untuk menerapkan aturan tersebut, yang oleh Uni Eropa disebut pelanggaran.
Dalam pertemuan G7, Johnson dilaporkan bertanya langsung ke Macron soal isu ini tapi tidak langsung ke poin intinya. Johnson awalnya bertanya bagaimana perasaan Macron seandainya sosis dari Toulouse, kota nun jauh di selatan Prancis, tidak boleh dikirimkan ke ibu kota Paris. Macron menjawab bahwa itu bukan perbandingan setara karena Paris dan Toulouse sama-sama di Prancis. Respons ini bikin Johnson gusar karena Irlandia Utara diasumsikan bukan bagian dari Inggris Raya.
Masih pada 2021, kedua negara berseteru gara-gara Aukus—pakta pertahanan Amerika Serikat dan Inggris Raya untuk menyokong Australia dengan teknologi kapal selam bertenaga nuklir. Masalahnya adalah karena sejak 2016 Prancis sudah bernegosiasi dengan Australia untuk menyediakan teknologi kapal selam bernilai kontrak lebih dari Rp1 triliun.
Para pejabat Prancis kala itu menuding London tak lebih dari kendaraan Washington. Prancis kemudian membatalkan pertemuan tingkat menteri dengan Inggris untuk membahas isu pertahanan. Dari pihak Inggris, Johnson menyepelekan kegusaran Prancis dengan komentar berbahasa campuran Prancis-Inggris, Franglais, yang penggunaannya kerap diasosiasikan dengan lelucon, “Prenez un grip and donnez-moi un break.”
Mulai Menghangat
Relasi Macron dengan pemerintah Inggris sedikit menghangat setelah Johnson digantikan oleh Elizabeth “Liz” Truss pada September tahun lalu. Meskipun Truss pernah meragukan apakah Macron “teman atau lawan,” dalam kepemimpinan singkatnya selama 49 hari, dia berhasil merangkul Pracis dalam kerja sama pembangkit listrik tenaga nuklir untuk mengurangi ketergantungan pada energi karbon dari Rusia.
Harapan hubungan Prancis-Inggris akan semakin baik muncul setelah Truss digantikan oleh Rishi Sunak pada Oktober silam. Optimisme ini berkaitan dengan segudang kemiripan latar belakang Sunak dan Macron. Keduanya dinilai akan dapat berkomunikasi lebih mudah dan yang lebih penting saling memahami.
Pertemuan pertama mereka berlangsung bersamaan dengan konferensi perubahan iklim COP27 di Mesir pada November silam. Kala itu Macron dan Sunak sepakat untuk memperkuat kerja sama di sejumlah bidang, terutama penanganan imigrasi ilegal di Selat Inggris.
Momen tersebut mengawali dimulainya narasi bromance Macron-Sunak oleh media, yang disambut penuh percaya diri oleh kalangan diplomat.
Dikutip dari The Guardian, peneliti di Jacques Delors Institute Elvire Fabry mengamati bahwa kedua pemimpin muda tersebut punya “niat yang sama untuk fokus pada isu-isu utama menghindari konflik periferal.” Pendekatan mereka terkait imigrasi ilegal di Selat Inggris juga dipandang semakin mengarah pada pragmatisme alih-alih saling tuding.
Hanya beberapa hari setelah Macron dan Sunak bersua di Mesir, Inggris setuju menggelontorkan 63 juta pound sterling (Rp1,1 triliun) untuk membeli pesawat nirawak drone dan meningkatkan patroli laut Prancis sampai 40 persen, setara dengan kekuatan 350 staf polisi. Melalui kesepakatan itu juga, untuk kali pertama, staf Inggris diizinkan untuk berpartisipasi sebagai pengamat di ruang kontrol milik patroli Prancis.
Awal Maret silam, pemimpin kedua negara kembali bertatap muka di Paris. Macron menyapa Sunak dengan kata “dear” yang dibalas oleh Sunak dengan “merci, mon ami” ('terima kasih, kawan').Para fotografer merekam momen mereka berangkulan.
Dalam pertemuan yang Macron dan Sunak banggakan sebagai “awal mula baru” bagi relasi Prancis-Inggris tersebut, Inggris setuju menyokong Prancis dengan anggaran sekitar 500 juta pound sterling (Rp9 triliun) untuk membiayai 500 staf patroli dan membangun fasilitas detensi baru. Dana tersebut akan diberikan secara bertahap sampai tiga tahun ke depan.
Selain penanganan imigrasi ilegal, terdapat tujuh poin kerja sama lain yang diangkat dalam deklarasi bersama Prancis-Inggris, termasuk dukungan terhadap Ukraina, pertahanan militer, pencegahan kejahatan siber, terorisme, kebijakan luar negeri dan perdamaian dunia, sampai transisi lebih cepat menuju energi terbarukan.
Meskipun kesepakatan di atas baru mencerminkan secuplik episode dari drama panjang frenemy Prancis-Inggris, langkah tersebut perlu diapresiasi sebagai awal mula yang manis setelah ketegangan bilateral bertahun-tahun. Kita tunggu saja sejauh mana bromance Macron dan Sunak akan berpengaruh terhadap masa depan hubungan kedua negara.
Editor: Rio Apinino