Menuju konten utama

Tes Antigen, 'Game Changer' Surveilans COVID-19 yang Amburadul?

Rapid test antigen dipakai untuk menegakkan diagnosis positif COVID-19 sejak Desember lalu, menurut WHO. Tapi itu belum diadopsi hingga kini.

Tes Antigen, 'Game Changer' Surveilans COVID-19 yang Amburadul?
Petugas kesehatan mengambil sampel usap saat tes cepat antigen COVID-19 di Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali, Senin (1/2/2021). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.

tirto.id - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperluas definisi terkonfirmasi COVID-19. Dalam Pedoman Tata Laksana ke-3 yang dipublikasikan pada 16 Desember 2020, definisi terkonfirmasi juga mencakup orang-orang yang positif rapid test antigen dan memenuhi kriteria suspek atau probabel. Pada pedoman sebelumnya, orang dinyatakan terinfeksi hanya setelah dinyatakan demikian lewat tes rantai reaksi polimerase (PCR).

Rapid test antigen adalah tes untuk mendeteksi keberadaan antigen virus COVID-19 dari sampel lendir di saluran pernapasan. Sementara rapid test antibodi mendeteksi dengan sampel darah. Jika antibodi terdeteksi, maka hasilnya disebut reaktif.

Dibandingkan tes PCR, hasil tes antigen keluar lebih cepat, yakni hanya 20-30 menit. Sensitivitas atau kemampuan mengidentifikasi virus pun cukup tinggi, mencapai 80 persen, berbeda dengan rapid test antibodi yang sering memberikan hasil positif atau negatif palsu. Biayanya pun lebih terjangkau, hanya sekitar Rp400 ribu.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan protokol WHO itu bisa menjadi game changer dalam urusan surveilans COVID-19 di Indonesia yang amburadul.

"Kalau kita bisa mendeteksi orang yang membawa virus pada fase infectious dalam waktu satu jam, maka kita bisa melakukan pelacakan kasus dengan lebih cepat, kita bisa testing lagi, dan kita bisa segera memutus rantai penularan karena bisa langsung diisolasi," kata Pandu kepada reporter Tirto, Rabu (3/2/2021).

Karena mendeteksi kadar protein dalam virus, maka tes ini mampu mendeteksi orang dengan COVID-19 ketika sedang sangat menular. Oleh sebab itu, jika rapid test antigen bisa digunakan untuk penegakan diagnosis, otoritas kesehatan bisa segera mengisolasi orang positif tanpa perlu menunggu konfirmasi dengan tes PCR.

Dalam satu pekan terakhir, pemeriksaan PCR mencapai 302.054. Walaupun sudah berhasil melampaui standar WHO, tapi jumlah ini jadi tak ada artinya mengingat tingginya positivity rate--mengindikasikan banyaknya orang belum terjaring tes. Sebagai pembanding, India berhasil menurunkan kurva kasus setelah melakukan tes terhadap 5,2 juta spesimen per pekan.

Selain itu penyebaran tes di Indonesia pun belum merata. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaporkan telah memeriksa 122.285 orang alias setara 40,4 persen jumlah tes nasional dalam sepekan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun pernah menyinggung bagaimana tes COVID-19 tidak memadai karena kerap dilakukan terhadap orang dengan kepentingan pribadi, entah untuk berpergian atau bertemu pejabat, alih-alih hasil surveilans.

Atas dasar itu semua, Pandu mendorong agar Kementerian Kesehatan segera merevisi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 dan memasukkan rapid test antigen sebagai alat untuk menegakkan diagnosis positif, tidak hanya PCR.

Dalam hal ini menurutnya Kemenkes sangat lamban sebab protokol WHO itu sudah keluar sejak pertengahan bulan lalu. "Seakan-akan Kemenkes tidak mengetahui pentingnya surveilans, testing, pelacakan kasus, dan isolasi sebagai bagian untuk memutus rantai penularan," kata Pandu.

Meski banyak lebihnya, bukan berarti rapid test antigen tanpa catatan sama sekali. Ketua Satgas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk COVID-19 Zubairi Djoerban menilai perlu ada studi lebih dalam sebelum mengadopsi antigen sebagai alat untuk menegakkan diagnosis COVID-19. Sebab, berdasarkan pengalaman selama ini, banyak kasus false negative dari para pasien.

"Jadi kalau hanya mengandalkan rapid test antigen saya kurang setuju. Saya sarankan perlu penelitian dahulu untuk membuktikan rapid test antigen yang ada di Indonesia itu setara dengan PCR," kata Zubairi, Kamis (4/2/2021).

Mengenai desakan tersebut, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes Siti Nadia Tarmizi memastikan instansi sedang menyiapkan draf peraturan yang mengadopsi definisi, protokol, dan pedoman baru dari WHO termasuk soal penggunaan rapid test antigen sebagai alat diagnosis kasus positif. Namun, karena pedoman mencakup hal yang sangat luas, karenanya masih ada hal lain yang harus dikaji.

"Ini sudah disiapkan antigennya. Segera, tunggu saja," kata Nadia kepada reporter Tirto, Rabu.

Baca juga artikel terkait RAPID TEST ANTIGEN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino