Menuju konten utama

Tim Kemanusiaan Nduga: Serangan Balik Polri Bisa Memperumit Masalah

Tim Kemanusiaan Nduga meminta pemerintah dan Polri menahan diri dan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Nduga, Papua.

Tim Kemanusiaan Nduga: Serangan Balik Polri Bisa Memperumit Masalah
Lokasi insiden pembunuhan di Nduga, Papua Barat. Google Map.

tirto.id - Seorang anggota Polri tewas di Kabupaten Nduga setelah menjadi sandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Wakil Presiden Jusuf Kalla pun memerintahkan Polri menyerang balik kelompok bersenjata di Papua itu.

Namun, anggota Tim Kemanusiaan Nduga, yang mewakili pengungsi di kabupaten tersebut, Theo Hasegem tidak sepakat dengan pernyataan Jusuf Kalla. Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua itu berpendapat pemerintah dan kepolisian sebaiknya menahan diri.

"Kalau ada korban, saya pikir semua pihak harus duduk dan diskusi kenapa masalah itu terjadi," kata Theo di Cikini, Jakarta Pusat, pada Rabu (14/7/2019).

Theo menilai, serangan balik Polri tidak akan menyelesaikan masalah. Dia mengatakan serangan balik dari kepolisian justru akan memperumit masalah di Nduga.

Sebab, kata Theo, serangan bersenjata di Nduga berpotensi menambah korban dari kalangan warga sipil.

Selain itu, menurut dia, citra Indonesia dalam menangani konflik Papua pun akan jadi sorotan internasional jika serangan balik itu memicu warga sipil menjadi korban.

"Kalau anggota meninggal, keluarga, istri, anak mereka siapa yang mau perhatikan? Apakah negara akan selalu memikirkan kebutuhan keluarga mereka? Kan tidak mungkin," tambah Theo.

Oleh karena itu, Theo meminta pemerintah melakukan pendekatan dialog dalam menangani konflik dia Papua. Dia mengingatkan pendekatan dialog sudah pernah berhasil dilakukan oleh pemerintah untuk mendamaikan konflik di Aceh. Bahkan, Jusuf Kalla menjadi aktor utama perdamaian itu.

Berdasarkan data Tim Kemanusiaan bentukan Pemkab Nduga, terdapat 182 orang sipil yang tewas sepanjang operasi gabungan TNI dan Polri berlangsung di kabupaten tersebut.

Seluruh korban tewas itu terdiri atas 17 bayi perempuan, 8 bayi laki-laki, 12 balita laki-laki, 14 balita perempuan, 20 anak laki-laki dan 21 anak perempuan. Selain itu, 21 perempuan dan 69 laki-laki dewasa juga menjadi korban tewas.

Selain itu, tim tersebut mencatat sekitar 37 ribu warga harus mengungsi dari rumahnya akibat konflik bersenjata di Nduga.

Sayangnya, besarnya jumlah pengungsi tidak diimbangi dengan fasilitas. Berdasarkan laporan tim, para pengungsi banyak yang tinggal di dalam honai. Satu honai pun bisa berisi 30-50 orang, bahkan ratusan.

Kondisi ini pun berdampak pada kesehatan pengungsi. Menurut catatan Dinas Kesehatan Nduga, hingga Februari 2019, 53 orang meninggal dunia di pengungsian. Data ini yang kemudian dipakai oleh Kementerian Sosial pada akhir Juli lalu.

Pengungsi pun banyak yang mengidap infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) akibat menghirup asap hasil pembakaran kayu bakar di dalan honai. Banyak dari mereka juga mengidap anemia lantaran makanannya kurang bergizi.

Hal ini juga berimplikasi pada nasib pendidikan anak-anak pengungsi. Total ada 637 siswa SD-SMA yang terganggu kegiatan belajar-mengajarnya akibat operasi gabungan di Nduga.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom