tirto.id - Setujukah kamu kalau “timing” alias pemilihan waktu sangat menentukan keputusan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan?
Nyatanya, hubungan yang telah dijalin bertahun-tahun lamanya tidak selalu menjamin keberadaan cincin di jari manis.
Sebaliknya, pertemuan yang singkat di waktu yang tepat bisa jadi berakhir dalam ikatan pernikahan.
Miranda Hobes dalam serial televisi Sex and the City percaya beginilah cara laki-laki menentukan teman hidupnya.
Menurut Miranda, laki-laki dapat diibaratkan supir taksi yang hanya akan menjemput penumpang ketika lampu taksinya dinyalakan—menandakan kesiapan menerima penumpang baru.
“Laki-laki itu seperti taksi. Ketika tersedia, lampunya menyala. Satu hari, mereka bangun tidur dan memutuskan bahwa mereka siap untuk menetap, memiliki anak, apa pun itu, dan mereka akan menyalakan ‘lampu’ mereka.”
Begitu petuah Miranda untuk teman-temannya yang percaya pada cinta dan takdir.
@lebaneseangel22 Replying to @annachant i always thought i was a samantha but i guess im a miranda 😂 #sexandthecity#satc#mirandasexandthecity#satctiktok#satcedit#satctok#datinginnyc#taxicabtheory#taxitheory#datingin2023#relationshipadviceforwomen#datingadviceforwomen
♬ original sound - Lebaneseangel22
Dari metafora inilah “Taxi Cab Theory” berkembang.
Laki-laki diumpakan sebagai supir taksi yang mondar-mandir di jalan mencari cinta, tetapi mereka tidak kunjung menjemput siapa pun sampai “lampu” dinyalakan.
Mereka mungkin sudah melewati perempuan-perempuan luar biasa yang bersemangat melambaikan tangan ke arahnya.
Meski begitu, bisa jadi perempuan lain di jalanan berbeda yang akan menaiki taksi tersebut—tergantung kapan si laki-laki siap berkomitmen.
“Taxi cab theory” bisa jadi pembahasan yang menarik tentang kompleksitas hubungan percintaan.
Komitmen laki-laki untuk menikah dianalogikan seperti lampu taksi yang menyala—siap untuk jemput penumpang.
Demikian disampaikan terapis hubungan Afton Turner melansir Very Well Mind.
Bagi sebagian orang, teori ini mungkin terdengar menenangkan hati ketika mengingat setiap hubungan jangka panjang yang gagal berakhir menjadi pernikahan.
Artinya, penolakan itu tidak ada kaitannya dengan dirinya, melainkan hanya soal waktu yang tidak tepat.

Di sisi lain, teori ini menjadi mimpi buruk perempuan karena calon suaminya tidak benar-benar menginginkannya atas dasar cinta dan komitmen, melainkan hanya karena mereka sudah siap untuk menikah.
Namun, seberapa akurat teori ini dalam realitas hubungan modern?
Masih mengutip dari Very Well Mind, menurut Tammy Nelson, penulis buku Open Monogamy: A Guide to Co-Creating Your Ideal Relationship Agreement (2021), teori ini terlalu menyederhanakan dinamika hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dipandang sebagai pihak yang dikontrol sepenuhnya oleh waktu dan rencana jangka panjang sehingga tidak lagi memedulikan perasaan mereka.
Sedangkan perempuan diposisikan sebagai aktor yang pasif dalam hubungan asmara—seakan-akan mereka “cukup” dengan menunggu di trotoar dan melambaikan tangan kepada setiap taksi yang lewat.
"Teori taksi bersifat spesifik gender, dan tidak didasarkan pada penelitian atau data psikologis apapun. Teori ini mengasumsikan hubungan heteronormatif di mana laki-laki memutuskan untuk berkomitmen ketika mereka siap berkomitmen, terlepas dari siapa pun pasangannya,” tambah Nelson.
Meskipun mereka sudah masuk ke waktu yang tepat untuk menikah, laki-laki tetap akan mengencani perempuan yang mereka sukai dan memasangkan cincin di jari manis seseorang yang berharga baginya.
Aktris dan podcaster Brett Cooper dalam opini berjudul “The Truth About the Taxicab Theory” di Daily Wire mengatakan bahwa laki-laki justru akan lebih berhati-hati dalam memilih pasangan ketika mereka sudah mapan dan siap membangun rumah tangga.
“Ia akan lebih selektif karena ia akan mencari perempuan yang diyakini dapat membangun kehidupan bersama yang diharapkan akan mempermudah dan mempercepat prosesnya,” tulis Cooper.
"(Ketika) karier dan keuangannya baik-baik saja, dan teman-temannya sudah menikah. Pernikahan sangat menular di kalangan laki-laki," terang pakar relasi dari situs Dating Advice,Wendy Walsh.
Waktu yang tepat bagi laki-laki bisa jadi dikaitkan dengan pendidikan yang sudah tuntas, jenjang karir yang stabil, situasi finansial yang sudah mencapai tujuan tertentu, dan ketika usianya sudah matang.
Apabila aspek-aspek tersebut sudah terpenuhi, laki-laki cenderung akan mulai memikirkan tentang pernikahan.
Namun, jangan salah, perempuan juga dapat memperhitungkan “timing” yang tepat untuk mencari pasangan yang serius. Biasanya, ini dipengaruhi oleh umur dan tekanan sosial.
Tidak semua perempuan sudah siap untuk dilamar kekasihnya sepanjang waktu.
“Ketika waktunya tepat, ketika perempuan siap untuk menjalin hubungan, ketika mereka mulai mendambakan keluarga dan komitmen, mereka mungkin memilih pasangan yang sedang bersama mereka saat itu—jika orang tersebut memenuhi persyaratan mereka untuk hubungan jangka panjang,” ujar Nelson.
Teori taksi ini mungkin terdengar masuk akal apabila kita kerap menjumpai laki-laki yang lampunya tidak menyala dan berakhir patah hati ketika mereka menjemput orang lain.
Namun, gagasan teori ini sebaiknya tidak dijadikan pegangan yang serius karena tidak didukung oleh bukti yang kuat.
Ia mendorong perempuan untuk percaya bahwa laki-laki hanya mempermainkannya—dan memutuskan hubungan—sepanjang mereka belum diikat janji pernikahan.
Tak hanya itu, pandangan ini juga menciptakan nuansa permusuhan antarperempuan—merujuk pada momen ketika ada perempuan lain yang akan dinikahi oleh si laki-laki kelak.
Terciptalah ilusi bahwa calon istrinya tidak punya kualitas yang istimewa selain waktu, yang kebetulan saja, sesuai dengan kesiapan pihak laki-laki untuk berkomitmen.
"Teori ini mungkin bisa menjelaskan mengapa laki-laki belum siap untuk berkomitmen, tapi itu tidak menjelaskan bagaimana ia bertindak dan berinteraksi dalam hubungan tersebut," imbuh terapis Turner.

Pada kenyataannya, ada banyak faktor yang bisa membuat suatu hubungan berakhir di tengah jalan.
Memang betul, waktu bisa berperan, tetapi itu bukan satu-satunya faktor di balik hubungan yang langgeng sampai pelaminan.
Alih-alih hanya terpaku pada soal waktu, Turner menyarankan untuk melihat pasangan sebagai “orang yang tepat pada waktu yang tepat.”
Dengan begitu, ketika seseorang menyalakan lampu dan mengarahkannya kepadamu, kamu tetap punya kuasa untuk memilih apakah ingin ikut bersamanya atau tidak.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































