tirto.id - Sulit untuk tidak takut saat menonton film-film The Mo Brothers. Mereka tak sungkan melibatkan darah dan hentakan benda tumpul ke kepala manusia dengan scoring-bikin-ngilu dalam bahasa filmnya. Adegan-adegan begitu dibikin menumpuk. Menuliskannya saja sudah bikin tak nyaman, apalagi menyaksikannya di depan mata.
Meski kini bikin film sendiri-sendiri, visual gory itu masih jadi andalan dan ciri khas mereka. Dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (selanjutnya SIM 2), cara itu masih jadi senjata utama sutradara Timo Tjahjanto menakut-nakuti penonton.
Rasanya makin susah duduk tenang di bangku bioskop, saat setan di semesta horor yang dibikin Timo tak cuma iseng dan suka “mengganggu”, tapi juga mencelakai, mencederai, dan bahkan membunuh para protagonisnya. Belum lagi tata riasnya yang super-jelek dan ultra-seram. Kemunculan mereka (baca: setan-setan Timo) di layar—apalagi yang sekonyong-konyong—tentu saja akan bikin kita paling tidak menutup mata dengan telapak tangan, kalau bukan menjerit.
Timo juga suka bikin ranjau jumpscare yang berderet. Kadang, supaya tidak terlalu capek terkejut, saya mengetuk-ketuk kaki untuk menghitung kedatangan jumpscare berikutnya. Buat saya yang penakut, hal kecil ini cukup membantu. Meski tetap saja, adegan kepala bonyok dihantam palu, kulit muka robek dicakar hantu, atau muka remuk karena dihantam ke lantai tak mungkin tak bikin duduk gerasak-gerusuk.
Cara menakut-nakuti dengan adegan brutal, sayangnya tidak dilengkapi dengan naskah yang kokoh. Sering kali, ketakutan yang muncul cuma karena visual mencekam dan mengerikan, bukan karena susunan plot yang dibangun.
Penyembahan Setan
Seperti film pendahulunya, latar SIM 2 juga terjadi di sebuah rumah kosong, berlumut, jelek, dan menyeramkan, yang terpacak sendiri di tengah hutan. Jauh dari keramaian, jauh dari siapa pun yang bisa dimintai pertolongan pertama. Kali ini sebuah panti asuhan, bernama Bahtera.
Alfie (Chelsea Islan), si tokoh utama sejak film pertama dimintai tolong enam orang anak yatim yang dulu tinggal di panti asuhan itu. Caranya cukup aneh: Alfie dan adiknya, Nara (Hadijah Shahab), diculik dari rusun mereka, dibawa paksa ke Bahtera, dan diikat.
Film membingkainya seolah-olah cara itu yang paling masuk akal untuk meyakinkan Alfie membantu mereka. Enam anak yatim itu yakin kalau bapak angkat mereka bangkit dari kematian, ingin menjemput mereka satu per satu. Mereka yakin kalau Lesmana, ayah Alfie yang mati tak wajar, menyembah setan yang sama dengan Ayub (Tri Hariono), bapak angkat mereka.
Alfie, yang dua tahun sebelumnya selamat dari kejadian misterius di rumah kosong lain, diyakini bisa menyelamatkan mereka.
Plot selanjutnya memang mudah ditebak. Alfie sebagai karakter utama tentu saja cuma punya dua ujung: mati atau tetap hidup. Semua tokoh baru yang masuk ke semesta ini tak punya pilihan selain menyajikan parade kematian berlumur darah, sadis, dan mencekam. Mungkin, urutan kematiannya yang agak susah ditebak.
Secara keseluruhan, Timo memang melempar banyak subplot menarik. Misalnya, isu kekerasan seksual pada anak, sindrom Stockholm, dan… itu saja. Sayangnya, semua itu memang cuma sekadar dilempar bulat-bulat ke dalam dialog tokoh-tokohnya, hanya sebagai ornamen petualangan Alfie dkk kejar-kejaran dengan setan. Tak ada yang diuraikan lebih dalam, dan punya solusi jelas. Mungkin memang sengaja sebagai tempelan.
Timo sendiri bilang, “Film ini adalah film horor tapi juga fun, jadi rasanya nggak terlalu bikin stres, enggak selalu harus serius, walaupun ada tema-tema seriusnya juga,” dalam media screening di Jakarta.
Ia tampak fokus pada plot utama yang masih berotasi seputar penyembahan setan—benang merah yang mengikat film sebelumnya dan SIM 2.
Buat Alfie, petualangan di Bahtera adalah jalan untuk mejawab sebagian pertanyaan menggantung yang bikin hidupnya tetap tak tenang selama dua tahun terakhir: pasca-tragedi yang memaksanya membunuh kakak tirinya sendiri. Misalnya, pertanyaan tentang setan apa yang disembah mendiang ayahnya? Mengapa hidupnya dan Nara tetap tak tenang?
Untuk memeriahkan plot penyembahan setan itu, Timo melengkapi semesta SIM dengan ceceran simbol-simbol setan.
Ada bahasa semit, El Diablo, kepala kambing, telunjuk atas-bawah khas Bafomet, dan Molok/Moloch. Yang terakhir adalah raja setan yang sering muncul dalam budaya populer, berbadan manusia, berkepala kambing.
Sayangnya, ceceran simbol-simbol itu juga sering kali terasa seperti dilemparkan saja ke layar tanpa ada jahitan yang kokoh. Kehadirannya betul-betul dilempar Timo sesuka hati. Kadang hanya sebagai kejutan, kadang cuma sebagai hiburan. Misalnya, pada salah satu adegan yang mengundang tawa karena si setan memberikan jari tengah ke kamera.
Unsur fun yang disebut Timo dalam konferensi pers itu juga sering kali terasa lebih kental ketimbang kedalaman watak karakter-karakter yang ada dan dialog-dialog mereka. Ini membuat semesta SIM 2 terkadang terasa amat personal, seolah-olah Timo memang cuma ingin bersenang-senang dan menakut-nakuti penonton.
Dibandingkan dengan Ratu Ilmu Hitam, film teranyar Kimo Stamboel (abang Timo), SIM 2 terasa lebih lepas dan berjarak. Terutama dari dialog-dialognya. Naskah Ratu Ilmu Hitam, yang ditulis Joko Anwar, punya dialog-dialog intim dan memberi ruang yang cukup buat penonton bersimpati pada karakter-karakternya. Sementara, dialog-dialog dalam SIM 2 sering kali terasa lebih berjarak dengan kedalaman karakter yang tidak terlalu digali. Jarak itu muncul, mungkin, karena pengunaan bahasa Indonesia baku yang bercampur-campur dengan bahasa percakapan sehari-hari. Sehingga sering kali dialog yang muncul bikin dahi mengernyit.
Apakah itu buruk? Jawabannya sangat bergantung pada selera masing-masing. Sebagian orang memang tak perlu cerita yang terlalu mengikat, dan sudah cukup puas dengan adegan-adegan sadis dan brutal. Mungkin tak ada yang salah dengan itu.
Editor: Windu Jusuf