Menuju konten utama

Survei SPK: Kekerasan Seksual di Kampus Banyak Tak Dilaporkan

Serikat Pekerja Kampus sebut persoalan ini diperparah relasi kuasa yang timpang, di mana predator di lingkungan universitas datang dari para pejabat.

Survei SPK: Kekerasan Seksual di Kampus Banyak Tak Dilaporkan
Suasana FGD SPK. (FOTO/dokumentasi SPK)

tirto.id - Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkapkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi masih menjadi fenomena gunung es, dengan banyak kasus tidak terlapor karena budaya bungkam dan mekanisme pelaporan yang tidak optimal.

Temuan ini berdasarkan survei terhadap 421 responden pekerja kampus. Pengurus SPK Dian Noeswantari menjelaskan bahwa keberanian korban untuk melaporkan sangat bergantung pada respons institusi.

"Keberanian untuk melaporkan itu sangat tergantung dari apakah mekanisme pelaporan itu langsung ditindaklanjuti atau enggak," katanya dalam Webinar Ringkasan Eksekutif Survei Nasional 2025, Sabtu (25/10/2025).

Survei ini juga mencatat 109 laporan ujaran mendiskriminasi tampilan fisik dan 91 laporan ucapan bernuansa seksual. Sementara untuk kasus yang lebih berat seperti perkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual, tidak ada laporan yang masuk.

"Artinya, di sini ada budaya bungkam yang kuat. Kalaupun, saya tahu ada beberapa laporan soal perkosaan ini atau terkait juga dengan pelecehan seksual, tapi tidak semua orang mau melaporkan," tegas Dian.

Hasil survei menunjukkan bahwa efektivitas program pencegahan kekerasan seksual masih dipertanyakan. Pasalnya, tingkat efektivitas dalam program pencegahan bukan berarti hilangnya kekerasan seksual yang mengancam korbannya.

"Tidak ada hubungan signifikan secara statistik antara efektivitas program dengan ancaman kekerasan seksual yang mengindikasikan bahwa upaya pencegahan yang ada saat ini belum efektif untuk mengatasi kekerasan seksual," paparnya.

Dia menambahkan bahwa persoalan ini diperparah oleh relasi kuasa yang timpang, di mana predator di lingkungan kampus datang dari para pejabat.

Terlebih, budaya patronase yang kuat membuat lingkaran pertemanan antara para pejabat yang tersangkut kasus kekerasan seksual ini saling melindungi satu sama lainnya.

"Di beberapa kampus yang kami observasi itu, kalau pelakunya adalah pejabat, maka budaya bungkamnya juga sangat tinggi. Termasuk bagaimana kemudian sirkel pelaku pejabat ini melindungi pelaku,” ucapnya.

Dian menyoroti normalisasi perilaku tidak pantas di lingkungan kampus. Ucapan bernuansa seksual dan diskriminasi berdasarkan tampilan fisik dianggap "wajar" padahal sebenarnya tidak. Kondisi ini, ditambah dengan relasi kuasa yang tidak setara, membuat korban enggan melaporkan.

Meskipun Permendikbud Ristek No. 55/2024 telah mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas (SATGAS) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, kinerja satgas di masing-masing kampus masih dipertanyakan.

Sebagai solusi, SPK merekomendasikan keterbukaan informasi, intervensi segera, dan transformasi menuju budaya transparansi dan akuntabilitas untuk mengatasi krisis keamanan dan kesejahteraan di lingkungan kampus.

“Perlu ada keterbukaan informasi, intervensi segera, karena kalau nggak segera ini burn-outnya makin lama makin tinggi,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait SERIKAT PEKERJA atau tulisan lainnya dari Nanda Aria

tirto.id - Flash News
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana