Menuju konten utama

Macron Menang Tidak dengan Cemerlang

Emmanuel Macron kembali terpilih sebagai Presiden Prancis. Kebijakannya selama ini dikenal terlalu memihak kepada orang kaya.

Macron Menang Tidak dengan Cemerlang
Presiden Prancis Emmanuel Macron memberikan pidato setelah terpilih kembali sebagai presiden, menyusul hasil putaran kedua pemilihan presiden Prancis 2022, saat reli kemenangannya di Champ de Mars di Paris, Prancis, Minggu (24/4/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Hartmann/rwa/cfo

tirto.id - Emmanuel Macron kembali memenangkan Pemilihan Presiden Prancis. Politikus berhaluan sentris liberal ini menguasai 58,5 persen suara dalam pemungutan putaran kedua pada 24 April lalu. Sementara lawannya, Marine Le Pen, yang dikenal sebagai politikus anti-imigran, menuai 41,5 persen suara.

Meskipun unggul, kemenangan Macron tidaklah sempurna. Sebagai figur yang masih berusia 44, ia perlu berjuang lebih keras untuk menarik minat generasi muda. Melansir survei dari Ipsos dan Sopra Steria, pendukung Macron yang paling solid justru kalangan pensiunan: sebanyak 71 persen kelompok usia di atas 71. Persentase pemilih Macron yang berusia 18-24 hanya 61 persen.

Lebih dari itu, sebanyak 41 persen dari total pemilih usia 18-24 sama sekali tidak berkenan pergi ke bilik suara. Sementara persentase abstain secara keseluruhan mencapai 28 persen, tertinggi sejak pilpres putaran kedua pada 1969. Ketika itu jumlah golongan putih menembus 31 persen.

Politikus komunis Jacques Duclos mengibaratkan situasi pilpres 1969 sebagai bonnet blanc et blanc bonnet. Maksudnya, para kandidat dipandang terlalu mirip sehingga banyak warga kebingungan memilih dan akhirnya justru enggan memberikan suara. Saat itu kandidat presiden sama-sama berasal dari sayap kanan, yaitu Georges Pompidou dan Alain Poher.

Tingkat abstain yang tinggi dalam pemilu terakhir mungkin mencerminkan situasi serupa seperti masa lalu. Para pemilih tidak menemukan perbedaan berarti antara agenda politik Macron dan Le Pen.

Bukan Figur yang Disukai

Nantes, kawasan barat Prancis yang bisa dicapai sekitar empat jam perjalanan dari Paris, dikenal sebagai basis kelas pekerja profesional, pusat start-up, juga kota pelajar. Masyarakatnya condong ke Partai Hijau dan pendukung Jean-Luc Mélenchon, politikus sayap kiri garis keras dari Parti de Gauche (Partai Kiri).

Meski di putaran pertama Mélenchon keluar sebagai pemenang, di tingkat nasional tokoh populis yang skeptis dengan agenda neoliberal Uni Eropa ini hanya bertengger di peringkat ketiga. Itu membuatnya tak bisa lagi melanjutkan kompetisi di putaran kedua.

Melansir AFP, pendukung Mélenchon lantas didorong agar mengalihkan suaranya untuk Macron. Tujuan akhirnya adalah mencegah tokoh partai kanan garis keras berkuasa. Hal serupa pernah dilakukan pada pemilu sebelumnya. Strategi ini disebut dengan “Front Republikan”.

Salah satu warga yang sepakat dengan gagasan ini adalah konsultan bisnis bernama Zahra Nhili (42). Ia telah memilih Macron pada 2017 lalu dengan alasan mencegah kanan berkuasa. Bedanya, pada tahun ini ia gamang. Ia menyatakan baru akan menyumbangkan suara untuk Macron hanya “jika nanti kelihatannya [Le Pen] bakal unggul.”

Mengapa demikian? Karena memilih Macron memang tak membuat hidupnya lebih baik. “Tak bisa ditampik saya bakal menderita karena melakukan itu (memilih Macron),” ujar Nhili. “[Di bawah kepemimpinan Macron] orang miskin tambah miskin, sementara orang kaya tambah kaya.”

Penduduk di kota-kota kecil dan pinggiran yang jauh dari gemerlap kehidupan elite birokrat ibu kota juga bukan penggemar Macron. Le Pen-lah yang sukses mendulang banyak suara di wilayah seperti ini.

Camille Bordenet di Le Monde menyebut hal ini terjadi karena Macron selama ini mencitrakan diri sebagai “presiden untuk kawasan perkotaan dan globalisasi yang menyenangkan” sehingga terkesan kurang nyambung dengan keseharian warga pinggiran. Sementara Le Pen mempromosikan diri sebagai suara bagi “Prancis yang terlupakan” dengan mengampanyekan program kesejahteraan yang diprioritaskan untuk orang “asli” Prancis. Ia juga menciptakan narasi ketakutan terhadap imigran yang mengancam lapangan kerja warga setempat.

Kehidupan yang tidak menjadi lebih baik juga jadi alasan mengapa Le Pen lebih populer di pegunungan Auvergne, lima jam perjalanan dari Paris.

Jérémie Gallon, dosen Sciences Po yang lahir dan besar di kawasan tersebut, mengatakan 30 persen warga desanya memberikan suara untuk Le Pen dalam pilpres putaran pertama. Menurut Gallon dalam artikel di Politico, masyarakat Auvergne merasa sudah diabaikan oleh elite pemerintah selama sekian dekade, termasuk di bawah periode pertama Macron. Di sana pabrik-pabrik tutup, mobilitas sosial tersendat, dan tingkat daya beli masyarakat menurun.

Setiap awal bulan, banyak orang mengeluh rekening banknya sudah ludes setelah dipakai untuk membayar tagihan listrik, gas, dan sewa rumah. Kaum petani harus kerja lebih keras karena hanya dibekali sekian ratus euro dana pensiun setiap bulan. Orang-orang yang berangkat kerja ke pusat pemotongan daging hewan dari pukul lima pagi pun tabungannya tak lebih banyak dari mereka yang seharian di rumah saja. Uang mereka habis untuk ongkos bahan bakar kendaraan dan biaya pengasuhan anak.

Seiring itu, fasilitas umum kian terbengkalai dan akhirnya berhenti beroperasi, dari mulai kantor pos, kantor polisi, layanan pajak, sekolahan, sampai pertokoan dan kafe.

Warga setempat pesimistis kondisi mereka bisa diperbaiki oleh Macron. Ia dianggap sama dengan para elite politik terdahulu di Istana Élysée yang selama ini memang tidak melakukan apa-apa.

Macron juga tidak populer di Sarthe, sekitar dua-tiga jam perjalanan dari Paris. Le Monde melaporkan tukang bengkel Pascal Levillain dan istrinya yang kerja sebagai pengasuh anak setia memilih Le Pen sejak 2017 karena menjanjikan tunjangan pensiun pada pekerja usia 60-62 dan menawarkan pengecualian pajak bagi kalangan usia 30 ke bawah.

Tidak selamanya situasi yang buruk jadi alasan warga memilih Le Pen. Paradoks ini dirasakan oleh beberapa staf pemda di Brûlon. Masih dilansir dari Le Monde, Wali Kota Daniel Coudreuse menyebut suara untuk partai penyokong Le Pen, Rassemblement National, di daerahnya tinggi meski warga sudah difasilitasi 1.200 lapangan kerja, layanan kesehatan dengan tujuh dokter, pertokoan, sampai sekolah baru. “Warga mungkin merasa baik-baik saja di daerah, tapi ada ketidaksinambungan dengan kebijakan-kebijakan di tingkat nasional [sehingga menimbulkan] semacam rasa frustrasi yang perlu disampaikan,” ujar Coudreuse.

Situasi serupa juga ditemui di kota tetangga, Fercé-sur-Sarthe. Terlepas kondisi yang adem ayem, lebih banyak warga di sana menjagokan Le Pen.

Secara keseluruhan, meski Macron memang, perolehan Le Pen disebut-sebut sebagai pencapaian terbesar kubu sayap kanan ekstrem sejak pasca-Perang Dunia II. Selisih suara jauh lebih tipis dibanding lima tahun lalu. Saat itu Macron mendapatkan 66 persen, sementara Le Pen 34 persen.

Dalam pemilu putaran pertama awal April lalu pun suara yang diterima oleh tokoh-tokoh sentris termasuk Macron relatif sama besar dengan para kandidat dari kubu sayap kanan jauh dan kiri jauh—masing-masing sekitar 32 persen suara.

Lantas apa faktor kemenangan Macron? Kemenangan Macron disebut-sebut karena basis pemilih sayap kiri memilih memberikan suaranya untuk dia alih-alih kandidat lain. “Sebenci-bencinya pemilih suara terhadap Macron,” tulis jurnalis politik John Lichfield dalam artikel di The Local menjelang pemilihan putaran kedua, “akan jauh lebih banyak anggota kelompok kiri/hijau yang mendukung kelompok sentris daripada yang mau memberikan suaranya untuk kubu sayap kanan jauh.”

“Sedangkan sejumlah besar sisanya tentu saja bakal abstain atau di rumah saja,” tambah Lichfield.

Prediksi Lichfield kelak disinggung oleh Macron dalam pidato kemenangannya. “Saya paham sejumlah pihak memilih saya bukan karena mereka mendukung pandangan saya, melainkan untuk mencegah [kemenangan] kelompok ekstrem kanan.” Macron tidak menampik pula fakta tentang banyaknya pemilih yang abstain.

Dalam kesempatan yang sama ia berjanji akan jadi “presiden untuk semua orang” dan mencari solusi untuk mengatasi “kemarahan” para pendukung Le Pen.

Presidennya Orang Kaya

Macron baru dua tahun menjabat sebagai Menteri Ekonomi dan Industri untuk administrasi Presiden François Hollande yang berhaluan sosialis ketika memutuskan nyapres. Ia keluar sebagai pemenang pada 2017.

Tak butuh waktu lama baginya untuk dibanjiri kritik. Ia dianggap memimpin layaknya presiden berhaluan sayap kanan.

Anak dari seorang profesor neurologi ini misalnya dikritik karena merombok aturan imigrasi. Peraturan baru itu dianggap kian mempersulit orang dapat suaka sekaligus memuluskan mekanisme yang dapat mengusir orang-orang tanpa izin tinggal. Kecenderungan anti-imigran seperti ini dapat kita lihat dalam diri politikus sayap kanan mana pun di dunia.

Dalam hal ekonomi pun ia lebih condong ke liberal ketimbang sosialis atau kiri—yang sebetulnya lebih banyak berkontribusi terhadap kemenangannya. Ia menunjuk tokoh-tokoh partai sayap kanan Les Républicains jadi perdana menteri, menteri keuangan, sampai menteri anggaran.

Reformasi ekonomi yang ditawarkannya sarat dengan agenda neoliberal atau berorientasi pasar bebas yang pro kepentingan kelas pemodal—tak lain tujuannya demi menggenjot investasi. Salah satunya diwujudkan lewat Pajak Solidaritas Kekayaan, sebuah program yang dianggap meringankan beban pajak kalangan terkaya (kelak juga dikritik karena tidak mendorong pertumbuhan ekonomi maupun perluasan lapangan kerja). Sementara reformasi pajak untuk kelas pekerja dan menengah justru berlarut-larut.

Semenjak itulah anggota parlemen, ekonom, sampai media mulai menjuluki Macron “le président des riches” atau 'presidennya orang kaya' (perlu diingat Macron memang dibesarkan di institusi pendidikan elite dan meniti karier sebagai bankir di raksasa perbankan multinasional Rothschild yang total bayarannya sampai 2,9 juta euro atau sekarang nilainya Rp44 miliar).

Infografik Macron Menang Lagi

Infografik Macron Menang Lagi. tirto.id/Sabit

Sikap Macron yang menyepelekan pekerja kecil juga disorot, membuatnya kian terlihat arogan dan lekat dengan kelas elite.

Pada 2018, Macron pernah menyarankan seorang tukang kebun muda yang kesulitan cari kerja agar berburu peruntungan di Montparnasse, pusat industri kuliner dan perhotelan. “Saya bisa carikan kerja buatmu hanya dengan menyeberang jalan saja,” demikian katanya. Ucapan ini dikritik tidak sensitif dengan situasi sulit yang dihadapi rakyat. Ketika itu tingkat pengangguran kaum muda Prancis sampai 20 persen, termasuk salah satu yang tertinggi di Eropa.

Tak heran jika Macron juga punya relasi yang buruk dengan serikat pekerja. Reformasi undang-undang buruh yang ia ajukan—di antaranya untuk mempermudah perusahaan merekrut dan memecat serta privatisasi BUMN untuk menghemat anggaran negara—melahirkan seruan demonstrasi dan mogok yang kelak diikuti kondektur kereta, perawat, guru, staf maskapai penerbangan, sampai pegawai negeri.

Pada tahun yang sama dengan pernyataan kontroversial Macron, di Prancis meletus gerakan “gilets jaunes” atau 'rompi kuning'. Ini awalnya adalah protes para sopir terhadap kenaikan harga bahan bakar, namun kemudian bertransformasi menjadi pembangkangan skala luas terhadap pemerintah yang sporadis tanpa koordinasi dari serikat buruh atau partai. Sejumlah besar peserta demonstrasi datang dari kota-kota kecil atau pinggiran. Seruan mereka beragam: meminta pemerintah meninjau ulang sistem pajak, menaikkan upah minimum, sampai membatalkan program ekonomi yang terlampau probisnis.

Polisi mengerahkan cara-cara brutal untuk meredam gerakan tersebut sampai ratusan peserta ditahan dan sejumlah lain luka-luka.

Karena terpilih dengan rekam jejak dan konteks seperti itu, pada akhirnya tantangan terbesar Macron di periode kedua terbentang di halaman rumah sendiri. Mengutip Judah Grunstein dari World Politics Review, ia harus memikirkan cara untuk “mendamaikan antagonisme yang sekarang membagi Prancis jadi oposisi biner ganda dan tumpang tindih: orang yang diistimewakan versus yang kurang beruntung, orang dalam versus orang terpinggirkan, kota versus desa, kalangan berpendidikan versus yang tak bergelar, globalis versus kubu prokedaulatan.”

Di tengah tingginya ketidakpuasan rakyat terhadap institusi negara dan hasil dari proses politik belakangan ini, tentu tugas-tugas di atas bukanlah perkara mudah untuk Macron kerjakan.

Baca juga artikel terkait EMMANUEL MACRON atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino