Menuju konten utama

Takhta PKS yang Langgeng di Depok

Kader PKS menguasai Balai Kota Depok di Margonda sejak 2006.

Takhta PKS yang Langgeng di Depok
Ilustrasi PKS menguasai Depok. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pada 9 Desember 2015, pasangan Idris Abdul Shomad & Pradi Supriatna mengalahkan Dimas Oky Nugroho & Babai Suhaimi dalam Pilkada Depok. Perbedaan suaranya: 61 persen berbanding 38 persen. Kemenangan Idris itu kembali melapangkan kader Partai Keadilan Sejahtera berkuasa di Depok.

Sebelumnya, Nur Mahmudi Ismail langgeng selama 10 tahun. Di bawah mantan presiden PKS itu, partai tersebut merebut suara mayoritas legislatif di Depok.

Prestasinya? Pendiri PKS ini dicibir terutama saat kebijakan aneh seperti "One Day No Rice" dan "Gerakan Makan dengan Tangan Kanan". Nur Mahmudi kini dalam jerat tersangka kasus korupsi proyek pelebaran jalan, yang dituduh polisi setempat merugikan negara Rp10,5 miliar.

Mengapa PKS begitu ajeg menguasai Depok hingga tiga periode?

Menurut Muttaqin, Kepala Pemenangan Pemilu DPD PKS Depok, pamungkas PKS mengamankan suara selama ini dengan memanfaatkan militansi dari para kader.

Mesin partai itu bekerja dengan mendoktrin bahwa kampanye dalam pemilihan daerah dan nasional—baik kepala daerah maupun legislatif—merupakan bagian dari ibadah.

“Sehingga kader PKS bukan hanya berkorban waktu, tenaga, dan pikiran, tapi juga finansial,” klaim Muttaqin.

Selain itu, pendekatan PKS melalui ideologis. Mereka mendekati konstituen lewat penyadaran dan pemahaman, bukan pertama-tama lewat politik uang.

"Sebab, jika bermodal politik uang, PKS akan kalah total karena modal yang minim," ujar Muttaqin.

Pengaruh PKS di Depok menyentuh ke diskusi-diskusi informal di kampus dan kelompok Tarbiyah. Kaderisasi sudah dilakukan sejak dini.

Demografi masyarakat Depok adalah kelas menengah berpendidikan tinggi. Sekalipun begitu, Muttaqin menolak jika kelompok konservatif kanan menjadi keuntungan bagi mereka.

“HTI dan Salafi itu cenderung apolitis dan anti-demokrasi. Malah menggerus suara PKS karena golput,” imbuh Muttaqin.

Kilas Balik Pemilihan Wali Kota 2015

November 2015 saat masa kampanye Pilwakot Depok, pasangan Dimas & Babai tergiring isu agama. Beredar spanduk-spanduk bertuliskan, “Haleluya… Puji Tuhan… Ayo Sukseskan Satu Kelurahan, Satu Gereja” bersanding gambar pasangan kandidat itu. Spanduk itu terpasang di beberapa wilayah seperti Cilodong, Cinere, Citayam, dan Sawangan.

“Ini kejahatan demokrasi,” kata Dimas waktu itu menanggapi kampanye hitam yang menyeret dirinya.

Dimas meyakini isu agama dan etnis yang menerpanya itu penyumbang terbesar kekalahannya pada 2015. Popularitasnya yang sempat menanjak langsung terjerembab, terjadi sebulan sebelum pencoblosan. Saat itu politik pakai kartu agama dan etnis warisan pilpres 2014 masih panas.

Penduduk Depok adalah kelas sosial yang bekerja di Jakarta. Mereka punya kegiatan di luar Depok, seperti di Jakarta, dan baru kembali pada malam hari. Akhir pekan lebih dihabiskan untuk beristirahat ataupun rekreasi.

Bagi Dimas pada waktu itu, kelompok masyarakat apatis menjadi tantangan tersendiri. Sementara PKS mengambil kesempatan dengan mengkonsolidasikan basis pemilih yang kuat di luar kelompok masyarakat tersebut.

“Tapi faktor lainnya, pihak kami juga yang kurang sosialisasi. Kesolidan partai pengusung saat itu juga berpengaruh,” ujar Dimas yang saat itu diusung PDIP, NasDem, PAN, PPP, dan PKB.

Selain itu, PKS juga diuntungkan dengan rivalnya dalam panggung pilwakot yang kerap tak memiliki profil yang kuat.

Dalam kiprahnya, Nur Mahmudi berperan sebagai politikus gaek Partai Keadilan (kini PKS). Ia mampu membawa pengaruhnya di Depok sehingga membuat aktor-aktor politik di kota itu tergantung padanya.

Infografik HL Indepth Depok

Lumbung Suara PKS

Nur Mahmudi & Idris Abdul Shomad dan PKS adalah satu tarikan napas. Ketiganya telah memimpin Depok sejak 2006 saat kota ini mengadakan pemilihan pertama kepala daerahnya secara langsung.

Depok adalah lumbung suara PKS di Jawa Barat, selain Bekasi dan Bandung. PKS di Depok hampir selalu menempati tiga besar pada pemilu legislatif sejak 2004.

Jawa Barat termasuk provinsi yang jadi medan kemenangan bagi PKS, termasuk menjadi lumbung suara bagi Prabowo Subianto, kandidat presiden yang diusung PKS pada 2014.

PKS di Depok berperan menyumbang suara atas kemenangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf pada pemilihan gubernur Jawa Barat 2008, kandidat yang diusung PKS. Ahmad Heryawan menggenapi dua periode kekuasaannya di Jawa Barat, persis sama dengan Nur Mahmudi di Depok.

Bedanya, pada pemilihan kali ketiga, kader PKS kalah pada Pilgub 2018. PKS mengusung Sudrajat dan Ahmad Syaikhu; bukan Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, dua pesohor yang pernah diusung PKS. Pada 2013, Ridwan Kamil memenangkan Wali Kota Bandung sementara Deddy Mizwar mendampingi periode kedua Ahmad Heryawan.

Meski begitu, kandidat Sudrajat dan Ahmad Syaikhu yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN mengejutkan dengan perolehan suara tertinggi kedua.

Artinya, mesin PKS masih setia bekerja, persis sebagaimana kader-kader PKS memenangkan pemilihan wali kota Depok selama tiga periode berturut-turut.

Kini setelah Nur Mahmudi, orang yang meletakkan dinasti PKS di Depok, terjerat kasus korupsi—dan di tingkat provinsi sang gubernurnya bukan lagi dari PKS—apakah kelak pada pemilihan wali kota Depok tahun 2021 tetap dimenangkan kader PKS?

Baca juga artikel terkait KORUPSI PENGADAAN LAHAN atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam