Menuju konten utama
Harry "Ucok" Sutresna

"Politik Lesser Evil Itu Bullshit"

Harry Sutresna a.k.a Ucok alias Morgue Vanguard, bicara tentang musik, nasionalisme, konflik agraria, dan kehidupannya.

Harry "Ucok Sutresna". FOTO/Wadezig.com

tirto.id - Herry Sutresna punya posisi penting dalam sejarah musik Indonesia. Homicide, kolektif hip hop yang ia dirikan bersama Aszy Syamfizie, Adolf Triasmoro, dan Kiki Assaf, sudah menjadi kultus bukan hanya dalam skena musik hip hop melainkan lintas batas genre maupun pendengar. Lagunya tidak hanya diputar para pecinta musik, tapi terdengar hingga ke ruang redaksi pers mahasiswa, juga menyelusup ke ruang-ruang rapat para aktivis.

Lirik-lirik Homicide mengambil tema yang merentang luas membahas tema-tema yang kerap diangkat pers mahasiswa maupun aktivis. Perlawanan terhadap kapitalisme, penentangan terhadap tirani, kritik terhadap militerisme, hingga busuknya korporasi.

Homicide boleh bubar, tapi warisannya tetap tak lekang. Para penggemarnya terus memburu rilisan Homicide. Ketika label Elevation Records merilis kaset mini album Barisan Nisan, seribu kopi ludes terjual enam jam.

Selepas dari Homicide, karya Ucok masih terdengar lantang. Dia sempat mendirikan grup Trigger Mortis, dan sekarang menjadi bagian dari grup Bars of Death. Rilisan pertama Bars of Death adalah "All Cops Are Gods", yang melanggengkan kebencian terhadap kebobrokan polisi, warisan wawasan penting dari grup N.W.A.

Baru-baru ini, mereka merilis lagu "Tak Ada Garuda di Dadaku", sebuah lagu yang mengisahkan tentang nasionalisme busuk. Liriknya masih tak berbeda dengan Homicide: keras, tajam, tanpa tedeng aling-aling, dan pasti akan membuat kuping memerah.

Namun, di balik glorifikasi dan pemujaan terhadapnya, juga sikapnya yang keras kepala dan konsisten dalam perjuangan akar rumput, Ucok adalah manusia biasa. Suka makan dan bercanda. Seorang suami, juga seorang bapak.

Arman Dhani dari Tirto berkesempatan berbincang dengan sosok yang dianggap legenda ini. Di sesela aktivitasnya membantu para petani Sukamulya, Majalengka, yang sedang menghadapi penggusuran karena proyek bandara, Ucok berbicara tentang bagaimana gerakan sosial Indonesia hari ini, konflik agraria, dan soal nasionalisme ala "NKRI harga mati" yang kerap ia pepet dalam lirik-liriknya.

Single baru Bars of Death "Tak Ada Garuda di Dadaku" dirilis dalam kompilasi benefit Organize! bisa cerita tentang apakah ini?

Kayaknya nggak sulit untuk menemukan esensi tema lagu itu, judulnya udah terlalu blatant. Tentang ekspansi rezim keruk dan proses akumulasi primitif yang pake kedok nasionalisme sebagai pembenarannya. Modus yang selalu diiringi dengan represivitas di dalam prosesnya. Singkatnya kira-kira begitu.

Menariknya single "Tak Ada Garuda di Dadaku" hadir usai represi aparat di beberapa tempat seperti Sukamulya dan Langkat. Apakah ini kebetulan saja? (konteksnya melihat musik sebagai sarana edukasi soal isu sosial)

Sebetulnya lagu ini ditulis nyaris 2 tahun lalu, selang beberapa minggu setelah tenda protes di Rembang mulai berdiri, tak lama setelah konflik warga vs PLTU Batang yang massif itu, dan pasca-bentrok warga WTT Kulon Progo melawan negara yang akan membangun bandara pula di sana dan berbuntut 4 warga dikriminalisasi. Awalnya memang bagian dari album yang sedang kami kerjakan dan yang nggak beres-beres itu. Lalu ketika ada ide di kawan-kawan untuk membuat album kompilasi benefit untuk pengorganisiran komunitas di kota Bandung, kami memilih lagu itu sebagai materi kontribusi kami. Kompilasinya sendiri tertunda nyaris setahun karena perkara finansial.

Tapi akhirnya bisa kami bungkus bulan ini. Kalo disebut kebetulan, terkesan menganggap fenomena konflik lahan ini seperti baru sekarang terjadi, padahal tidak. Saya pikir kapan pun lagu dengan tema seperti ini akan kebetulan hadir di era ini, karena fenomena konflik yang terjadi di akar rumput gara-gara pembangunan infrastruktur ini sangat massif dan tak akan berhenti dalam waktu dekat.

Persoalan ekonomi politik ini, pendeknya persoalan politik kelas ini, bisakah dikatakan kalah telak dibanding isu politik identitas? Tiba-tiba Ahok digempur habis-habisan dengan massa yang massif, karena isu politik identitas, bukan karena penggusuran, reklamasi dan lain-lain. Apa yang terjadi?

Ya itu skema besar yang sedang terjadi, tak lepas dari pertarungan kekuasaan yang sekarang hadir. Selain memang faktor di lokal massa lebih reaktif terhadap isu SARA, juga memang propagandanya juga massif, lebih massif dari yang pernah ada. dan tentu saja sebuah tanda betapa besar pekerjaan rumah elemen progresif ke depannya.

Tapi kadang di beberapa kawan memang enggan menggunakan isu agama dalam pertarungan di luar sana, misalnya, bisa saja kemarin dikampanyekan aparat menyerang petani yang beragama Islam di Sukamulya, tapi saya rasa dampaknya juga tak hanya tidak produktif tapi juga melahirkan masalah baru. Masalah utamanya jadi bias. Pertarungannya jadi horisontal, tidak lagi vertikal.

Kelompok progresif, kiri atau anarko, gagal mendesakkan soal isu-isu ketimpangan ekonomi politik ketimbang politik identitas?

Iya gitu? Entahlah. Spektrum gerakan kiri lokal itu cukup luas. Pihak mana yang dimaksud? Sepengetahuan saya, tidak demikian dengan lingkar jejaring yang saya beririsan selama ini. Mereka adalah orang-orang yang dedikasinya tinggi di wilayah ekonomi politik dan berjuang disana. Tapi kalo kemudian istilah 'mendesak' itu irisannya sama popularitas isu itu di media, medsos, itu lain soal. Ya mungkin begitu, saya bukan pakar medsos, saya nggak bisa bicara banyak. Tapi kalo di lapangan, yang dirasa kurang itu adalah kerja-kerja membangun politik alternatif yang berbasiskan massa dan warga, upaya-upaya mengorganisir dan memobilisasi. Itu yang nampaknya harus lebih intens ke depannya. Soal edsos saya tak paham

Selain menjadi rapper Anda juga aktif di berbagai gerakan akar rumput, sejak kapan ini Anda lakukan?

Sejak kapan ya? Nggak pernah saya ingat betul sejak kapan tepatnya. Yang pasti, sejak kuliah dan mulai beririsan dengan gerakan perlawanan besar di era itu melawan rezim Orde Baru. Tapi meski aktif, saya bukan ‘aktivis’. Term itu agak geli-geli basah sebetulnya, dan pula memiliki kesan sebuah keprofesian tertentu yang memberi jarak. Saya hanya orang biasa yang melakukan hal biasa yang harus dilakukan oleh orang biasa: terlibat dalam perubahan sosial.

Anda ini menikah terhitung muda. Sekarang punya tiga anak. Bahkan ada yg sudah ABG. Tentu tidak gampang menghidupi tiga anak. Argo jalan terus, bukan? Ini isu penting yg kadang membuat banyak kawan “takluk”, bukan?

Tidak mudah memang mengorganisir waktu ketika sudah menikah dan punya anak. Tapi momen paling krusial dalam hal itu sudah agak lewat, tepatnya pas anak-anak saya masih pada bayi. Mungkin di 10 tahun pertama. Saya cukup kesulitan dalam hal manajemen waktu. Antara cari nafkah, bermusik, bikin label, meluangkan waktu untuk kawan-kawan di lingkaran pengorganisiran, dan waktu untuk keluarga. Saya bukan musisi profesional, jadi tidak cari makan di musik. Ada untungnya, membuat musik bisa seenaknya saja. Bebannya, saya harus cari makan di tempat lain. Sekarang agak mendingan, anak-anak saya sudah besar-besar, meski tetap saja butuh porsi besar perhatian saya. Tapi paling tidak, sudah tidak semumet dulu dalam hal manajemen waktunya. Tentunya, faktor istri saya yang paham soal apa yang saya lakukan juga berpengaruh.

Bagaimana Anda melihat konflik agraria di Indonesia beberapa dekade terakhir? Kemarin kan cerita kalau Anda sempat bantu LBH membuat kompilasi kasus sengketa di Bandung, ini boleh ditulis?

Saya pikir konflik agraria tak pernah surut di sini. Apa yang bisa diharapkan dari kebijakan pemerintah yang dari rezim ke rezim sama saja wataknya? Bahkan bisa dikatakan sejak rezim SBY konflik ini semakin memuncak, tepat ketika KP3EI dibentuk untuk melaksanakan dokumen kerja MP3EI yang ekspansif itu. Namanya saja sudah "percepatan dan perluasan". Bayangkan pembangunanisme ala Suharto ditambah kekolosalan "percepatan dan perluasan". Di abad ke-19, orang dan institusi yang dengan cara apapun menuntut kerelaan berkorban dan bekerja untuk cetak biru ekspansi bisa disebut sebagai penjajah. Daendels dan Jalan Raya Pos misalnya.

Hari ini disebut sebagai "percepatan pembangunan" dan kalian akan terlihat tolol ketika menyebutnya sebagai penjarahan. Apalagi ketika masuk ke era RPJMN yang presidennya adalah sosok populer. Membuat RPJMN itu terlihat seperti ‘produk’ pembangunan yang berdiri sendiri dan tak punya latar belakang. Terutama sebagai kedok pengerukan besar-besaran. Meninggalkan kita dengan kerusakan alam yang tak tergantikan, terusirnya orang-orang dari tanah mereka, tercerabutnya mereka dari budayanya, terasing dengan lingkungannya, berubah menjadi budak-budak yang seolah dibebaskan oleh pembangunan dengan pekerjaan-pekerjaan baru di pabrik-pabrik.

Banyak orang menyederhanakan ini cuma perkara ganti rugi. Padahal ruang hidup itu jauh lebih dari berapa besar uang dan seberapa nyaman relokasi yang didapat. Kalian tak perlu jadi scholar atau aktivis untuk memeriksa banyak bukti di luar sana yang bisa kalian temukan, atau misalnya, jika kalian terlalu jauh dari Maba dan Wasile, kalian bisa membaca buku Perampasan Ruang Hidup Orang Halmahera untuk paham bagaimana karut marutnya lanskap alam dan sosial di sana pasca tambang hadir.

Dan sebetulnya, dampak mengenaskan dari rezim seperti ini sudah bukan cerita baru juga. Kita dapat dengan mudah menemukan cerita bagaimana nasib mereka ketika ruang hidup mereka terampas dan tersingkir. Di bisnis raksasa ini, warga lokal akhirnya dirampas alat produksinya (tanah) dan terpaksa menjadi buruh. Alih fungsi lahan dan hutan besar-besaran akan melahirkan orang miskin baru, yang tak punya pilihan dan bersedia menjadi buruh murah. Konflik agraria ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah desain pembangunan yang sejak awal dibuat melalui konsultasi, diskusi dan partisipasi dunia bisnis maupun pemilik korporasi raksasa di ruangan-ruangan ber-AC di perkantoran mewah dan hotel-hotel suite.

Banyak orang yang melihat masalah ini parsial. Seperti kemarin saja contohnya, ketika Rembang, Kulon Progo, Sukamulya lalu Langkat membara, banyak yang melokalisir latar belakang atau pelakunya ke pemprov setempat, padahal gerbangnya sudah dibuka sejak dari atas. Sudah jelas ini struktural. Lah itu PP penyelenggaraan pengadaan tanah lalu peruntukan fungsi kawasan hutan memangnya dari mana asalnya? Ada tulisan singkat dan bagus dari Andre Barahamin di Indoprogress soal ini. Rasanya penting dibaca oleh banyak orang yang benar-benar ingin paham untuk memulai—dalam bahasa Hendro Sangkoyo—pembalikan krisis.

Dalam banyak kesempatan Anda menyerukan solidaritas antarkomunitas yang tengah mengalami konflik seperti di Rembang, Langkat, Sukamulya, Kulonprogo, Bali, Jakarta. Mengapa ini penting?

Tentu saja ini penting, terutama antarwarga yang sedang dihadapkan dengan krisis. Seperti yang kita sadari, tidak semua daerah berkrisis yang memiliki modal sosial atau teknologi yang sama. Ada daerah-daerah yang tak terekspos sama sekali, bahkan ketika perlawanannya massif sekalipun. Di situ letak penting solidaritas. Terutama bagi mereka yang di perkotaan dan memiliki akses berlebih terhadap teknologi informasi. Bisa dibayangkan kekuatan seperti apa yang akan lahir jika tiap daerah yang bergejolak tak hanya konsisten bertahan melawan, tapi juga memberi solidaritasnya bagi titik-titik api lain.

Tak hanya lintas daerah tapi juga lintas gerakan. Misalnya ketika buruh Karawang memberi solidaritasnya pada petani Karawang yang sedang disikat aparat beberapa waktu lampau. Mereka mogok keluar pabrik dan memblokade jalan tol. Sayangnya hal seperti ini sulit sekali merawatnya. Dan memang tak ada yang mudah jika bicara tentang kerja-kerja pengorganisiran. Intinya, solidaritas adalah salah satu senjata yang bisa efektif jika dilatih dan ditradisikan. Terutama jika bicara gerakan sosial modern yang desentralis. Imajinasinya, bagaimana mengorganisir kekuatan warga di banyak titik tanpa harus ada komando terpusat, lewat kerja berjejaring dan insting swarm lebah jika meminjam metafor Antonio Negri.

Kita tahu Pemerintahan kali ini banyak disokong aktivis, menariknya pemerintah kali ini sangat represif. Pelarangan buku, pembubaran diskusi, sampai dengan intimidasi, sangat intens, bukan?

Saya pernah dimaki-maki banyak kawan bahas beginian mulu nih. Bahas ngungkit soal kalau pemilu kemarin sama aja hasilnya. Kesannya saya hobi banget nambah-nambah musuh di lingkaran gerakan sendiri. Jangan-jangan ini pertanyaan jebakan juga.

Jadi begini aja deh, yang penting dari pemilu terakhir kemarin kita semua pada belajar bahwa perubahan tidak akan lahir dari sana, dan jangan habiskan semua energi di sana. Saya paham, ruang tempur harus dilakukan di banyak lini, tapi kalo pembenarannya adalah politik lesser evil itu bullshit. Apalagi tidak dibarengi dengan kerja-kerja pengorganisiran di level akar rumput yang notabene jadi korban cetak biru-cetak biru pemerintahan manapun dan apapun.

Dari pemilu kemarin semoga ada pelajaran di gerakan pro-dem di Indonesia bahwa presiden sipil sekalipun bisa jadi sangat militeristik ketika terpilih, dan jawabannya bukan dengan memilih figur lain lagi, tapi dengan telaten membangun gerakan yang otonom dan militan, dan gembira ria tentu saja. Bagus sih ada pengalaman pemilu kemarin dan hasilnya begini, jadi next time gak ada lagi alasan “rakyat Indon tidak sedang melakukan pemilu, tapi sedang melawan militerisme."

Kawan-kawan Anda yang dekat dengan kekuasaan juga tentu ada, toh? Bisakah Anda berdamai dengan kawan-kawan yang menyokong rezim pembangunanisme yang otoritarian ini?

Saya sudah lama berdamai dengan kenyataan. Saya lebih woles di umur segini. Jadi jika saya masih dianggap tokai hari ini, bisa dibayangkan seperti apa saya 15-20 tahun yang lalu. Banyak kawan yang ada di seberang jalan yang saya pilih, beberapa masih suka ngopi bareng. Tidak pernah ada salahnya ngopi dan ngobrol-ngobrol soal banyak hal. Toh dalam benak mereka pun mungkin saya asshole, dan mereka tetap mau ngopi.

Ada memang yang saya sudah tak bertemu sama sekali. Karena memang tidak berhubungan, dan ada yang saya memang menjaga jarak dengan mereka karena memang mereka sudah berubah sama sekali. Sudah bukan kawan dan saya anggap bagian dari rezim. It's fair enough, sekali lagi karena toh mereka juga kemungkinan besar sama sekali nggak pengen ketemu saya. Haha.

Anda juga aktif di media sosial untuk bicara tentang konflik sosial dan sengketa yang terjadi di masyarakat. Apakah Anda percaya bahwa gerakan sosial bisa dilakukan dari internet?

Jawabannya bisa ditanyakan juga pada Iyo Pure Saturday, apakah memancing ikan di sungai itu bisa dilakukan dari darat?

Beberapa kali Anda menggunakan musik sebagai sarana solidaritas. Apakah Anda percaya musik bisa menggerakkan?

Tidak, jika yang dimaksud itu musik bisa mengubah dunia. Ya, jika yang dimaksud kita bisa menggunakan musik sebagai salah satu pintu untuk upaya menggerakkan. Semua musisi paham, jika hanya menulis lagu saja tidak akan terjadi apa-apa, bahkan dalam pemahaman komersil sekalipun. Jika tidak membuat strategi produksi dan marketing, promosi dan lain sebagainya tentu saja musik hanya musik. Apalagi di wilayah perubahan sosial. Harus ada kerja-kerja sejenis yang dipetakan, dan mau dipakai bagaimana musik itu, termasuk segala macam yang ada hubungannya dengan musik.

Musik Anda, sejak Homicide sampai sekarang, punya pendengarnya sendiri yang militan. Dari rentang usia seumuran Anda sampai yg masih ABG. Berapa persen dari mereka, dalam takaran kasar Anda, yang terinsureksi? Ada cerita atau pengalaman soal ini?

Waduh, sialnya saya gak pernah memperhatikan sejauh itu. Apalagi sampe persentase. Yang pasti suka ada saja yang cerita soal hubungan mereka dengan musik saya atau hal-hal lain seputar apresiasi. Tapi terus terang saya tak pernah menaruh perhatian serius, karena entah apa pula pentingnya. Karya saya didengar orang saja saya sudah sangat bersyukur, apalagi dianggap inspirasi.

Beberapa tahun lalu Anda pernah membuat list 10 lagu perlawanan terbaik di Indonesia. List itu masih tetap atau sekarang ada tambahan? Siapa yang berpotensi bersaing dengan 10 lagu dalam list 10 itu?

Nampaknya nggak ada, atau paling tidak belum. Hal-hal seperti itu akan baru terlihat setelah lagu itu beredar dan memiliki kisahnya sendiri di lapangan. Meski ada lagu baru, kita harus memberinya waktu untuk kemudian ia bersirkulasi di luar sana.

Anda sibuk sekali sampai relatif jarang menulis sekarang. Sibuk bergerak dan wawancara rupanya? Masih merasa penting menulis?

Tentu saja, menulis masih sangat penting. Dan ya, saya jarang nulis belakangan, jika yang dimaksud nulis buat blog. Saya masih nulis soal hiphop karena untuk yang satu itu sulit untuk tidak melakukannya, sesempit apapun waktu. Karena hiphop adalah cinta pertama saya dan passion saya disana sampai sekarang. Itu kenapa kemudian saya membuat zine hiphop untuk menampungnya. Saya masih nulis juga untuk beberapa kebutuhan lain, umumnya kebutuhan di lapangan. Tapi nggak penting untuk saya cantumkan nama saya di situ. Apalagi jika berpikir itu adalah kerja kolektif. Sibuk wawancara? Yang bikin saya sibuk adalah ngejawab wawancara model-model sampeyan begini, yang kalo nggak dijawab anti bikin gogon (gosip underground) dan meme-meme nggak jelas. Nurustunjung.

Di salah satu esai, Anda menyebut perjumpaan dengan bapak menjadi titik picu sikap politis. Kata kuncinya perjumpaan, penghampiran, interaksi dengan manusia. Dalam situasi sekarang, Anda percaya itu masih lebih efektif ketimbang melalui teks?

Perjumpaan, penghampiran, interaksi dengan sekeliling kalian itu akan selalu lebih penting, relevan dan efektif. Teks, baik buku dan musik adalah medianya. Misalnya, satu hal yang mengikat kedekatan saya dengan Bapak, selain hubungan bapak-anak tentunya, adalah musik.

Apakah Anda percaya bahwa masyarakat yang berdaya, mengorganisir, dan bersolidaritas lebih punya dampak daripada pemilu?

Ya tentu saja, pertanyaan Anda jika saya hilangkan ‘apakah Anda’ dan tanda tanyanya, sudah jadi sebuah pernyataan lantang dan sebuah seruan. Dan nampaknya perkara detailnya sudah saya jelaskan tadi di atas, kira-kira sih begitu.

Pertanyaan terakhir. Apakah anda cinta NKRI?

Tentu saja. Persis seperti isi spanduk di depan Kodam Koramil dan kantor-kantor ormas; harga mati bung. Mirip coretan grafiti Neo-Nazi yang lagi marak di Amrik sana. O aja, ya kan?

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Musik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani