Menuju konten utama
Misbar

'The Call of the Wild': Apa yang Berbeda dari Novelnya?

Demi mengurangi bobot cerita, The Call of the Wild menampilkan polarisasi karakter hanya dalam dua warna: hitam atau putih.

'The Call of the Wild': Apa yang Berbeda dari Novelnya?
Trailer The Call of the Wild. Youtube/20th Century Studios

tirto.id - Pada 1933, ribuan pelajar dari 34 universitas di Jerman menjarah perpustakaan untuk mencari buku-buku yang dianggap mengancam rezim pemerintah Nazi. Mereka mengumpulkan ribuan buku menjadi sebuah tumpukan tinggi, kemudian tanpa rasa bersalah melemparkan satu per satu ke dalam kobaran api. Salah satu karya sastra terkenal yang menjadi korban aksi pembakaran buku pada waktu itu adalah The Call of the Wild karya penulis Amerika, Jack London.

London pertama kali menerbitkan karyanya itu secara berkala dalam surat kabar The Saturday Evening Post pada tahun 1903. Tak dinyana, kisah petualangan dengan pemeran utama anjing pekerja bernama Buck ini mampu menarik hati jutaan pembaca di Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, novel The Call of the Wild diterbitkan di Eropa dan menjadi salah satu karya sastra terpenting pada masa pra-Perang Dunia.

87 tahun kemudian, Walt Disney, melalui anak perusahaan Twentieth Century Studios, meluncurkan film adaptasi kesekian dari mahakarya London itu.

Transformasi Sang Anjing

The Call of the Wild diarahkan oleh Chris Sanders berdasarkan naskah yang ditulis Michael Green. Sanders sendiri dikenal sebagai sutradara film-film animasi keluarga, seperti Lilo & Stitch (2002) dan How to Train Your Dragon (2010). Sementara, Green lebih kerap menulis naskah film-film fiksi ilmiah, salah satunya Blade Runner 2049 (2017).

The Call of the Wild dibuka dengan montase singkat yang mempertunjukan kondisi Provinsi Yukon di sebelah timur perbatasan Kanada-Alaska selama periode Klondike Gold Rush tahun 1890-an. Alkisah, penemuan tambang emas di kawasan tersebut memicu gelombang migrasi besar-besaran yang menciptakan pemukiman baru. Kebutuhan akan bantuan tenaga anjing-anjing pekerja ikut meningkat begitu musim dingin tiba.

Kehidupan Buck sangat jauh berbeda dibandingkan kawanan anjing-anjing malang yang setiap hari harus berdamai dengan pecut para majikan di Yukon. Buck adalah anjing rumahan yang sangat manja dan suka membuat ulah. Saat sedang bersemangat, badannya yang besar dipastikan akan menerjang kesana-kemari hingga membuat etalase toko di sepanjang jalan Kota Santa Clara Valley, California, jadi porak-poranda.

Di tangan Sanders, Buck digambarkan bak anak dari keluarga elit yang selalu senang dan ceria bahkan setelah berulah. Kenakalan Buck dengan mudahnya mendapat maklum. Tidak ada satu orang pun yang berani mengusulkan bahwasanya Buck membutuhkan lebih banyak latihan kedisiplinan daripada makanan. Semua orang takut pada hakim Miller (Bradley Whitford), majikan Buck yang sangat terhormat di kota itu.

Dinamika hidup Buck berubah drastis ketika ia diculik oleh salah seorang penduduk kota dan dijual ke pasar anjing. Tanpa sepengetahuan pemiliknya, Buck dikirim menggunakan kapal uap menuju Provinsi Yukon di sebelah barat laut Kanada, di mana kehidupan yang dingin dan serba keras menantinya. Transformasi Buck dari anjing perliharaan yang dimanja menjadi anjing pekerja yang berjuang untuk hidup pun dimulai. Ibarat budak, Buck dijual dari satu majikan ke majikan lainnya.

Pertama, Buck dibeli dan dipekerjakan sebagai penarik kereta luncur oleh dua orang pengantar surat bernama Perrault (Omar Sy) dan Françoise (Cara Gee). Tidak berselang lama, pekerjaannya ini tergusur oleh perkembagan teknologi telegram. Buck lantas kembali dibeli oleh kelompok pemburu emas yang dipimpin oleh pria perlente dan congak bernama Hal (Dan Stevens).

Berbeda dari Novel

Melalui karakter Perrault dan Françoise, Sanders tampak menyelipkan isu perbedaan rasial yang santer diperbincangkan di negara-negara barat saat ini. Perrault adalah pria Afro-Amerika yang hidup berdampingan dengan kolonis kulit putih. Dia juga berteman dengan Françoise, seorang perempuan peranakan suku Indian. Representasi kedua karakter ini tentu bertolak belakang dengan sikap rasialisme yang masih sangat disembah di benua Amerika pada permulaan abad 20.

Jika dilihat dari sudut pandang politik masa kini, hal tersebut tidak salah. Akan tetapi, di saat bersamaan membuat The Call of the Wild jadi tampak seperti dongeng pengantar tidur anak-anak jika dibandingkan novel aslinya yang gelap dan penuh kekerasan. Anak-anak tidak perlu tahu kalau Buck yang asli pernah membunuh beberapa orang Indian demi membalaskan dendam majikannya, seorang pemburu emas yang berkulit putih.

Jack London sejatinya adalah penulis yang mempercayai gagasan rasial tentang keunggulan bangsa kulit putih. Ia juga dikenal sebagai sosialis, namun di sisi lain sangat mengagungkan invidualisme, dan keranjingan pada Darwinisme sosial. Gagasan politik dan sosialnya itu dianggap terlalu radikal hingga membuat sebagian besar novel-novelnya dicekal oleh pemerintah fasis Italia tahun 1920-an dan berakhir di liang pembakaran di bawah rezim Jerman-Nazi.

Di luar permasalahan rasial yang melenceng dari karya aslinya, The Call of the Wild dengan cerdik mengolah gagasan individualisme dari novel London ke dalam perkembangan karakter Buck. Seiring pergantian pemilik, Buck tumbuh menjadi anjing yang lebih individualis sehingga lebih mudah melawan ketidakadilan demi bertahan hidup. Perilaku inilah yang sangat ditakuti oleh pemerintahan diktator.

Infografik Misbar The Call Of The Wild

Infografik Misbar The Call Of The Wild. tirto.id/Quita

Klimaks dari transformasi Buck terjadi begitu lepas dari rantai perdagangan anjing berkat bantuan seorang pria tua kesepian bernama John Thornton (Harrison Ford), seorang melankolis penyayang anjing yang lebih suka hidup tenang daripada memperkaya diri dengan emas.

Thornton yang sedang menyendiri demi menyembuhkan perasaan bersalah setelah ditinggal mati oleh anak laki-lakinya dengan mudah menemukan ikatan persahabatan dengan Buck. Mereka berdua kemudian pergi berpetualang membelah belantara Yukon dan menjauh dari peradaban manusia.

Berbeda dari novelnya, The Call of the Wild pada dasarnya adalah film keluarga, seperti halnya cerita-cerita dengan tokoh anjing kebanyakan. Di sini, Sanders berusaha keras menutupi wajah asli eksploitasi alam di Yukon yang sesungguhnya. Dia juga menolak mengangkat adegan kematian anjing-anjing pekerja yang bertebaran dalam karya London.

Adegan perkelahian antara Buck dengan anjing dominan bernama Spitz pun mau tidak mau diangkat dengan cara yang menggemaskan. Persaingan yang terjadi di antara keduanya ditampilkan dalam suasana komedi tanpa dialog. Seperti ketika Buck yang lugu menamparkan ekornya ke wajah Spitz saat mereka pertama kali bertemu, misalnya. Kepentingan untuk menyulap mimik karakter anjing pekerja yang semula sangar menjadi lebih ekspresif ini rasanya membuat penggunaan animasi CGI menjadi lebih bermanfaat.

Demi mengurangi bobot cerita, The Call of the Wild menampilkan polarisasi karakter hanya dalam dua warna: hitam atau putih. Jika Buck adalah calon pemimpin berhati besar yang mengayomi sesama, maka Spitz adalah pemimpin sombong yang ditakuti. Begitu pula dengan kekejaman dan emosi meletup yang dimiliki Hal semata-mata dikerahkan untuk mengancam kehidupan John Thornton.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Film
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Eddward S Kennedy