tirto.id - Claire harus mengalami dua kali keguguran di The Time Traveler's Wife (2009) karena bayi yang dikandungnya memiliki kelainan dapat berpindah ke dimensi waktu lain seperti ayahnya, Henry. Pada usaha hamil ketiga kalinya, mereka setuju untuk tidak terus bertengkar agar bayinya tidak kabur dari kandungan.
What to Expect When You're Expecting (2012) menceritakan kemungkinan yang dapat terjadi pada empat pasangan yang menunggu kelahiran buah hatinya. Ada pelatih kebugaran Jules Baxter yang kehilangan tubuh ideal saat hamil, fotografer Holly Castillo yang memutuskan mengadopsi bayi dari Ethiophia, Skyler yang tak mengalami masalah apapun selama hamil, yang berkebalikan dengan pemilik butik perlengkapan ibu dan anak Wendy Cooper yang mengalami segala hal tak enak saat hamil; sakit punggung, jadi lebih emosional, payudara yang nyeri, hingga sering buang air kecil. Film ini juga tak luput mengisahkan geng bapak-bapak yang suka jalan sore bersama balitanya.
Children of Men (2006) mengisahkan kemungkinan yang bakal terjadi jika cuma ada satu perempuan sekaligus imigran gelap yang hamil di tengah krisis politik, bencana kemandulan sedunia, dan depresi umat manusia.
Masih banyak contoh film soal kehamilan atau yang kebetulan memuat adegan mengenai kehamilan. Ada banyak hal yang bisa diangkat dari cerita soal kehamilan, tak hanya kisah 1) laki-laki dan perempuan menikah, 2) lalu hamil, dan 3) punya anak.
Tapi kurang lebih itulah intisari Teman Tapi Menikah 2 (selanjutnya TTM2), lanjutan dari Teman Tapi Menikah (TTM) yang mengisahkan hubungan percintaan Ayudia Bing Slamet dan suaminya Ditto Percussion. Pertemanan Ditto dan Ayu sejak SMP digambarkan lewat adegan Mawar De Jongh bersalaman dengan Adipati Dolken yang memakai wig jelek. Untung adegan itu cuma sekali saja.
Ditto terjebak dalam wilayah pertemanan (friendzone) selama 12 tahun. Ia harus menunggu selama itu karena takut ditolak, tak rela kehilangan kesempatan untuk terus dekat dengan sang sahabat. Lantas kini, Ditto dan Ayu telah menikah. Mereka punya banyak mimpi setelah menikah; saling mendukung pasangan, keliling dunia bersama, dan lain-lain.
Lantas, belum berapa lama menikmati momen sebagai pasangan baru, Ayu kemudian hamil. Dan layaknya perempuan hamil pada umumnya, emosinya gampang berubah. Ia yang tadinya semangat menemani Ditto kemana-mana, jadi tidak seperti dulu lagi karena tubuhnya gampang lelah. Kehamilan juga membuatnya super sensitif.
Ditto mencoba memahami keadaan Ayu. Dia menahan diri dan pura-pura tidak cemburu dengan perhatian yang Ayu berikan ke si janin. Namun, yang sering terjadi adalah mereka bertengkar karena hal-hal kecil yang seharusnya bisa dimaklumi oleh pasangan yang tengah hamil; Ayu yang gampang berubah mood dan Ditto yang sering tidak sabar karena sikap istrinya tersebut.
Konflik wajar terjadi dalam hubungan, apalagi ketika salah satu pihak sedang mengandung. Ada berbagai macam artikulasi konflik dari yang beradab sampai yang terbelakang. Cara kita berkonflik dan menggambarkan konflik mencerminkan sejauh mana kita telah melangkah sebagai sebuah masyarakat. Anda tentu bisa bertanya-tanya mengapa dialog seperti di bawah ini bisa muncul di film tahun 2020, bukan 1920.
“Aku itu begini bukan diri aku, To. Tapi hormon!” ucap Ayu.
“Aku itu nikahin kamu, bukan buntelan hormon!” balas Ditto.
Contoh lain adalah ketika teman-teman Ditto akhirnya memutuskan pergi karena Ayu menganggap mereka mengganggu. Salah seorang kawan Ditto sempat bilang hal seperti “Tidak mau diamuk ibu-ibu hamil!”.
Bagaimana sikap Ayu sendiri? Ayu digambarkan nrimo. Ia beberapa kali minta maaf ke Ditto ketika sang suami marah-marah akibat hormon. Atau ketika Ayu bilang ke teman-temannya, “Laki gue aja jadi korban padahal enggak salah!”
Dan Ditto sama sekali tidak minta maaf setelah berkali-kali bertengkar dengan istri.
Sepanjang film, nyaris tidak ada konflik berarti selain pertengkaran-pertengkaran pasangan itu. Tidak ada pertengkaran soal nama anak, ibu mertua yang membenci menantu, atau dunia yang mereka huni beserta segala kerumitan, kemalangan, dan kepandiran di dalamnya.
Film ini disutradarai oleh Rako Prijanto, yang juga menyutradarai film sebelumnya. Jika pada ulasan Tirto sebelumnya, film TTM memiliki konflik yang nyaris konyol dan tak berarti padahal memiliki rentang waktu 12 tahun untuk mengolah cerita, maka bayangkan waktu 9 bulan yang berusaha diangkut oleh film ini. Saya justru seringkali geli melihat gaya khas ABG pacaran yang dibawakan Ayu dan Ditto. Ah iya, mereka belum sempat pacaran karena kelamaan berteman. Begitukah maksudnya?
Pada film TTM, alurnya dibuat maju-mundur, dengan sinematografi bernada sepia—yang ingin bilang bahwa sebagian kisah film ini terjadi di masa lalu. Hal ini tentu tidak dilakukan karena film TTM2 membawa alur maju. Tentu saya tidak perlu dijelaskan lagi apa yang terjadi dalam sebuah proses kehamilan.
Kemudian, masih sama seperti film sebelumnya, kamera hanya fokus pada dua karakter utamanya. Tokoh-tokoh lain hanya sesekali tampil dan tak memberi kesan berarti. Begitu pula karakter orangtua mereka yang sesekali muncul.
Barangkali, penghambat sutradara untuk menghadirkan cerita yang lebih kaya adalah fakta bahwa film ini merupakan adaptasi novel, yang juga diangkat dari kisah nyata di mana Ditto dan Ayu punya buah hati yang lucu. Sudah, itu saja. Dalam kapasitas itu, yang bisa ditanyakan adalah serealistis apa Adipati dan Mawar memerankan Ditto dan Ayudia.
Pilihan lain: melupakan novelnya dan membuat film yang jauh lebih serius.
Editor: Windu Jusuf