tirto.id - Setelah keluar dari Palestina yang porak-poranda digempur pasukan Israel, seorang gadis berusia 13 tahun memperoleh pengalaman buruk di Jerman pada 2015. Dalam acara televisi berjudul "Das Beste aus meinem Leben" atau "Kehidupan yang Baik di Jerman", sang gadis diberitahu Kanselir Jerman Angela Merkel yang hadir dalam acara tersebut, bahwa ia tidak bisa tinggal di Jerman dan akan dideportasi ke Palestina. Seketika gadis itu meneteskan air mata.
Meskipun saat itu si gadis telah menetap di Rostock, Jerman, selama empat tahun dan telah fasih berbahasa Jerman, Merkel menyebut bahwa keputusan itu dilakukan karena "ada ribuan pengungsi asal Palestina yang saat ini tinggal di kamp pengungsian di Lebanon [yang siap hijrah ke Jerman]. Dan jika saya menyebut 'kamu dapat tinggal di sini,' maka ribuan pengungsi itu akan datang ke sini."
"Jerman tidak memiliki kemampuan mengatasi pengungsi," imbuhnya.
Merkel berdusta. Sebagai anggota Uni Eropa yang ikut meratifikasi Perjanjian Schengen, Jerman memiliki kapasitas atau kemampuan mengelola arus migrasi manusia ke wilayahnya. Melalui Perjanjian Schengen, Jerman dan semua negara yang meratifikasi perjanjian tersebut mengizinkan wilayah mereka didatangi, tanpa pemeriksaan dan tanpa passport, oleh semua orang dari negara anggota Schengen.
Tanpa memperhitungkan jumlah penduduk Jerman, terdapat 340 juta jiwa penduduk Schengen yang secara teoritis dapat singgah dan menetap di Jerman kapan pun mereka hendaki. Tentu tak mungkin semua warga negara anggota Schengen memutuskan pergi ke Jerman. Namun, jika satu persen saja melakukannya, maka Jerman kedatangan 3,4 juta jiwa warga baru yang harus diterima dengan tangan terbuka karena perjanjian itu.
Artinya, menampung ribuan pengungsi bukanlah masalah berarti bagi Jerman. Terlebih, Jerman adalah alasan utama kaum Yahudi pindah ke tanah Palestina hingga membuat ribuan warga Palestina terusir dari tanah airnya. Dan setahun sebelum Merkel menghancurkan hati gadis Palestina itu, Pemerintah Jerman berhasil mengelola 400 ribuan pengungsi asal Timur Tengah dan Afrika yang tiba di Jerman.
Jerman sadar bahwa negara tanpa perbatasan, yang memungkinkan siapapun lalu-lalang tanpa izin dan pemeriksaan adalah omong kosong belaka. Perjanjian Schengen yang diratifikasi Jerman beserta 25 negara Eropa lainnya hanyalah konsep utopia.
Perbatasan Tetap Eksis
Pada 1988, saat berbicara dalam tajuk "Bruges Speech", Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menegaskan bahwa perbatasan, garis geografik imajiner yang dibentuk konstitusi untuk membedakan saya dan kamu atau kami dan mereka dalam konteks negara, sepatutnya dijaga serta dilindungi negara. Penegasan itu ditujukan untuk menghentikan gagasan yang kala itu tengah berkembang di Uni Eropa: menyatukan pelbagai negara anggota Uni Eropa tanpa perbatasan.
Meskipun pidato "The Iron Lady" ini cukup menggemparkan Uni Eropa, sebagaimana dipaparkan Ruben Zaiotti dalam "Cultures of Border Control: Schengen and the Evolution of European Frontiers" (2011), "Pidato Thatcher tidak cukup kuat untuk menghentikan gagasan yang ingin dihancurkannya."
Malah hampir tiga tahun sebelum pidato tersebut disampaikan, melalui pertemuan yang dilakukan di Schengen, Luxemburg, pada 14 Juni 1985 atau tepat hari ini 37 tahun lalu, Belgia, Prancis, Jerman, Luxemburg, dan Belanda sepakat untuk membuka perbatasan mereka untuk dilalui dan disinggahi masyarakat yang berasal dari negara yang menyetujui perjanjian ini.
Lahirnya kesepakatan tersebut merupakan babak baru ambiguitas Eropa tentang perbatasan. Sejak abad ke-17, melalui Perjanjian Westphalia, negara-negara Eropa mulai menerapkan konsep perbatasan untuk saling melindungi warganya dari serangan warga negara lain. Serangan yang didefinisikan sebagai perebutan lapangan pekerjaan dan sumber daya alam. Dan ketika Perang Dunia Pertama pecah, penjagaan perbataan semakin diperketat.
Pemeriksaan latar belakang serta paspor, misalnya, usai Perang Dunia Pertama menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi masyarakat lain dari negara lain apabila hendak memasuki perbatasan. Namun, saat Perang Dunia Kedua berakhir, sikap sebaliknya diperagakan. Karena hancur lebur akibat perang, perdagangan tak bisa dilakukan dan pabrik-pabrik tak bisa beroperasi, serta menghilangnya pekerja dan konsumen dalam jumlah sangat besar.
Pelbagai negara Eropa tersadar bahwa mereka tak bisa hidup sendiri, tak bisa memprioritaskan perbatasan. Terlebih, perang yang kemudian memercik lahirnya "versi dingin" itu berhasil membagi dunia dalam dua rupa, Blok Barat dan Blok Timur, yang ironisnya berpusat di Eropa dengan pembagian Berlin. Maka para petinggi Eropa, tulis Zaiotti, akhirnya menggaungkan "persatuan dan keterbukaan antarnegara" sebagai solusi. Yakni untuk mengatasi segregasi Barat/Timur yang dianggap imoral dengan menciptakan zona baru dunia: "zona netral", yang diterjemahkan melalui pendirian International Committee of the Movements for European Unity pada 1947 dan Hague Congress of the European Movement pada 1948.
Setelah kongres di Den Haag tersebut, tepatnya 37 tahun kemudian, puluhan negara Eropa akhirnya bersatu tanpa perbatasan melalui Perjanjian Schengen. Dua negara yang tergabung bahkan negara non Uni Eropa. Dan meskipun Andorra serta San Marino bukan bagian dari Perjanjian Schengen, keduanya ikut melibatkan diri membuka perbatasan mereka.
Ironisnya, perjanjian yang dimaksudkan untuk membuat Eropa sebagai zona netral, yang menganggap mengotak-ngotakkan dunia sebagai perbuatan imoral, justru melahirkan malapetaka baru. Menurut Jan Grymski dalam "Seeing Like a European Border: Limit of the European Borders and Space" (Global Discourse Vol. 9 2019), meskipun negara-negara Schengen mendeklarasikan dirinya terbuka, nyatanya keterbukaan perbatasan ini hanya ilusi. Ya, memang terbuka, tapi hanya untuk masyarakat dari negara Schengen. Artinya, perbatasan tetap eksis.
Membayar Negara Tetangga untuk Mengusir Imigran
Melalui ilusi ini, negara-negara Schengen akhirnya dibanjiri imigran yang hendak menjauh dari konflik yang bergejolak di tanah airnya. Ini membuat pelbagai negara Schengen berpikir ulang tentang konsep keterbukaan. Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Italia Mateo Salvini, misalnya, berang dengan menyebut "Pemerintah Italia perlu membantu masyarakat memiliki lebih banyak anak-anak [untuk mengisi wilayah Italia], bukan mengizinkan budak modern dari Afrika tiba di sini untuk mengisi populasi Italia."
Sikap ini bertentangan dengan sendi utama Perjanjian Schengen, yakni memberi peluang kewarganegaraan Eropa bagi imigran yang terpaksa keluar dari tanah air mereka akibat konflik. Bahkan Kanselir Jerman Angela Merkel--sebelum bertemu dengan gadis Palestina berusia 13 tahun pada 2015--pernah menyebut bahwa "jantung Eropa adalah kemanusiaan [...] Eropa seharusnya tidak menutup perbatasan [dalam menghadapi imigran yang terpaksa kabur dari negara mereka akibat konflik]."
Belakangan, karena ribuan imigran tiap tahun datang ke negera-negara Schengen termasuk Jerman, mereka akhirnya menerapkan kontrol perbatasan super ketat. Mereka menginisiasi aturan baru, yakni mengizinkan negara anggota melakukan pemeriksaan latar belakang dan paspor di perbatasan negaranya. Misalnya Jerman (anggota Schengen) memeriksan orang yang datang dari Prancis (juga anggota Schengen).
Selain itu, mereka juga membayar negara tetangga yang berbatasan dengan wilayah terluar Schengen untuk mengusir para imigran yang baru tiba. Turki misalnya, negara ini meraup 6 miliar Euro untuk menghalau imigran asal Afrika/Timur Tengah yang hendak pergi ke Schengen. Juga Maroko (343 juta Euro), Libya (300 juta Euro), Mesir (5 juta Euro), dan Jordania (3,2 miliar Euro).
Derasnya aliran uang membuat hal ini menjadi ladang pendapatan baru bagi negara-negara tetangga wilayah Schengen. Mereka bersemangat untuk mengusir para imigran, membuat hidup imigran yang telah hancur akibat konflik di negaranya menjadi kian hancur.
Editor: Irfan Teguh Pribadi