tirto.id - Selama belasan tahun, KR (28 tahun) membeli bra dari satu label pakaian di Jakarta karena bra ergonomis yang sesuai lingkar payudaranya yang besar hanya dijual di sana. Ada kalanya ia bosan karena cuma bisa membeli bra dengan model dan warna yang itu-itu saja.
Kepada Tirto (14/7), KR mengaku pernah mencoba berbagai produk merek lain. Ternyata, produk-produk itu tak nyaman dikenakan meski para penjaga toko mengatakan ukuran bra tersebut sudah sesuai permintaan KR.
Kasus serupa tidak hanya terjadi dengan orang-orang berpayudara besar. AR, seorang karyawati berusia 30 tahun, merasa lebih nyaman menggunakan silicon pad—silikon berbentuk serupa plester guna menutupi puting payudara—untuk menemaninya beraktivitas sehari-hari ketimbang mengenakan bra.
Biasanya silicon pad digunakan apabila seseorang mengenakan gaun atau pakaian terbuka saat menghadiri acara tertentu. Namun, dalam kasus AR, kesulitan menemukan ukuran bra yang pas menjadikan silicon pad pilihan praktis.
Masing-masing pusat perbelanjaan di Jakarta umumnya menjual 5-10 label pakaian dalam. Sebagian besar produk yang dijual adalah produk internasional dari pemain lama seperti Triumph, Calvin Klein, Pierre Cardin, dan Wacoal. Merek-merek tersebut menjagokan produk bra berkawat dan berbusa.
Dua jenis produk itu yang rentan digunakan perempuan dengan lingkar payudara yang terlampau kecil atau besar. Penjaga toko akan berupaya memberi solusi dengan menawarkan jenis pakaian dalam tanpa kawat dan tanpa busa. Namun, upaya tersebut seringkali gagal karena yang biasa terjadi adalah ukuran lingkar payudara produk tidak sesuai ukuran sebenarnya.
Menemukan bra dengan ukuran tepat adalah masalah sebagian besar perempuan di seluruh dunia.
Pada 10 Juli lalu, New York Times merilis laporan tentang kecenderungan perempuan mengenakan ukuran bra yang kurang tepat. Topik ini sebenarnya sudah dibicarakan sejak 1998, ketika dokter bedah plastik asal Amerika Serikat Edward Pechter mengungkap bahwa 70% perempuan mengenakan ukuran bra yang keliru. Penelitian tersebut ia lakukan untuk memudahkan dokter dan pasien menentukan hasil yang hendak dicapai dari tindakan operasi payudara.
Temuan Pechter memicu kalangan akademisi lain untuk melakukan penelitian serupa.
Jenny Burbage, ahli biomekanika olahraga dari University of Portsmouth, Hampshire, Inggris, menyebutkan bahwa 70-100% perempuan keliru memilih ukuran bra. Beberapa di antaranya bahkan tidak mengetahui cara memilih bra yang tepat.
Joanna Wakefield-Scurr, profesor biomekanika dari universitas yang sama, pernah menyatakan bahwa ukuran bra yang tidak tepat bisa menyebabkan kerusakan kulit seperti stretch mark.
“Ukuran bra yang keliru juga bisa mengakibatkan sakit leher, pundak, punggung, dan memperburuk postur tubuh,” tulis Wakefield-Scurr dalam tulisannya di The Conversation.
Sang profesor menyatakan bahwa ukuran bra yang dijadikan panduan para produsen adalah hasil studi Warner Brothers pada 1935. Pada era tersebut mereka menciptakan stadarisasi ukuran lingkar payudara A hingga D. Kini, standar tersebut kurang relevan karena tidak merepresentasikan berbagai ukuran tubuh perempuan.
Sampai detik ini para peneliti belum menetapkan standar yang tepat untuk ukuran bra. Di sisi lain, hal itu sulit dilakukan karena ukuran payudara perempuan kerap berubah seiring waktu. Perubahan bisa terjadi menjelang haid atau bahkan usai seseorang naik tangga.
Akhirnya, inisiatif untuk membuat bra dengan beragam ukuran, datang dari orang-orang yang sempat mengalami ketidaknyamanan mengenakan bra yang tersedia di pasaran. Salah satunya Heidi Zak.
Pada 2013 ia menciptakan lini pakaian dalam Third Love setelah gagal menemukan ukuran bra yang sesuai ukuran tubuh. Ia menciptakan varian ukuran baru mulai dari AA, F(DDD), hingga I. Varian tersebut bisa terus bertambah sesuai dengan permintaan pelanggan.
Zak yang menjajakan bisnis secara online ini mencoba memecahkan kebingungan pelanggan soal ukuran bra dengan menyebarkan kuesioner yang di antaranya berisi pertanyaan tentang bentuk payudara hingga masa pemakaian bra.
Molly O’Connor, perempuan yang sempat jadi atlet ketika duduk di bangku SMA, selalu mendengar keluhan rekan sesama atlet soal bra yang tidak pas. Ketika dewasa, O’Connor menciptakan Molly T, sports bra multifungsi dengan ukuran yang bisa disesuaikan dengan keinginan si pemakai.
Fast Company mencatat bahwa selain individu seperti O’Connor, perusahaan besar seperti Reebok pun berupaya mendesain bra ergonomis. Perusahaan tersebut memanfaatkan sebuah material yang diramu tim NASA untuk membuat bra yang mampu menyesuaikan ukuran dengan gerakan tubuh. Bila si pemakai sedang aktif bergerak, maka bra akan terikat lebih kencang. Bila tidak, bra otomatis jadi lebih longgar.
Hal serupa juga dilakukan selebritas Rihanna lewat label pakaian dalam Savage X Fenty yang ia luncurkan tahun lalu.
Editor: Windu Jusuf