tirto.id - Suatu sore, DW, 27 tahun, bercerita kepada DD, 29 tahun. Ceritanya meledak-ledak, penuh amarah, dan tangis. AR, saat itu, sedang kesal dengan dirinya sendiri. DW sedih karena tak kunjung mendapat pekerjaan setelah kontraknya diberhentikan dari perusahaan lamanya. Kesialannya itu membuat orangtua DW menyindirnya habis-habisan.
"Kata mamaku, kamu itu bisa kerja apa enggak? Kok sampai kontraknya enggak diperpanjang?" tutur AR.
Menyandang status pengangguran selama lebih dari 6 bulan membuat perempuan itu harus mendengar lagi dirinya dibanding-bandingkan oleh orangtuanya. DW memiliki dua orang adik perempuan yang usianya tak jauh darinya: KE, adik pertamanya yang berusia 26 tahun, dan MT yang berumur 25 tahun.
Sebagai anak tertua, DW dianggap gagal. Apalagi, sebelumnya, ia pernah menganggur selama lebih dari 1 tahun setelah lulus kuliah. Berbeda dengan kedua adiknya yang langsung mendapat pekerjaan selepas wisuda. Bahkan sebelum KE lulus, ia sudah diperebutkan oleh banyak perusahaan karena IPK-nya nyaris sempurna. Saat upacara wisuda, KE pun mendapat gelar wisudawan terbaik.
"Bahkan budeku pun bilang, yang lebih pantas jadi kakaknya tu KE daripada aku," ungkapnya.
Sedangkan dengan MT, ia kerap dibandingkan karena lulus terlambat. DW dan MT mengambil jurusan kuliah yang sama. Orangtuanya berpendapat MT lebih baik karena bisa lulus dalam 4 tahun, berbeda dengan DW yang baru lulus setelah 5,5 tahun. Padahal, nilai yang diperoleh AR lebih tinggi ketimbang MT. AR lulus lebih lama dari MT karena penelitian yang ia lakukan memakan waktu lebih dari setahun.
Bukan hanya soal sekolah dan pekerjaan, ihwal memilih pacar juga menjadi perkara di depan orangtuanya. Meski pacar DW lebih pintar dan mapan ketimbang pasangan adiknya, orangtuanya tak yakin. Alasannya, orangtua DW tak suka dengan latar belakang keluarga sang kekasih.
"Orangtuaku tahu kalau pacarku anak baik-baik, tapi mereka minta aku pikir-pikir ulang karena enggak suka sama orangtuanya. Kalau adik-adikku pacaran, mereka setuju-setuju saja. Ya aku apes aja, orangtuaku sama pacarku saling kenal, jadi tahu masalah-masalahnya. Kalau sama pacar adikku kan mereka enggak kenal sama sekali," ungkapnya.
Dampak Psikis
Meskipun bukan penyebab tunggal, kerap membandingkan anak satu dan lainnya memang bisa berdampak terhadap perkembangan mental seseorang. Dalam "When Parents Compare Siblings, the Results Can Show On Report Cards" yang tayang di The New York Times, dimuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alexander C. Jensen dan Susan M. McHale.
Jensen, dosen di jurusan Human Development Universitas Brigham Young, dan McHale, profesor Human Development di Universitas Negeri Pennsylvania, mengambil sampel dari 388 keluarga, kebanyakan dari Eropa dan Amerika.
Dua peneliti ini punya pertanyaan: seperti apa perbedaan nilai akademis antara adik dan kakak di keluarga anda? Penilaian orangtua ini bisa punya dampak. Dua peneliti ini menemukan hasil bahwa, "kepercayaan orangtua pada anak-anaknya punya peran dalam performa akademik."
"Anak yang dianggap lebih pintar secara akademis akan relatif lebih kompeten dan mengungguli saudaranya. Sebaliknya, anak yang yang dianggap kurang apik nilai akademisnya, akan disalip oleh saudaranya," tulis peneliti ini.
Ada lagi dampak lain, yakni, "Anak yang lebih tinggi nilainya ketimbang saudaranya, biasanya lebih tertarik di dunia akademik di masa depan."
Penelitian ini, ujar Jensen dan McHale, memang punya banyak kekurangan, terutama dari segi geografi. Sebab semua responden berasal dari kawasan Timur Laut Amerika Serikat. Penelitian ini juga melahirkan pertanyaan tambahan, semisal apakah para orangtua ini memperlakukan anak-anaknya dengan berbeda dan karenanya bisa melahirkan hasil yang berbeda pula?
Psikolog klinis Nirmala Ika menegaskan bahwa pada dasarnya membanding-bandingkan apa pun adalah hal yang tidak baik, meskipun memiliki niat baik. Termasuk dalam hal pendidikan anak.
“Yang mulai dilakukan sekarang adalah enggak ada ranking, sebenarnya terkadang tujuannya baik, supaya termotivasi untuk baik. Cuma balik lagi, semua manusia ingin dirinya kompeten di semua aspek,” ujar Nirmala kepada Tirto.
Jika orangtua membandingkan anaknya dan si anak dianggap lebih buruk, anak itu bisa merasa sebagai anak yang gagal. Padahal, bisa jadi anak tersebut punya keunggulan di bidang lain.
“Ketika itu dia terima terus-terusan dari kecil, mereka yakin kalau dia enggak bisa. Padahal, orangtua lupa, anak itu beda-beda, misal kakaknya bagus di matematika, adiknya bagus di bahasa. Atau mamanya lupa bahwa adiknya mungkin bagus di kesenian. [Biasanya, anak] dianggap bodoh karena tidak melewati standar umum,” kata Nirmala.
Ada banyak dampak buruk yang menimpa orang yang sering dibanding-bandingkan. Misalkan, dia menganggap ada yang salah jika mampu mengerjakan sesuatu dengan baik.
“Misalnya dia selalu dianggap bodoh di matematika, ketika suatu saat dia bisa mengerjakan dan nilainya bagus, dia akan merasa, ‘ah ini pasti ada yang salah’,” tutur Nirmala.
Dampak lain adalah ia akan sulit berhasil di bidang hidupnya karena dipenuhi dengan keragu-raguan, bahkan sebelum mencoba sesuatu. Kerap kali, orang seperti ini akan memilih untuk mundur karena takut gagal.
Berhenti Membanding-bandingkan
Untuk menghentikan kebiasaan membanding-bandingkan, Nirmala punya beberapa tips. Pertama, kita harus sadar bahwa pada prinsipnya tak ada orang yang suka dibandingkan. Untuk itu orangtua harus belajar untuk melihat keunikan pada masing-masing anak.
"Jangan pakai standar patokan orang lain ke anak kita," ujar Nirmala.
Tips lain: dengarkan keinginan anak. Nirmala punya pengalaman personal dengan hal ini. Dulu, dia sering menceritakan nilai ulangan anaknya di depan orangtua murid lain dan anak-anaknya. Sang anak kemudian protes sembari menegur Nirmala.
"Aku enggak suka kalau Mama buka-buka tas di depan teman-temanku," ujar anaknya waktu itu.
"Nah aku harus menghargai dia. Jadi bisa koreksi diri, orangtua kan juga manusia, bisa kebablasan,” ungkap Nirmala. Sejak saat itu, Nirmala juga tak pernah menceritakan nilai anaknya ke orang lain.
Menurut Nirmala, kunci untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain adalah berani melihat kapasitas diri kita sendiri.
“Kalau kita bandingin diri kita sama orang lain, enggak akan ada batasnya,” tandasnya.
Editor: Nuran Wibisono