tirto.id - Pada gelaran Piala AFF, sering kali timnas Filipina paling banter hanya mampu menembus babak semifinal: pada tahun 2010, 2012, dan 2014. Selebihnya, mereka hampir selalu berada di tubir pesakitan. Namun, menjelang gelaran Piala AFF 2018, timnas Filipina ternyata cukup serius dalam berbenah.
Bagi Azkals, julukan timnas Filipina, masa-masa menjadi pesakitan dianggap sudah lewat. Mereka bahkan ingin melangkah lebih jauh, setidaknya hingga mampu menembus babak final. Filipina rupanya ingin menampilkan sesuatu yang beda pada AFF 2018.
Pada Oktober 2018 lalu, Sven-Gran Eriksson diangkat menjadi pelatih terbaru Filipina. Dan Palami, menager timnas Filipina, pun menyampaikan pengumuman itu dengan bangga, “Salah satu pelatih legendaris sepanjang masa, Sven-Goran Eriksson, akan menjadi pelatih Azkals dalam gelaran Piala AFF (2018) dan Piala Asia (2019).”
Eriksson jelas-jelas mantan pelatih adiluhung. Rekam jejaknya mengatakan itu semua. Ia pernah membawa Benfica berjaya di Portugal pada awal tahun 1980-an, membuat Lazio mengusik dominasi Juventus di Italia pada musim 1999-2000, hingga didaulat menjadi pelatih asing pertama timnas Inggris pada 2001 silam. Namun, sinar benderang Eriksson bisa dibilang berakhir setelah ia meninggalkan timnas Inggris pada tahun 2006 lalu. Sejak saat itu, namanya seperti tenggelam dihajar zaman.
Eriksson melompat dari satu klub ke klub lainnya, dari satu negara ke negara lainnya tanpa mampu meninggalkan sesuatu yang berharga. Terakhir, pada 14 Juni 2017 lalu, mantan pelatih terbaik Serie A tersebut bahkan dipecat Shenzen, salah satu klub asal liga Cina, setelah hanya bekerja selama sekitar tujuh bulan.
Penurunan karier yang dialami oleh Eriksson tersebut lantas membuat John Duerden, pengamat sepakbola Asia, mengatakan bahwa pilihan Azkals tersebut sangat berisiko. Eriksson bisa menjadi pedang bermata dua bagi mereka. Alasan Duerden sederhana: meski tidak tahu nilai pastinya, Filipina pasti menguras isi brankas mereka untuk menggunakan jasa Eriksson.
Yang menarik, Filipina sepertinya sadar betul akan risiko tersebut. Oleh karena itu, mereka sengaja mengontrak Eriksson hanya selama 6 bulan dengan opsi mendapatkan perpanjangan kontrak. Sebuah sikap pragmatis, tentu. Namun, apabila dilihat lebih jauh, terutama bagi Filipina, itu barangkali sebuah sikap yang cukup tepat untuk dilakukan.
Di Filipina, sementara sepakbola menjadi nomor sekian, basket adalah hal utama. Saat tim basket Filipina terus melaju sekencang kereta peluru, hingga akhirnya nangkring di peringkat 30 dunia FIBA (menjadi tim ketiga terbaik di Asia), sepakbola Filipina tak pernah ke mana-mana: mereka hanya bergulat dengan mediokritas. Siapa yang peduli? Hampir tidak ada.
Dari situ, selain untuk mengincar prestasi, Eriksson kemudian digunakan untuk menarik perhatian. “Keuntungan mendapatkan pelatih seperti Sven bisa membuat semua orang menyadari bahwa kami serius dalam mengembangkan timnas Filipina. Ini bahkan menjadi berita utama di dunia internasional, “ kata Palami, dilansir dari Rappler.
Palami kemudian menutup pernyataannya itu dengan tandas. Ia menyebut bahwa 10 tahun lalu hal seperti itu tak mungkin terjadi di Filipina. Kala itu, kemungkinan orang bisa mendarat di Planet Mars bahkan lebih besar daripada kemungkinan pelatih sekelas Eriksson bisa menjadi pelatih Filipina.
Kemudian, segera setelah Eriksson dipastikan menjadi nakhoda anyar Filipina, dampaknya benar-benar langsung terasa bagi Filipina. Optimisme menyeruak. Pemain-pemain yang memiliki darah Filipina pun berlomba-lomba untuk membela timnas Filipina.
“Saya mendapatkan pesan dari banyak pemain yang tertarik [bergabung dengan Azkals]. Saya sebelumnya tidak menyadari bahwa ada pemain Filipina lainnya yang bermain di divisi lebih tinggi di Spanyol dan Amerika Selatan,” kata Palami.
Saat ini, semua pemain terbaik Filipina memang belum bisa bergabung bersama tim, tapi lihatlah skuat Filipina yang dibawa Eriksson ke Piala AFF 2018. Skuat itu sudah terlihat begitu mentereng.
Di sektor kiper, Neil Etheridge, penjaga gawang utama Cardiff City, ikut bergabung ke dalam tim. Paul Mulders dan Luke Woodland, full-back kanan Buriram United, menjadi tulang punggung di lini belakang. Di lini tengah, Filipina bertabur bintang: ada John-Patrick Streuss (FC Erzgebirge), Mike Ott, Manny Ott, dan Stephan Schrock (Ceres Negros), serta Iain Ramsay (Felda United). Sedangkan di lini depan, selain Phil Younghusband, Filipina juga mempunyai Patrick Reicelt.
Phil Younghusband, kapten timnas Filipina, bahkan terlihat optimistis mengenai komposisi timnya tersebut. Kepada Rappler, ia mengatakan, “Ini jelas tim terkuat yang pernah kami miliki untuk Piala AFF.”
Dengan skuat seperti itu, Filipina langsung memulai petualangannya di Piala AFF 2018 dengan kemenangan. Menjamu Singapura, yang menang dari segala aspek atas Indonesia di pertandingan pertama, Filipina menang berkat gol tunggal yang diciptakan oleh Patrick Riechelt. Azkals juga mampu menekuk Timor Leste meski dengan skor tipis 3-2.
Dua kemenangan itu memang tidak meyakinkan, tapi bisa memberikan harapan besar bagi Azkals untuk memperoleh target yang diinginkan.
Terlebih, Filipina kala itu belum begitu optimal: para pemain yang berasal Ceres Negros sudah tidak berkompetisi sejak September lalu, sejumlah pemain inti masih cedera, dan Eriksson baru dalam hitungan minggu memegang kendali tim. Jika Filipina sudah berada dalam kondisi optimal, mereka jelas bisa merepotkan siapa saja.
Yang menarik, gerak-gerak sepakbola Filipina tersebut sebetulnya bisa menjadi pukulan telak bagi sepakbola Indonesia. Musababnya: saat sepakbola Filipina berani mengambil risiko dengan mendatangkan Sven Goran Eriksson, PSSI justru tak pernah belajar.
Beda dengan Timnas Indonesia
Timnas Indonesia harus menelan pil pahit setelah kalah dari tuan rumah Singapura di pertandingan pembuka Piala AFF 2018 pada 9 November 2018. Kegagalan berlanjut saat Timnas Indonesia disikat Thailand dengan skor 4-2 pekan lalu.
Situs resmi PSSI sempat membuat berita dengan judul “Indonesia Dapat Pelajaran Berharga dari Singapura”. Lewat situs resmi mereka, situs PSSI ternyata tidak satu-dua kali menggunakan frasa "pelajaran berharga" setiap kali timnas Indonesia kalah dalam sebuah pertandingan. Frasa itu seperti sudah menjadi template.
Hebatnya, saat mereka menyuruh timnas untuk belajar dari setiap kekalahan yang mereka alami, PSSI sendiri justru tak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, terutama soal urusan dengan pelatih.
Kasus Luis Milla jadi contohnya. Meski gagal meraih prestasi bersama timnas, Milla adalah salah satu alasan utama mengapa timnas Indonesia mempunyai harapan untuk berprestasi di masa depan. Ia menanamkan filosofi, setidaknya bisa membuat penampilan timnas Indonesia enak ditonton.
Ingat saat timnas Indonesia kalah adu penalti dari timnas UEA pada babak perempat-final Asian Games 2018 lalu? Kala itu, hingga menit-menit akhir pertandingan, timnas Indonesia masih tertinggal 1-2 dari timnas UEA. Tetapi, timnas tetap menyerang dengan rencana yang jelas, tidak seperti tim yang sudah kehilangan akal: mereka masih melakukan build-up serangan dari lini belakang, memainkan bola-bola pendek, hingga akhirnya mampu menyamakan kedudukan.
Sayangnya, saat publik sepakbola Indonesia berharap Milla tetap bertahan setelah kontraknya habis pada Agustus 2018 lalu, Milla memilih angkat kaki. Melalui akun Instagram-nya, Milla kemudian membeberkan keluhannya: ada pelanggaran kontrak, manajemen yang buruk, serta tidak profesionalnya para pemimpin.
Untuk semua itu, bukan tidak mungkin level sepakbola Indonesia akan ketinggalan dari Filipina yang mempunyai langkah kongkret untuk maju. Eriksson memang bukan jaminan bagi Filipina untuk menuai kesuksesan, tapi langkah itu jelas-jelas lebih baik. Pada tahun 2002 lalu Indonesia boleh membantai Filipina 13-1. Namun, pada gelaran AFF 2018 ini, catatan gemilang itu bakal sulit terukir lagi pada laga Indonesia-Filipina Minggu (25/11) nanti.