tirto.id - Survei yang digelar oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkap adanya praktik eksploitasi melalui kerja paksa dengan motif ekonomi terhadap dosen muda dan tenaga pendidik baru di sejumlah perguruan tinggi.
Temuan ini merupakan bagian dari riset lebih luas mengenai kondisi keamanan dan ancaman kekerasan yang dihadapi oleh pekerja kampus.
Dalam pemaparan hasil risetnya, pengurus SPK, Dian Noeswantari, menyatakan bahwa bentuk kekerasan yang dilaporkan bukanlah penganiayaan konvensional, melainkan eksploitasi pekerja.
"Bentuknya yang dilaporkan bukan penganiayaan konvensional, melainkan eksploitasi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku. Itu ada 46 laporan," ujarnya dalam Webinar Ringkasan Eksekutif Survei Nasional 2025, Sabtu (25/10/2025).
Dian memberikan contoh yang ditemui di lapangan, dari survei yang dilakukan terhadap 421 responden, ditemukan di mana dosen muda mengalami penambahan beban kerja dibandingkan dengan dosen senior.
"Karena dosen muda baru masuk, maka dia harus begini, begitu, begini, begitu. Jadi, beban kerjanya sangat berat. Termasuk juga teman-teman tendik (tenaga kependidikan) yang juga masih pegawai baru misalnya, maka tugasnya biasanya luar biasa,” ujarnya.
Temuan lain yang lebih banyak dilaporkan adalah kekerasan psikis yang menyasar hubungan sosial dan reputasi. Jenis kekerasan ini tercatat sebagai yang paling umum dengan 140 laporan, disusul oleh pengabaian 125 laporan, dan pengucilan 98 laporan.
"Kekerasan yang menyasar hubungan sosial dan reputasi menjadi yang paling umum dengan contohnya penyebaran rumor, gosip," jelas Dian.
Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa efek dari kondisi ini akan berdampak serius pada kesehatan mental pekerja kampus.
Dian Noeswantari menegaskan bahwa untuk mengatasi krisis ini, diperlukan transformasi menuju budaya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan kampus.
Dia juga menekankan pentingnya penelitian longitudinal yang lebih panjang untuk memahami dinamika permasalahan secara lebih dalam, termasuk persoalan valuasi ekonomi terhadap beban kerja yang ditanggung para pekerja kampus.
“Artinya kalau pekerja kampus itu mengalami burn-out atau kesehatan mental yang buruk, maka bagaimana yang bersangkutan bisa bekerja dengan lebih baik sementara kesehatan mentalnya terancam,” ucapnya.
Menanggapi temuan tersebut, Roy Tanda Anugrah Sihotang dari Federasi Serikat Pekerja Medis dan Kesehatan Indonesia (FSPMKI) menyoroti kurangnya standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta pemeriksaan kesehatan menyeluruh, termasuk kesehatan mental, bagi dosen dan tenaga kependidikan.
Roy mendorong agar SPK mengambil inisiatif untuk mendorong adanya standar yang jelas seperti di rumah sakit, terkait standar keamanan dan keselamatan pekerja di kampus.
"Ini sebetulnya yang perlu dilakukan oleh rekan-rekan SPK adalah membuat standar supaya dosennya ini sehat, secara mental dan secara fisik, kemudian lingkungan kerjanya itu aman, dan yang namanya bisa menjamin keselamatan, itu harus ada standarnya," tegas Roy.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id


































