Menuju konten utama

Surat Terbuka untuk Sri Mulyani: Anda Tidak Sendiri

Anda tak sendiri, karena ratusan juta rakyat juga sudah dijarah. Bukan hanya lukisan, tapi nyawa, martabat, harga diri.

Surat Terbuka untuk Sri Mulyani: Anda Tidak Sendiri
Header perspektif Soe Tjen Marching. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Bu Sri Mulyani, saya sangat menyesal penjarahan telah terjadi di rumah Anda, sehingga lukisan yang anda buat sendiri 17 tahun yang lalu, ikut lenyap. Lukisan itu begitu personal dan sarat makna, sehingga Anda menyamakan kehilangannya dengan hilangnya hak-hak mendasar manusia. Seperti Anda tulis:Lukisan Bunga itu telah raib lenyap seperti lenyapnya rasa aman, rasa kepastian hukum, dan rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab di bumi Indonesia.”

Anda tentu begitu kecewa juga pada pemerintah, sebab desas-desus rumah Anda akan dijarah sudah diketahui tapi tidak mendapat perlindungan walaupun sudah meminta. Tentu Anda merasa hak sebagai warga negara seolah diabaikan oleh negara.

Saya memahami kedukaan Anda. Namun ingatlah, Bu Sri: Anda tidak sendiri.

Ratusan juta rakyat juga sudah dijarah. Bukan hanya lukisan, tapi nyawa, martabat, harga diri. Tak terhitung jumlahnya.

Bisakah Anda membayangkan aktivis yang matanya dibekap lalu dihilangkan tanpa jejak? Yang diracun di pesawat karena hendak mengungkap kejahatan besar di negeri ini? Yang dipukuli sampai berdarah? Atau perempuan yang diperkosa lalu dipaksa bungkam? Bahkan gadis kecil berumur 11 tahun, diperkosa dengan botol yang dipecahkan di dalam alat reproduksinya. Lalu dinyatakan tak pernah terjadi oleh pejabat tinggi negara?

Mereka tidak lagi minta dilindungi, sebab mereka tahu, permohonan seperti itu akan sia-sia. Ironisnya, pejabat yang diduga kuat bertanggung jawab atas penculikan dan pemerkosaan massal tersebut justru adalah mantan majikan Anda. Dan menteri yang memanipulasi sejarah itu justru diberi penghargaan oleh sang majikan, atas jasa dalam kebudayaan dan pelestarian sejarah.

Setidaknya, dunia mengakui lukisan Anda hilang. Setidaknya, pemerintah mengakui Anda sudah dijarah. Anda bisa meratapinya secara terbuka. Kartu, ucapan, bunga dan doa berdatangan untuk menghibur Anda dan semua bisa Anda pamerkan di media sosial. Sebaliknya, berbagai korban kekerasan tak mendapat ruang untuk berduka. Hingga kini banyak dari mereka yang masih hidup dalam teror. Banyak dari para penyintas yang meninggal, dengan mulut terbungkam.

Begitu lama rasa kepastian hukum dan rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab itu hilang bagi banyak jelata di negeri ini. Namun, apa yang terjadi? Para pejabat elit makin memperkaya diri. Padahal mereka dibayar dengan pajak rakyat. Ironisnya, justru mereka yang gajinya termasuk salah satu yang tertinggi di dunia ini, bebas pajak! Tapi Anda malah mengejar pajak rakyat jelata.

Begitu lama, rakyat berdemo dengan damai dan tertib, suara mereka diabaikan dan Anda memilih diam. Tetapi begitu rumah Anda dijarah, barulah Anda meratap bagaimana “Para penjarah seperti berpesta.” Bukankah para penjarah yang duduk di bangku pemerintahan, sudah berpesta dari dulu?

Saya tahu, Anda sempat menjadi sasaran hoaks, yang menyatakan Anda menuduh guru sebagai beban negara. Padahal, Anda hanya menanyakan apakah kesejahteraan guru dan dosen sepenuhnya harus dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), atau melibatkan partisipasi masyarakat.

Namun, pernyataan ini menggambarkan bahwa Anda mengamini bahwa rendahnya gaji para guru dan dosen tidak seharusnya dibebankan penuh pada negara. Anda tidak menyinggung bagaimana APBN sudah menanggung pemasukan pejabat elit yang bisa mencapai bermiliar jumlahnya per-bulan. Padahal, para guru dan dosen adalah tulang punggung bangsa. Peran mereka sering kali jauh lebih penting daripada pejabat yang, kata Gus Dur, mirip taman kanak-kanak.

Dan sebagai korban hoaks, Anda juga tidak sendiri. Rakyat telah menjadi sasaran hoaks oleh berbagai pejabat elit ini, yang menyembunyikan berapa gaji mereka, yang memanipulasi sejarah, yang memakai buzzers agar tetap didukung oleh orang banyak, yang telah memelintir konstitusi demi jabatan. Lalu, beberapa pejabat ini juga menyebarkan hoaks bahwa para pendemo adalah antek asing!

Saya sadar, berbagai peraturan yang amat menindas rakyat di negara ini, bukanlah sepenuhnya wewenang Anda. Saat Anda menjabat menteri keuangan, Anda lebih sering melaksanakan kebijakan dari atas, sebagai pembantu Presiden, Anda adalah bagian dari sistem daripada penentu kebijakan. Tapi sekadar ikut perintah tidaklah bisa menjadi pembenaran. Anda punya pilihan untuk mengkritiknya atau bahkan menentang sistem tersebut.

Bu Sri, sekarang Anda sudah diganti — entah karena Anda mengundurkan diri atau memang dicopot dari jabatan. Seperti banyak berita yang bertebaran di negara ini, berita penggantian Anda simpang siur dan tak jelas. Sebab tidak ada niat sungguh-sungguh dari para pejabat elit untuk memberitakan kejujuran. Rakyat dibikin berada dalam remang-remang, supaya lebih mudah dikibuli dan diperas. Yang lebih dipentingkan oleh kebanyakan mereka adalah mengeduk keuntungan dan kedudukan setinggi mungkin.

Pengganti Anda belum-belum sudah menyatakan bahwa para tuntutan 17+8 hanyalah sebagian kecil rakyat saja, yang hidupnya masih kurang. Padahal ini bukan masalah kekurangan semata, tapi keadilan dan hak azazi warga negara. Dalam demokrasi, pimpinan tertinggi adalah rakyat. Jadi para pejabat itu bisa dianggap sebagai pegawai rakyat, karena mereka dibayar oleh (pajak) rakyat. Tugas mereka adalah melayani rakyat, bukan mengibuli apalagi memfitnah rakyat.

“Jangan pernah lelah mencintai Indonesia,” kata Anda.

Setuju sekali, bu Sri. Tapi jangan lupa, Indonesia adalah milik rakyat, bukan segelintir pejabat. Sekarang sebagai rakyat jelata,kenapa tidak Anda tunjukkan dengan keberpihakan, dengan ikut melawan dedengkot dari berbagai masalah kesenjangan di Indonesia yang telah mengkhianati rakyat? Sebagai sesama rakyat jelata, saya mohon (bila Anda masih Menteri, saya akan pakai kata “menuntut”) bu Sri untuk ikut turun bersama, berjuang bersama. Karena Indonesia hanya bisa diselamatkan bila kita berpihak pada rakyat, bukan pada para penjarah yang sudah terlalu lama berpesta. []

Penulis adalah Senior Lecturer di bidang Languages, Cultures and Linguistics SOAS University of London.

Baca juga artikel terkait OPINI atau tulisan lainnya dari Soe Tjen Marching

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Soe Tjen Marching
Editor: Nuran Wibisono