Menuju konten utama

Tanggal dan Bulan Lahir, Benarkah Memengaruhi Kesuksesan?

Jerih payah bukanlah faktor utama penentu kesuksesan seseorang. Ada beragam variabel lain, mulai dari keturunan, ekonomi, bahkan bulan kelahiran.

Tanggal dan Bulan Lahir, Benarkah Memengaruhi Kesuksesan?
Ilustrasi bulan lahir dan peluang sukses. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tulisan ini bukan tentang astrologi, primbon, atau perhitungan weton. Sekali lagi, bukan! Terkait perihal takhayul apalagi ramalan juga sama sekali jauh dari pembahasan di dalamnya.

Ini tulisan tentang kesempatan. Tanggal dan bulan lahir merupakan salah satu yang menentukan kesuksesan seseorang di suatu bidang atau kegagalan di bidang lain.

***

Sekarang, buka daftar pemain timnas U-23 Indonesia. Perhatikan, berapa banyak atlet yang lahir di atas bulan Juli?

Merujuk pada data per 25 Juni 2025, dari 30 pemain timnas Indonesia U-23, hanya enam pemain yang lahir antara Agustus-Desember. Sisanya lahir antara Januari hingga Juli.

Demikian juga dengan timnas U-17, U-20, dan U-22. Skuad pemainnya didominasi para atlet yang bulan kelahirannya di kuartal pertama dan kedua tahun tersebut.

Tidak hanya di Indonesia, data statistika juga menunjukkan pola linear di kalangan atlet muda sepak bola di Eropa pada 1999-2000. Dalam “Relative Age Effect in Elite Youth Soccer” yang disusun peneliti olahraga dari Tennessee Tech University, Ajit Korgaokar, kurang dari lima persen dari keseluruhan atlet yang lahir pada Oktober, November, dan Desember.

Apabila memperhatikan daftar pesepak bola ternama di liga lainnya, besar kemungkinan kamu akan menemukan pola yang sama. Kebanyakan atlet profesionalnya terkumpul dalam satu kelompok kelahiran bulan-bulan tertentu.

Sialnya, hal itu tidak hanya terjadi di dunia sepak bola. Cabang olahraga lain juga terkena efek sama.

Dalam psikologi, istilahnya adalah fenomena usia relatif (the relative age effect). Orang yang pertama kali memopulerkannya adalah Roger Barnsley dan istrinya, Paula Barnsley, serta rekan sejawat mereka, A.H. Thompson, dalam artikel “Hockey Success and Birthdate: The Relative Age Effect” yang terbit pada 1985 di Canadian Association for Health, Physical Education and Recreation Journal.

Ceritanya, di awal 1980-an, ketika sedang menghadiri pertandingan hoki Lethbridge Broncos di Alberta Selatan, Paula heran ketika memperhatikan daftar pemain liga hoki di Kanada. Sebagian besar pemainnya lahir pada Januari, Februari, dan Maret. Ia menyampaikan kebingungannya itu kepada suaminya yang merupakan peneliti psikologi olahraga.

Penasaran dengan fenomena yang ditemukan istrinya, Roger lantas mengumpulkan data-data statistik tentang para pemain hoki di Kanada. Dugaan istrinya benar! Sedikit sekali pemain hoki Kanada yang lahir di akhir tahun (Oktober, November, dan Desember).

Secara spesifik, berdasarkan riset Barnsley, hanya 9,2 persen dari seluruh atlet hoki Western Hockey League 1983 yang lahir pada Oktober, November, dan Desember.

“Hidup tidak adil,” tulis Barnsley dalam subjudul riset terbarunya yang terbit di Frontiers in Sports and Active Living. Setelah 40 tahun teorinya dipopulerkan, hingga 2023, hanya 10 persen atlet hoki profesional di Kanada yang lahir di kuartal terakhir.

Kita bisa menarik kesimpulan jika merujuk pada sekumpulan data-data lintas cabang olahraga di atas. Jika seseorang lahir pada akhir tahun dan ingin menjadi seorang atlet, kemungkinannya jauh lebih kecil dibanding calon-calon atlet yang lahir pada kuartal pertama dan kedua.

Ilustrasi bulan lahir dan peluang sukses

Ilustrasi bulan lahir dan peluang sukses. FOTO/iStockphoto

Selama ini banyak orang berpikir bahwa sukses dan keberhasilan merupakan hasil usaha dan jerih payah belaka. Padahal, sebenarnya ada banyak variabel lain memengaruhinya. Salah satunya adalah tanggal dan bulan lahir.

“Penjelasan untuk hal ini sebenarnya cukup sederhana,” tulis jurnalis Malcolm Gladwell dalam Outliers (2009). “Penjelasannya adalah batasan umur penerimaan untuk berbagai kelas usia hoki di Kanada adalah tanggal 1 Januari,” lanjutnya (Hlm. 23).

Hal sama juga terjadi untuk perekrutan tim atlet U-17, U-20, U-22 dan U-23, baik untuk Asian Football Confederation (AFC) atau SEA Games. Batas usia skuad pemainnya ditentukan per tanggal 1 Januari tahun turnamen berlangsung.

Dengan memberlakukan aturan di atas, kita bisa lihat contoh skenario pada dua calon pemain sepak bola U-17 berikut. Misalnya, pemain pertama lahir pada 2 Januari 2008, sementara pemain kedua lahir pada 31 Desember 2008. Keduanya sama-sama mengikuti seleksi tim nasional U-17 untuk turnamen yang digelar pada awal 2025.

Secara administratif, dua pemain tersebut berada dalam kelompok usia yang sama. Namun, ketika seleksi berlangsung, pemain yang lahir di awal Januari telah genap 17 tahun, sedangkan yang lahir di akhir Desember masih 16 tahun dan baru akan berulang tahun menjelang akhir tahun. Selisih hampir satu tahun ini menciptakan perbedaan signifikan dalam hal perkembangan fisik dan psikologis.

Selama proses seleksi, pemain yang lebih tua—meskipun hanya beberapa bulan—akan tampak lebih matang secara fisik, punya daya tahan lebih tinggi, serta menunjukkan kepercayaan diri dan kematangan emosional yang lebih menonjol. Sementara itu, pemain yang lebih muda terlihat masih tertinggal dalam aspek fisik dan pengalaman permainan.

Pada akhirnya, pelatih cenderung memilih pemain yang lebih tua untuk bergabung dalam tim nasional. Bukan semata-mata karena ia lebih berbakat, tetapi karena ia berada pada fase perkembangan yang lebih maju.

Kemampuan para atlet tersebut—yang lahir pada kuartal pertama dan kedua—terlihat lebih dominan. Padahal, sebagian besar keunggulan itu mungkin berasal dari kematangan usia, bukan dari bakat murni, sebagaimana dikutip dari Journal of Sports Sciences.

“Anak-anak yang dilahirkan lebih dahulu [lebih tua] menonjol di perkembangan talenta [olahraga] mereka. Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan badan yang lebih baik, serta mereka lebih dewasa, baik itu secara fisik atau emosi, daripada rekan-rekannya yang lebih muda," tulis Kyle Bennett di salah satu bagian artikel jurnal di atas.

Hal demikian juga terjadi dalam penerimaan sekolah-sekolah atlet di berbagai negara di seluruh dunia. Sebagai misal, di Sekolah Sepak Bola (SSB) Baturetno di Yogyakarta atau SSB Persija di Jakarta, usia minimal untuk bisa diterima di sekolah tersebut adalah 6 tahun.

Artinya, anak yang berusia 5 tahun 11 bulan tidak bisa diterima di sekolah sepak bola tersebut. Sementara itu, anak yang berusia persis 6 tahun dan 6 tahun 11 bulan dapat berlatih bersama, meskipun kondisi fisik dan kognitif keduanya berbeda.

Perlakuan orang dewasa, baik pelatih, guru, maupun orang tua, terhadap anak-anak dengan skill berbeda kerap kali timpang. Anak yang dianggap lihai, pandai, dan berbakat, akan memperoleh asuhan dan perhatian intensif dari pelatih, guru, atau orang tua mereka. Padahal, perkembangan fisik dan kognitif keduanya memang lain karena perbedaan usia belaka.

Karena itulah, sosiolog kesohor Robert Merton memberi istilah untuk fenomena ini sebagai Efek Matius, yang diambil dari salah satu ayat Perjanjian Baru di Injil Matius: “Karena setiap orang yang memunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tapi, siapa yang tidak memunyai, apa pun yang ia miliki akan diambil daripadanya.”

Ekonom asal Kanada dari Universitas Toronto Scarborough, Elizabeth Dhuey, menyatakan kekhawatirannya terhadap sistem tak adil tersebut.

“Menurut saya, ini benar-benar menyedihkan. Penentuan batas usia akan menyebabkan efek yang bertahan sedemikian lamanya dan sepertinya tidak ada seorang pun yang peduli dengan hal itu,” ujar Dhuey, sebagaimana dikutip Malcolm Gladwell dalam Outliers.

Sialnya, fenomena usia relatif tidak hanya terjadi di ranah olahraga, tetapi juga di bidang pendidikan formal. Berdasarkan kebijakan terbaru yang tertuang dalam Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, usia prioritas masuk Sekolah Dasar (SD) adalah 7 tahun per Juli setiap tahun ajaran berlangsung. Tidak berbeda jauh, bukan?

Ilustrasi bulan lahir dan peluang sukses

Ilustrasi bulan lahir dan peluang sukses. FOTO/iStockphoto

Terkait ihwal kependidikan, Elizabeth Dhuey dan Kelly Bedard pernah melakukan penelitian terhadap nilai ujian matematika dan sains yang diberikan di berbagai negara di seluruh dunia. Mereka berdua membandingkan antara nilai-nilai yang diukur dan bulan kelahiran anak tersebut.

Salah satu hasilnya, anak kelas empat yang bulan kelahirannya paling tua cenderung mendapat nilai lebih tinggi sampai 12 persen daripada anak yang lebih muda di kelas yang sama.

Jika dianalogikan, siswa yang lebih tua akan tampak lebih cerdas. Salah satu faktornya tak lain adalah karena perkembangan kognitifnya lebih dahulu daripada yang muda.

Apabila yang satunya memperoleh nilai 90, yang lebih muda memperoleh nilai 70. Bukan karena salah satunya lebih pintar, melainkan perkembangan kognitifnya saja yang belum sampai.

Sayangnya, nilai-nilai itulah yang menjadi patokan kelompok-kelompok tertentu yang "berhak" dan "tidak berhak" masuk ke kelas unggulan.

Seseorang yang lahir di bulan tertentu memiliki kesempatan berbeda daripada yang lain. Kesempatan yang terlihat tipis ini bukan tidak mungkin menentukan keberhasilan kita semua.

===============

Abdul Hadi merupakan akademisi di bidang psikologi, lulusan Magister Psikologi Sosial dan Kesehatan Utrecht University.

Tirto.id membuka peluang bagi para ahli, akademisi, dan peneliti, untuk memublikasikan hasil riset keilmuan. Jika berminat, silakan kirim surel ke mild@tirto.id untuk korespondensi.

Baca juga artikel terkait MASA DEPAN atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - GWS
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fadli Nasrudin