Menuju konten utama

Tema Hari Bela Negara 2020 dan Sejarah HBN Diperingati 19 Desember

Penetapan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara terkait sejarah PDRI yang memiliki peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

Tema Hari Bela Negara 2020 dan Sejarah HBN Diperingati 19 Desember
Rombongan PDRI tiba di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara (bertongkat), berjalan didampingi Dr. Halim, M. Natsir (berpeci), dan Mr. Lukman Hakim. Foto/Repro

tirto.id - Hari Bela Negara yang kerap disebut dengan singkatan HBN selama ini diperingati setiap tahun di tanggal 19 Desember. Penetapan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara berkaitan dengan sejarah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia.

Tepat pada 19 Desember 1948, muncul deklarasi tentang pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat, punya peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II dan para pemimpin republik, termasuk Sukarno-Hatta ditangkap, PDRI menjadi penyelenggara pemerintahan RI sementara melalui Kabinet Darurat yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Maka itu, tanggal 19 Desember ditetapkan menjadi Hari Bela Negara melalui Keppres No. 28 tahun 2006 yang diteken oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Dikutip dari laman Kementerian Pertahanan, HBN tahun 2020 ini bertema “Semangat Bela Negara Wujudkan SDM Tangguh dan Unggul." Logo peringatan HBN ke-72 ini bisa dlihat melalui link situs Kemhan ini.

Tema HBN 2020 tersebut diharapkan dapat membawa seluruh lapisan masyarakat untuk membela negara. Selain itu, dalam poster di Kemhan juga dituliskan #AyoBelaIndonesiaku. Tujuan tagar ini menyadarkan seluruh bangsa Indonesia agar menjaga rumahnya. Di poster peringatan HBN 2020, Kemhan menulis: "#AyoBelaIndonesiaku. Karena Indonesia Rumah Kita Bersama."

Sejarah 19 Desember Hari Bela Negara

Setelah proklamasi kemerdekaan RI digaungkan pada 17 Agustus 1945, Belanda masih belum mau mengakui kedaulatan pemerintahan republik di tanah bekas jajahannya.

Bahkan, selepas Agresi Militer Belanda I yang dilancarkan sejak 21 Juli 1947 berakhir usai desakan PBB dan dunia internasional untuk gencatan senjata diserukan, bekas penjajah itu belum puas. Hal itu terbukti dengan kemunculan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.

Agresi ini diawali dengan serbuan tentara Belanda untuk menguasai Yogyakarta, yang kala itu jadi ibu kota republik. Mengetahui ada serbuan mendadak itu, Presiden Sukarno mengirimkan telegram yang mengabarkan serangan atas ibu kota Yogyakarta pada hari Minggu, 19 Desember 1948 pukul 06.00 WIB.

Telegram penting itu juga memuat perintah, bahwa apabila dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, Presiden Sukarno menguasakan pada Menteri Kemakmuran Sjarfuddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

Selain itu, ditugaskan pula pada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan A.A Maramis yang berada di New Delhi, India, untuk bersiap membentuk pemerintahan cadangan di India jika PDRI gagal.

Pengiriman telegram itu dilakukan sebelum tentara Belanda menangkap Sukarno-Hatta dan pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta lumpuh.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II itu, para petinggi RI ditawan dan kemudian diasingkan ke luar Jawa. Mereka yang ditahan adalah Sukarno (presiden), Mohammad Hatta (wakil presiden), Soetan Sjahrir (mantan perdana menteri, penasihat presiden), Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohamad Roem (Menteri Pendidikan), dan lainnya.

Maka, pada 19 Desember 1948, Sjafruddin Prawiranegara mendeklarasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi untuk memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa eksistensi RI masih ada sekalipun Belanda menangkap banyak petinggi republik.

Tokoh-tokoh seperti Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, dan Loekman Hakim juga ikut andil dalam pendeklarasian PDRI. Setelah PDRI dibentuk, Sjafruddin dipercaya mengisi jabatan sebagai ketua merangkap perdana menteri, menteri pertahanan, dan menteri penerangan.

Keberadaan PDRI telah menjadi lambang nasional yang mempersatukan seluruh kekuatan pasukan RI yang sedang bergerilya di Jawa dan Sumatera.

Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005:213), Audrey R. Kahin menulis, PDRI memiliki peran penting dalam menjamin perjuangan melawan Belanda melalui pemerintahan yang resmi serta diakui oleh semua pendukung republik.

PDRI bertahan dan menjalankan pemerintahan darurat selama 207 hari. Lalu, setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, dan Soekarno-Hatta kembali memegang kendali atas pemerintahan RI sejak 13 Juli 1949, PDRI resmi dibubarkan.

Baca juga artikel terkait HARI BELA NEGARA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom