Menuju konten utama

Terbang Tinggi Bersama Efek Rumah Kaca

Munir, Mei 1998, kemuakan atas kekerasan bemotif agama—Efek Rumah Kaca adalah protes.

Terbang Tinggi Bersama Efek Rumah Kaca
Band Indonesia, Efek Rumah Kaca konser di Bekasi (12/8/17). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Sejak Cholil Mahmud pindah ke New York pada 2015 silam untuk melanjutkan studi, Efek Rumah Kaca (selanjutnya ERK) jarang manggung. Sebagai gantinya, ERK tampil dalam wujud lain bernama Pandai Besi. Pindahnya Cholil memang sedikit mengerem laju ERK. Namun hal itu justru membuat para penggemar menanti.

Pada September 2016, usai tampil dalam festival musik yang diklaim “paling besar se-Indonesia” di Pulau Dewata, ERK membuat hajatan dadakan untuk para penggemarnya. Konser di Gudang Sarinah tersebut diadakan sebagai salam perpisahan pada Cholil yang keesokan harinya kembali ke New York. Tiket acara bertajuk “Tiba-Tiba Suddenly Konser” yang dijual secara mandiri (tanpa sponsor) itu ludes dalam waktu singkat.

Setahun kemudian, pada Juli 2017, ERK menyelenggarakan pentas serupa. Bedanya, kali ini konser diadakan untuk menyambut kedatangan Cholil dari Amerika. Judulnya, "Tiba-Tiba Suddenly Konser Again". Mengambil tempat di Ballroom Kuningan City, tiket terjual tanpa sisa.

Baru-baru ini, ERK kembali menggelar hajatan. Cholil bahkan rela balik ke Indonesia untuk turut ambil bagian dalam konser tersebut. Seperti tertera lewat akun Instagram-nya, ERK membuka kesempatan bagi promotor lokal yang ingin mengundang ERK sebagai bintang tamu pada 18 Februari hingga 3 Maret 2018.

Agenda ini ditempuh dalam rangka penggalangan dana untuk tampil di ajang festival SXSW (South by South West). ERK tercatat menjadi wakil Indonesia dalam acara yang berlangsung di Texas, Austin tersebut setelah beberapa kali gagal lolos kurasi panitia penyelenggara.

Konser penggalangan dana untuk keberangkatan ERK ke SXSW sudah dilangsungkan di tiga lokasi: Sukabumi, Palembang, dan Jakarta. Kamis (1/3) kemarin, rangkaian konser berlanjut di Depok sebelum ditutup di Lampung pada Sabtu besok.

Sorakan dan Keriaan

Pintu venue dibuka sejak pukul 18.00. Konser berlokasi di Faculty Club Universitas Indonesia, sebuah area terbuka dengan panggung amphitheater. Saya datang sekitar pukul tujuh lebih. Di bagian penukaran tiket, antrean terlihat mengular panjang. Rata-rata pengunjung adalah anak muda yang datang sendirian, berpasangan, maupun bergerombol.

Tepat pukul 20.00, ERK memulai pertunjukan. Mereka tampil dengan formasi lengkap. Ada Cholil (vokal, gitar), Poppie Airil (bas), Akbar Bagus (drum), Irma Hidayana, Nastasha Abigail, Cempaka Surakusumah (vokal latar), Dito Buditrianto (gitar), Agustinus Panji (trompet), serta Muhammad Asranur (keyboard). Lagu pertama yang dibawakan adalah “Merah”.

Bagi Anda yang pernah menyaksikan konser ERK, barangkali sudah hafal kebiasaan mereka. Setiap konser, ERK biasanya membagi penampilan dalam dua atau tiga babak. Pada babak pertama, mereka bakal memainkan materi di album ketiga, Sinestesia (2015). Lalu di babak selanjutnya, ERK akan memainkan lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008).

Pola tersebut mereka lakukan kala bermain di dua edisi “Tiba-Tiba Suddenly Konser”. Demikian pula konser di Depok, babak pertama diisi ERK dengan tembang-tembang Sinestesia. Setelah dibuka dengan “Merah,” berturut-turut ERK membawakan “Jingga,” “Biru,” “Kuning,” hingga “Putih”.

Memasuki penampilan babak kedua, ERK membawakan nomor-nomor anthemic macam “Jalang,” “Balerina,” “Melankolia,” “Cinta Melulu,” sampai “Di Udara" yang diiringi derasnya hujan. Beberapa kali masalah teknis muncul, mulai dari bas Poppie yang mati di tengah lagu hingga gangguan pada mikrofon Cholil. Namun, antusiasme penonton tidak berkurang sedikitpun.

“Enggak masalah sih itu [gangguan teknis]. Malah gue lihat penonton makin ‘liar’ di babak kedua ini,” ujar Reza Fadli, mahasiswa sebuah kampus swasta yang datang bersama teman-temannya.

Ungkapan Reza tidak sepenuhnya salah dan saya memang menyaksikan bagaimana penonton semakin bersemangat hingga babak penutupan. Penonton ramai-ramai bernyanyi bersama Cholil. Mereka berteriak saat "Mosi Tidak Percaya" dimainkan, bernyanyi lantang kala nomor "Di Udara" digeber, serta bergoyang bersama saat "Cinta Melulu" dibawakan.

Anda boleh percaya atau tidak, konser ERK bukan konser musik biasa. Pasalnya, menonton ERK adalah tentang mendapatkan momentum dan kepuasan yang tidak hanya bersifat teknis (kecakapan musisi di atas panggung, gemerlap tata cahaya, dan sebagainya) tapi juga batin.

“Lagu 'Di Udara' jujur paling bikin gue merinding dari sekian lagu mereka dan efeknya selalu terasa saat nonton mereka,” aku Annisa Zalfia, penonton yang berdiri tak jauh dari saya.

Terus Relevan

Antusiasme penonton di konser ERK tidak bisa dilepaskan dari lagu-lagu mereka. Dari Efek Rumah Kaca, Kamar Gelap, dan terakhir Sinestesia.

Fariza Khumaedi, Triyono Lukmantoro, dan Adi Nugroho dalam “Perlawanan terhadap Budaya Dominan dalam lirik Lagu-lagu Efek Rumah Kaca” (2013) yang diterbitkan Universitas Diponegoro, Semarang, menyatakan bahwa ERK menggunakan lagunya sebagai suara perlawanan kelas tertindas terhadap tindakan semena-mena penguasa. Tidak hanya suara perlawanan, lagu-lagu ERK juga memuat kritik terhadap fenomena sehari-hari.

infografik efek rumah kaca

Dalam Efek Rumah Kaca, misalnya, ERK mengkritik konsumerisme masyarakat lewat lagu “Belanja Terus Sampai Mati”. Coba simak liriknya: “Atas bujukan setan/Hasrat yang dijebak zaman/Kita belanja terus sampai mati.” Lalu, di “Cinta Melulu”, ERK mempertanyakan mengapa lagu pop Indonesia melulu hanya tentang percintaan.

Sementara di “Jalang”, ERK menyoroti pasal-pasal karet RUU Pornografi dan Pornoaksi. Dalam lagu itu, ERK mencoba menyampaikan pesan bahwa tubuh bukan sekedar obyek seksualitas, melainkan obyek estetik. ERK memandang pendekatan RUU Pornografi dianggap hanya melihat tubuh tak lebih sebagai “isu moral”.

Pada Kamar Gelap, ERK meneruskan suara perlawananannya seperti yang termaktub dalam “Kenakalan Remaja di Era Informatika” (konsekuensi buruk internet), "Banyak Asap di Sana" (pembakaran hutan), sampai “Mosi Tidak Percaya”.

Album terakhir mereka, Sinestesia, lebih lantang lagi menyuarakan perlawanan. Meski dibungkus instrumen musik yang kompleks, kritik ERK masih jelas terdengar. Anda bisa dengar “Jingga” yang menyoal penculikan aktivis 1998 dan tak ada kejelasannya sampai saat ini. Atau “Kuning” yang menyuarakan maraknya aksi kekerasan atas nama agama.

Masih dalam “Perlawanan terhadap Budaya Dominan dalam lirik Lagu-lagu Efek Rumah Kaca”, Fariza dkk., berpendapat bahwa lagu-lagu ERK yang bertema politik menjelaskan sikap yang diambil band tersebut.

Beberapa lagu ERK, catat mereka, memperlihatkan respons ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia, seperti kasus Munir (lewat “Di Udara”) yang hingga kini terlunta-lunta tanpa diketahui dalangnya, atau kasus penghilangan sejumlah aktivis pada masa Orde Baru yang juga menanti perhatian para penegak hukum.

ERK memang tak pernah memisahkan musik dari aktivisme, sesuatu yang akan terus relevan. Koor massal dan kepalan tangan ke langit dari anak-anak muda yang besar—bahkan lahir—di era pasca-Orde Baru adalah saksinya.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Musik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf