Menuju konten utama

Tiga Bulan Dihantam Corona, Maskapai Penerbangan RI di Ujung Tanduk

Maskapai penerbangan Indonesia mengambil langkah pahit untuk pertahankan industri: merumahkan ribuan karyawan hingga menunda THR.

Tiga Bulan Dihantam Corona, Maskapai Penerbangan RI di Ujung Tanduk
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Surabaya memeriksa kelengkapan surat perjalanan dan kesehatan seorang calon penumpang di keberangkatan Terminal 1 Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (23/5/2020). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/wsj.

tirto.id - Industri penerbangan Indonesia hampir kehabisan nafas untuk bertahan hidup di tengah krisis keuangan akibat pandemi COVID-19 selama tiga bulan terakhir.

Tak hanya perseroan berpelat merah, maskapai penerbangan swasta pun ikut kepayahan dihantam pandemi Corona yang menjangkiti nyaris setiap aspek ekonomi nasional.

Baru-baru ini PT AirAsia Indonesia Tbk mengaku pendapatannya berkurang 75 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal itu merujuk keterangan AirAsia kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (28/5/2020) lalu.

Imbasnya, 873 karyawan terpaksa dirumahkan AirAsia. Ada 9 karyawan tetap yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) dari total 1.645 karyawan. AirAsia juga memotong gaji sebesar 50 persen terhadap 328 karyawan.

Corporate Secretary PT AirAsia Indonesia Tbk, Indah Permatasari Saugi menjelaskan, langkah berat tersebut sudah mulai dilakukan AirAsia sejak pendapatan koorporasi berkurang akibat penghentian sementara operasional penerbangan.

Tak hanya rute domestik, juga rute internasional berhenti beroperasi selama tiga bulan terakhir sebagai imbas pemberlakuan pembatasan penerbangan oleh hampir seluruh negara dunia dalam memerangi Corona.

Pandemi COVID-19 ini juga berimbas pada pemenuhan kewajiban keuangan perusahaan secara jangka pendek dan entitas anak mencakup utang usaha, utang bank atau lembaga keuangan, kupon dan pokok obligasi, serta medium term notes.

“Berdampak untuk pemenuhan kewajiban pokok dan bunga utang,” kata Indah.

Maskapai dalam negeri, Garuda Indonesia dan Lion Air mau tak mau mengambil kebijakan pahit. Garuda Indonesia telah merumahkan sekitar 800 karyawan dengan status tenaga kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama tiga bulan terhitung 14 Mei 2020.

Pelonggaran Waktu Bayar Utang

Dampak ikutannya, Garuda Indonesia minta pelonggaran pelunasan Trust Certificates Garuda Indonesia Global Sukuk Limited senilai USD 500 juta yang jatuh tempo pada 3 Juni 2020. Sukuk merupakan obligasi syariah yang diterbitkan untuk mencari pendanaan dari kreditur atau pemberi obligasi.

"Perseroan optimstis dapat melewati fase ini dengan baik dan dapat semakin adaptif serta siap berakselerasi pada kondisi the new normal [kelaziman baru]," kata Dirut Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra.

Usulan perpanjangan waktu pelunasan 'utang' global sukuk yang akan jatuh tempo tersebut diajukan untuk jangka waktu minimal tiga tahun dan disampaikan melalui proposal permohonan persetujuan kepada pemegang sukuk.

Usulan tersebut disampaikan melalui Singapore Exchange (SGX) dengan informasi keterbukaan di Indonesia Stock Exchange (IDX) dan kepada ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Infografik Responsif

Infografik Responsif. tirto.id/Sabit

Irfan mengatakan, pelonggaran pembayaran utang telah dimintakan persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Sukuk yang akan dilaksanakan pada akhir masa grace periode pada 10 Juni 2020.

“Melalui permohonan persetujuan 'consent solicitation' atas sukuk ini, Garuda Indonesia dapat memperkuat pengelolaan rasio likuiditas perseroan di skala yang lebih favourable, sehingga kami dapat mengoptimalkan upaya peningkatan kinerja Perseroan dengan lebih dinamis," terang dia.

Sebelum pandemi, Garuda Indonesia bisa tumbuh 5,54 persen year on year (yoy) menjadi USD 4,57 miliar. Sebanyak USD 3,77 miliar adalah pendapatan penerbangan berjadwal. Sisanya pendapatan penerbangan tidak berjadwal dan lain-lain.

Garuda Indonesia juga mengantongi laba sebelum pandemi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk USD 6,98 juta. Sementara pada 2018 mereka rugi sebesar USD 231,16 juta.

Pada momen Idul Fitri 1441 H lalu, Lion Air Grup bahkan menunda THR pilot, pramugari sampai pejabat struktural di tiga anak perusahaannya. Lion Air Grup memilih kebijakan tanpa PHK, melainkan meliburkan karyawannya tanpa gaji.

Corporate Communications Strategic Lion Air Gruop, Danang Mandala Prihantoro mengatakan, beban operasional maskapai selama masa krisis dipangkas dengan berbagai kebijakan yang pahit bagi pegawai.

Berdampak Global

Krisis keuangan akibat pandemi berdampak global. Maskapai American Airlines Group Inc telah mengurangi staf manajemen dan dukungannya sekitar 30 persen dan mungkin harus memotong karyawan garis depan.

"[Perusahaan] merencanakan pengoperasian maskapai yang lebih kecil untuk masa mendatang," kata Wakil Presiden Eksekutif People dan Global Engagement Elise Eberwein kepada, Reuters, Sabtu (30/5/2020).

American Airlines Group Inc setidaknya punya 100.000 karyawan dan telah menawarkan opsi sukarela sebelum menerapkan pengurangan pekerja pada karyawan garis, pramugari dan pilot. Mereka akan diberikan opsi cuti sukarela dan pensiun dini pada Juni mendatang.

Maskapai terbesar Amerika Latin 'Latam' tak kalah 'berdarah-darah'. Pejabat Latam, Roberto Alvo mengatakan, maskapai dipaksa untuk membuat serangkaian keputusan yang sangat sulit dalam beberapa bulan terakhir.

Bahkan, Mei lalu, perusahaan patungan dari negara Chile dan Brasil itu mengaku akan memangkas ratusan karyawan. Hingga kini, operasional maskpai sudah dipangkas hingga 95 persen.

Stimulus Tak Tepat Sasaran

Pengamat industri penerbangan, Alvin Lie mengatakan, secara global badai PHK di industri penerbangan ini tak lepas dari kondisi ekonomi global dan ketatnya pembatasan penerbangan yang berlaku di seluruh dunia selama pandemi.

Berdasar peraturan Kementerian Perhubungan, maskapai Indonesia boleh terbang lagi setelah ada pelonggaran sejak 7 Mei. Calon penumpang setidaknya harus mengantongi izin bebas COVID-19 dan syarat administrasi izin keluar atau masuk daerah tujuan.

Sejumlah persyaratan itu tak ampuh sebagai stimulus maskapai penerbangan Indonesia. Menurutnya, kebijakan pemberian insentif kepada maskapai penerbangan nasional dinilai tak tepat sasaran.

Kebijakan pemberian insentif pun dinilai tak berguna lantaran terbentur pada aturan-aturan lain seperti protokol anti-corona di dalam kabin yang memaksa maskapai mengangkut kurang dari 50 persen kapasitas.

“Insentif apa coba yang sudah dikasih pemerintah ke maskapai penerbangan? Gak ada! Insentif itu, bagi yang terbang ada diskon, tapi 'terbang rugi' itu, hanya [angkut] 10 orang," kata, anggota Ombudsman Republik Indonesia ini.

Benturan lain, katanya, adalah dari pemerintah Indonesia sendiri yang melonggarkan PSBB dengan syarat super ketat.

"Masing-masing maskapai juga memberlakukan aturan sendiri sendiri. Bahkan ada yang memberlakukan SIKM [surat izin keluar-masuk]. Bali juga melakukan berbagai batasan, susah kan,” tutur dia.

Bila mengandalkan insentif terus-menerus, ia justru khawatir pemerintah Indonesia tak punya uang untuk membantu industri penerbangan.

Peran pemerintah Indonesia, kata dia, paling tepat adalah fokus menangani Corona agar kurvanya melandai. Hal itu berdampak luas terhadap aspek kehidupan di Indonesia, termasuk nasib industri penerbangan.

“Yang harus diselesaikan itu Corona ini. Jangan terburu-buru buka mal dulu nanti akan terjadi ledakan lagi. Semakin ada ledakan, semakin parah corona di Indonesia ini,” tegas dia.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali