tirto.id - Ada yang menarik dari setiap momen perjumpaan Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak. Meskipun baru menjalin hubungan kenegaraan resmi sekitar enam bulan, keduanya selalu terlihat akrab dan langsung nyambung.
Kemesraan tersebut bisa ditemukan di Twitter, ketika mereka berbalas kicauan renyah tentang Piala Dunia. Selain itu juga dalam jepretan foto saat keduanya berjabat tangan dan berpelukan erat, bahkan berbagi payung sembari bertukar senyum semringah dengan pandangan mata berbinar-binar seakan tengah menyambut kawan lama atau kekasih tercinta.
Kedekatan Macron—yang persis setahun lalu memenangkan kursi presiden untuk periode kedua—dengan Sunak—yang mulai memimpin Inggris sejak Oktober silam—selalu dibingkai oleh pers dalam narasi bromance atau dalam bahasa Prancis romancefraternelle. Jurnalis media Inggris The Times Helen Rumbelow sampai menganalogikan kebersamaan mereka seperti adegan berdansa dan bernyanyi dalam film musikal La La Land.
Di satu sisi, Macron memang suka akrab dengan siapa pun di depan publik dan kamera. Sejak remaja, ketika aktif di pementasan teater sekolah, dia sudah senang jadi pusat perhatian. Sebelum dengan Sunak, dia punya riwayat bromance-nya dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, juga beraksi menggendong dan mencium seorang bayi di jalanan Kabupaten Badung, Bali, saat momen KTT G20.
Bagai Pinang Dibelah Dua?
Tidak sulit mengulik alasan di balik chemistry Macron dan Sunak. Di samping dipersatukan oleh selera fesyen yang mirip (jas ketat nan modis berwarna biru dongker), keduanya punya kesamaan latar belakang.
Keduanya sama-sama anak sulung dari keluarga dokter. Sunak dibesarkan oleh bapak yang berprofesi sebagai dokter keluarga untuk NHS (layanan nasional kesehatan Inggris) dan ibu yang menjalankan bisnis apotek. Sementara bapak Macron adalah dokter spesialis saraf dan ibunya dokter spesialis anak.
Mereka juga sama-sama mengenyam pendidikan di kampus elite, meniti karier sebagai bankir untuk raksasa jasa keuangan bergengsi (Macron di Rotschild, Sunak di Goldman Sachs), dan akhirnya terjun ke dunia politik sebagai menteri keuangan. Usia mereka juga sepantar dan relatif belia ketika pertama menjadi orang nomor satu di pemerintahan masing-masing (Macron terpilih presiden pada 2017 ketika berusia 39, sementara Sunak 42).
Terkait ideologi, meskipun Macron memperkenalkan diri ke publik Prancis sebagai sentris, kebijakan-kebijakannya dipandang condong menguntungkan kubu sayap kanan, termasuk keringanan pajak yang dituding hanya membela orang-orang kaya. Sementara Sunak, dari Partai Konservatif, juga berada dalam spektrum haluan politik yang sama.
Arogansi juga kerap disematkan pada diri mereka. Seiring Macron dituding sebagai “presidennya orang kaya” dan dicemooh karena merendahkan orang kecil, Sunak dikritik sebagai pemimpin yang “berjarak” dari mayoritas rakyat Inggris karena punya kekayaan luar biasa (aset Sunak dan istrinya, pengusaha Akshata Murthy, dilaporkan bernilai sampai 730 juta euro atau sekitar Rp12 triliun).
Selain kemiripan gaya hidup gemerlap dan elitis, Macron dan Sunak juga sama-sama bukan figur populer di mata sebagian besar masyarakat.
Macron harus puas memimpin pemerintahan minoritas pada periode kedua. Dalam pemilu dengan partisipasi pemilih terendah selama setengah abad terakhir itu, suara untuknya merosot drastis dibandingkan hasil pemilu pertamanya.
Di sisi lain, Sunak dapat berkuasa semata karena pendahulunya yang juga politikus Konservatif, Elizabeth Truss, mengundurkan diri setelah menjabat selama 49 hari. Alih-alih diangkat dengan mandat dari mayoritas pemilih suara dalam pemilu baru, Sunak bisa berlenggang masuk ke Downing Street No. 10 berkat parlemen yang dikuasai anggota dewan Konservatif yang terpilih pada pemilu 2019.
Kedua pemimpin juga tengah dihujani oleh gelombang protes dari kalangan pekerja. Macron didemo karena sejak awal tahun hendak menaikkan batas usia pensiun dari 62 menjadi 64 tahun. Pada Maret ini, setelah Macron memerintahkan administrasinya agar mengerahkan dekrit eksekutif untuk meloloskan agenda tersebut, protes semakin menyebar luas ke berbagai kota.
Di Inggris, sejak musim panas tahun lalu, demo juga bermekaran. Puncaknya berlangsung Februari silam, kurang dari empat bulan setelah Sunak menjabat. Dalam aksi massa yang disebut-sebut terbesar selama satu dekade terakhir terakhir itu, pelajar dan mahasiswa, dosen, staf kereta api, sampai petugas imigrasi memprotes kondisi kerja tidak manusiawi dan upah rendah seiring standar hidup merosot dan inflasi menembus dua digit.
Kala itu, dilaporkan nyaris setengah juta demonstran memenuhi jalanan di penjuru Inggris dan mengakibatkan layanan publik, seperti jaringan transportasi dan sekolah, tersendat.
Administrasi Sunak meresponsnya dengan rancangan undang-undang yang memberikan kekuasaan lebih besar pada polisi untuk mengintervensi aksi demonstrasi sebelum dianggap terlalu mengganggu aktivitas publik.
Di balik segudang kemiripan, ada satu hal yang sangat membedakan mereka: cara pandang terhadap keutuhan Eropa. Sebagai bagian dari tatanan politik konservatif, Sunak ingin Inggris yang otonom secara ekonomi dari Uni Eropa. Sementara Macron adalah figur paling ambisius yang ingin mempertahankan kekompakan Benua Biru, terutama semenjak tokoh pemersatunya, Kanselir Jerman Angela Merkel, mundur dari panggung politik setelah 16 tahun berkiprah.
Pada akhirnya, mengutip pandangan editor BBC Katya Adler, di tengah iklim geopolitik yang bergejolak dan penuh tantangan dari Rusia dan Cina, Macron dan Sunak tetap saja nyambung—dipersatukan oleh “pragmatisme politik alih-alih ideologi dogmatis.”
Kedekatan Macron dan Sunak pun jadi semakin penting, sekaligus unik, karena dilatarbelakangi oleh konteks hubungan bilateral yang amburadul, persisnya semenjak rakyat Inggris memutuskan keluar dari persekutuan ekonomi Uni Eropa (Brexit) sesuai hasil referendum 2016 silam. Tak sedikit yang berharap bromance Macron-Sunak dapat memberi cerah pada masa depan kedua negara.
Bagaimana peluangnya?
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino