tirto.id - "Brandoooon, buka bajunya!"
Saya tertawa kecil mendengar teriakan penonton perempuan yang berdiri beberapa depa di sebelah kiri saya. Di atas panggung, vokalis Brandon Boyd, gitaris Mike Einziger, drummer Jose Pasillas, bassist Ben Kenney, dan pemain turntable dan synth Chris Kilmore baru saja naik dan memainkan lagu pertama, "Glitterbomb".
Brandon memang dikenal hobi membuka baju dan tampil telanjang dada saat di panggung. Dalam salah satu artikel tentang rumah para selebritas, situs Los Angeles Times mendeskripsikan Brandon sebagai, "Vokalis band rock usia 40 tahun yang sering tampil telanjang dada."
Tapi tentu saja ia tak langsung membuka bajunya di lagu pertama. Semua penggemar Incubus sepertinya tahu itu.
Incubus datang lagi ke Jakarta setelah tahun 2008 dan 2011. Tujuh tahun penantian rupanya bikin rindu penggemar band asal California ini. Apalagi tahun 2017, Incubus bikin album baru, 8. Tapi album kedelapan mereka ditanggapi kurang bagus, terutama oleh para kritikus.
Penulis musik The Guardian, Gwilym Mumford hanya memberi dua dari lima bintang. "Album 8 ini hanya biasa saja," tulis Mumford datar. Sedangkan Dan Weiss dari Consequence of Sound juga memberikan impresi serupa.
"[...] di album ini, sulit rasanya mencari hal yang membuat Incubus menjadi band cult. Album ini datar dan hambar, sama seperti judulnya," tulis Weiss.
Namun dari pengamatan sekilas, para penonton sebagian besar berusia 30-an. Artinya, mereka mendengar Incubus ketika duduk di bangku sekolah SMP dan SMA—saya salah satunya. Artinya pula, mereka mendengar Incubus di masa kejayaan. Sudah pasti mereka kurang peduli pada kritik terhadap album baru Incubus.
Sejak awal, Incubus seperti tak mau dianggap remeh. Mereka memang menua, tapi energi tetap melimpah. Maka saat "Circles" digeber sebagai lagu kedua, penonton bersorak meriah. Brandon tampil atraktif, terus bergerak. Memang hanya dia yang seperti punya privilese untuk bergerak bebas. Mike tampak konsentrasi pada efek gitarnya yang banyak itu. Sedangkan Ben tampak asyik berdiri dan menggerak-gerakkan kepalanya.
Saat yang dinanti kemudian tiba di lagu "Anna Molly". Tentu saja gemuruh penonton mengawali intro lagu yang khas itu. Sebagian mungkin seperti kembali pada medio 2006, saat video klipnya—menampilkan seorang perempuan yang dianggap tewas tapi ternyata masih hidup—sering wara-wiri di televisi.
Tapi bagi beberapa orang perempuan yang berdiri beberapa depa di sebelah saya, yang dinanti bukanlah bukan momen tengah lagu yang menghentak ataupun bagian reff yang terdengar seperti "anomali". Melainkan saat Brandon perlahan melepas kancing kemejanya, tinggal kaus kutang bermotif garis. Menampilkan badan atletis, dengan bisep yang berisi dan kencang.
"Brandooooon!"
Di lagu keenam, "Megalomaniac", akhirnya apa yang mereka pinta kesampaian. Brandon melepas kaus kutangnya, menampakkan dada nan lapang dan otot perut yang berkilauan oleh keringat. Para penonton menjerit makin keras.
"Aku kalau sudah tua ingin jadi seperti Brandon. Menua dengan elegan dan bermartabat," kata saya pada kawan di sebelah. Ia hanya tertawa sambil melirik perutku, lalu perutnya sendiri.
Usia Brandon sekarang 41 tahun, begitu pula Mike dan Jose yang ketiganya merupakan kawan satu angkatan di SMA Calabasas, California. Tapi sepertinya energi mereka seolah tak habis. Tentu saja agak susah melawan kehendak alam. Brandon agak kepayahan mendaki nada tinggi. Mungkin itu sebabnya, "Dig" tak dibawakan. Di lagu "11 am" ia harus berjuang keras. Namun, tak ada cela yang benar-benar serius. Brandon masih amat sanggup untuk bernyanyi dengan baik sepanjang konser.
Kalau ada yang harus disayangkan adalah: Brandon tak komunikatif. Ia hanya sesekali mengucap "terima kasih", atau "apa kabar" yang merupakan jaminan mutu kebahagiaan penonton Indonesia. Ia tampak kelelahan, atau mungkin menyimpan tenaga. Indonesia sebenarnya beruntung, mengingat ini negara pertama yang disinggahi Incubus untuk tur Asia. Setelahnya mereka pergi ke Singapura, India, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Jepang, sebelum akhirnya mereka terbang ke Afrika.
Sambutan paling meriah di Jakarta tentu datang dari lagu-lagu klasik mereka. Saat "Pardon Me" dilantunkan, para penonton seolah berteriak, berlomba urat leher siapa yang paling menonjol.
"Ini lagu bikin aku mengenang masa SMP," kata Domi, penonton yang berdiri di sebelah saya.
Ketika "Drive" dibawakan—sedikit berbeda ketimbang biasa, karena bagian awalnya pakai keyboard, bukan gitar—rasanya nyaris nihil penonton yang tak bernyanyi. Ia memang lagu yang membawa nama Incubus ke sirkuit band rock yang layak diperhitungkan. Tak heran kalau pada 2001 silam, Billboard menganugerahkan penghargaan "Modern Rock Single of the Year".
Salah satu lagu terkenal mereka, "Wish You Were Here" dibawakan di akhir konser. Seolah paham bahwa sejak dulu banyak yang bilang bahwa lagu itu mirip dengan lagu Pink Floyd, mereka pun menggabungkannya. Setelah lagu ke-18 itu kelar, mereka pamit ke balik panggung.
Penonton jelas tahu taktik klise ini. Teriakan "We want more!" bergema di Gambir Expo. Personel Incubus kemudian keluar disambut teriakan para penonton yang tak ikhlas banyak lagu klasik yang belum dibawakan. Di lagu ke-19, "I Miss You" dibawakan. Kembali mengundang koor penonton. Setelahnya, "Warning" dari album Morning View (2001) dimainkan.
Ternyata "Warning" adalah sebenar-benarnya pamungkas konser Incubus. Saya melongo saat melihat Incubus pamit sembari mendekapkan tangan ke dada. Mereka menghilang ke balik panggung, lalu lampu panggung mati. Saya kemudian protes tanpa ada yang mendengarkan. Mana "Love Hurts", "Promises Promises", "Dig"? "Love Hurts" adalah salah satu lagu mereka yang paling masyhur, tapi ternyata tidak dimainkan.
"Wah, padahal aku nunggu 'Talk Shows on Mute'," kata Domi, mengingat lagu pertama yang ia mainkan saat masih di bangku SMP itu.
Tak cuma penonton usia 30-an yang kecewa, seperti saya dan Domi. Beberapa anak muda usia 20-an juga kecewa karena rikues lagu seperti "No Fun" dari album 8 turut tak dibawakan.
Namun, seiring penonton yang berarak menuju pintu keluar, saya sadar: ini konser, bukan ajang karaoke. Setlist adalah hak prerogatif Incubus. Penonton tinggal terima jadi saja. Maka, di tengah jalan pulang, saya membuka playlist Incubus dari ponsel. Menyanyikan "Dig" dan "Promises Promises" sebagai penebus kekecewaan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani