Menuju konten utama

Studi Harvard Sebut Orang Indonesia Paling Sejahtera, Kenapa?

Salah satu hasil menarik dari penelitian ini adalah aspek material dan pendapatan tinggi bukanlah satu-satunya tolok ukur bagi kesejahteraan.

Studi Harvard Sebut Orang Indonesia Paling Sejahtera, Kenapa?
Penumpang KRL Commuterline menuruni tangga dari peron atas stasiun Manggarai untuk transit menuju stasiun tujuan di stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (17/3/2023). ANTARA FOTO/Paramayuda/nz

tirto.id - Kesejahteraan bukan cuma soal terpenuhinya kebutuhan materiil. Barangkali kesimpulan itu yang dapat diambil dari hasil studi yang dilakukan Universitas Harvard, Baylor University, dan Gallup, yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tertinggi. Indonesia mengalahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Singapura, bahkan Jepang.

Studi jangka panjang bertajuk Global Flourishing Study (GFS) 2025 ini melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara dan menggunakan indikator kesejahteraan yang lebih luas dari sekadar kekayaan materi. Studi yang melibatkan berbagai negara dari enam benua ini menghabiskan waktu penelitian hingga 5 tahun tahun dalam menilai berbagai aspek kesejahteraan dan faktor penentunya. Penelitian ini terbit di Nature Mental Health pada akhir April lalu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Indonesia menempati urutan pucuk dalam tingkat kesejahteraan, dengan skor mencapai 8,10. Meskipun tergolong negara dengan pendapatan yang tak tinggi, responden Indonesia unggul dalam aspek-aspek kesejahteraan yang diukur, seperti kesehatan, kebahagiaan, makna, karakter, hubungan, dan keamanan finansial.

Berbagai kategori itu dapat digolongkan dalam kategori kesejahteraan yang lebih luas: yakni kesejahteraan fisik, kesejahteraan emosional, kesejahteraan kognitif, kesejahteraan kehendak, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan material.

Hasil studi ini menampilkan masyarakat Indonesia yang menunjukkan kualitas hidup tinggi dalam aspek seperti kesehatan mental, relasi sosial, makna hidup, dan spiritualitas. Salah satu hasil menarik dari penelitian ini adalah aspek material dan pendapatan tinggi bukanlah satu-satunya tolok ukur bagi kesejahteraan. Seakan makna dalam hidup dan kesejahteraan tampak berkorelasi terbalik dengan PDB (produk domestik bruto) per kapita suatu negara yang tinggi.

Tadarus Al Quran di Masjid tertua dan unik di Jakarta

Jamaah tengah membaca Al Quran di Masjid Muyassarin Kebayoran Lama, Jakarta, Minggu (9/3/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/Spt.

Sebagai posisi pertama dalam Global Flourishing Study, Indonesia memiliki nilai rata-rata tertinggi dalam berbagai aspek kesejahteraan. Skor rata-ratanya lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dengan skor 7,18. Padahal, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan pendapatan AS. Indonesia juga mengungguli Jepang yang hanya mendapatkan skor 5,93 atau menempati urutan terbawah dari 22 negara. Di posisi kedua survei ada Meksiko (8,19), disusul Filipina (8,11), Israel (8), dan Nigeria di urutan kelima dengan skor 7,82.

Ilustrasi Kota Manila

Jeepney menunggu penumpang di depan Manila City Hall. foto/istockphoto

Temuan ini menjadi menarik dengan PDB per kapita Indonesia yang hanya sebesar 5.250 dolar AS pada tahun 2025, tapi mencatat tingkat kesejahteraan teratas dibanding AS yang memiliki PDB per kapita sebesar 89.680 dolar AS. Jepang, dengan PDB per kapita 35.600 dolar AS bahkan berada di urutan terbawah. Seakan ada hal-hal lain yang membuat warga Indonesia tetap merasa sejahtera dalam menjalankan hidup.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa hasil penelitian Global Flourishing Study setidaknya menunjukan bahwa masyarakat Indonesia merasa sejahtera tidak semata karena kondisi ekonominya. Melainkan karena kuatnya dimensi non-material seperti makna hidup, spiritualitas, serta dukungan sosial.

kebersamaan ibu dan anak

Potret kebersamaan ibu dan anak saat beraktivitas di Kompleks Balaikota Yogyakarta. tirto.id/Siti Fatimah

Masyarakat Indonesia hidup dalam budaya yang menekankan nilai kekeluargaan, gotong royong, serta keberagamaan yang tinggi. Sehingga dalam menghadapi tantangan ekonomi yang berat, orang Indonesia tetap merasa hidupnya bermakna dan layak dijalani.

“Dalam konteks ini, rasa cukup, bersyukur, dan relasi sosial yang erat tampaknya lebih dominan dalam membentuk persepsi kesejahteraan dibanding indikator ekonomi objektif seperti pendapatan atau stabilitas kerja,” kata Wawan kepada wartawan Tirto, Rabu (7/5/2025).

Menariknya, berdasarkan laporan World Happiness Report 2025, Indonesia justru berada di urutan cukup buncit dari 147 negara. Indonesia berada di urutan ke-83 dalam survei terbaru, dimana posisi ini turun tiga angka dibandingkan laporan tingkat kebahagiaan dunia di tahun sebelumnya.

Studi yang dilakukan Gallup World Poll dan Oxford ini menilai berbagai aspek seperti PDB per kapita, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kemurahan hati yang diukur dari tindakan amal, dan persepsi korupsi. Negara-negara Eropa, khususnya negeri Skandinavia, seperti Finlandia, Denmark, hingga Islandia, menempati urutan puncak dengan tingkat kebahagiaan tertinggi dalam hidup.

Wawan memandang, hasil laporan World Happiness Report dan Global Flourishing Study seakan-akan menempatkan Indonesia dalam paradoks kesejahteraan. Pasalnya, Indonesia unggul dalam aspek flourishing atau kesejahteraan namun tidak dalam indeks kebahagiaan global.

Hal ini, kata Wawan, terjadi karena masing-masing studi menggunakan pendekatan berbeda. World Happiness Report menekankan aspek struktural seperti GDP, sistem sosial, dan kebebasan. Sementara studi kesejahteraan Harvard menekankan aspek psikologis dan eksistensial.

Negara-negara maju seperti di Skandinavia unggul dalam pemenuhan kebutuhan material dan sistem publik. Namun, tidak jarang warganya mengalami kesepian atau krisis makna hidup. Sebaliknya, masyarakat Indonesia justru mampu menemukan kepuasan hidup dari relasi sosial, kebermaknaan, dan spiritualitas meski hidup dalam keterbatasan ekonomi.

GELAR BUDAYA GOTONG ROYONG

Sejumlah pemuda peserta karnaval menaiki sepeda bambu saat Gelar Budaya Gotong Royong di Salaman, Magelang, Jateng, Minggu (18/9). Gelar budaya bertema Membangun Desa Dengan Gotong Royong tersebut menampilkan berbagai kreativitas masyarakat desa di bidang seni budaya. ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Namun, Wawan menekankan, kesejahteraan ekonomi tetap memiliki peran penting dalam menunjang kebahagiaan masyarakat. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Meski pengaruhnya terhadap kebahagiaan cenderung menurun setelah kebutuhan dasar terpenuhi.

Studi psikologi positif menyebut bahwa setelah melewati ambang tertentu, faktor lain seperti hubungan sosial, keamanan psikologis, dan makna hidup lebih besar perannya dalam menentukan kesejahteraan subjektif. Oleh karenanya, meski masyarakat Indonesia merasa sejahtera dalam banyak aspek non-material, perbaikan dalam bidang ekonomi tetap harus menjadi agenda prioritas.

“Agar masyarakat dapat merasakan kesejahteraan yang lebih merata dan berkelanjutan secara holistik,” ungkap Wawan.

Salah satu peneliti Global Flourishing Study sekaligus Profesor dari Universitas Harvard, Tyler J. VanderWeele, memandang hasil penelitian tingkat kesejahteraan ini menunjukan bahwa meski negara-negara yang lebih kaya dan maju melaporkan skor lebih tinggi untuk kategori keamanan finansial, mereka rendah dalam aspek makna, hubungan, dan karakter prososial.

“Di tempat-tempat di mana terdapat pergulatan ekonomi yang nyata, masih terdapat rasa orientasi sosial yang mendalam dan rasa kebermaknaan," kata VanderWeele seperti dilansir National Geographic.

Sementara itu, Manajer Penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari, memandang sebetulnya banyak faktor yang membuat orang Indonesia merasa sejahtera meskipun dihimpit keadaan finansial yang sulit. Misalnya kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang terus terjaga seperti kegiatan di lingkungan rumah, ikatan kekeluargaan atau saling peduli dengan tetangga sekitar.

Ilustrasi minum kopi

Ilustrasi minum kopi. FOTO/iStockphoto

Ditambah, spiritualitas atau kepercayaan terhadap agama juga masih tinggi. Jadi meskipun kondisi ekonomi masyarakat sulit, tetapi dukungan sosial di antara masyarakat yang masih terjadi, menjadi penyelamat.

“Kondisi ekonomi yang diukur sifatnya statistik dan numerik, sementara kesejahteraan memiliki indikator yang lebih luas daripada sekedar angka ekonomi,” kata Eka kepada wartawan Tirto, Rabu (7/5/2025).

Namun, aspek subjektif ini terkadang tidak bisa disamakan untuk semua negara. Artinya, studi kesejahteraan Harvard ini memberikan pemahaman bahwa aspek kesejahteraan lebih luas dari hanya sekedar hitungan ekonomi. Tetapi, Eka menegaskan bahwa bukan berarti peningkatan ekonomi masyarakat tidak penting. Tentu saja pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan inovasi tetap dibutuhkan, bahkan harus dipenuhi untuk menjadi negara maju.

“Kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terjadi sepenuhnya tanpa dukungan ekonomi yang kuat,” ucap Eka.

Tingkatkan Kesejahteraan Finansial Warga

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melihat terlepas dari hasil dari Global Flourishing Study teranyar, kondisi masyarakat Indonesia mengalami kondisi yang terbalik dimana 60 persen masyarakat Indonesia dinyatakan miskin menurut standar World Bank (6,85 dolar AS per kapita per hari). Walaupun tingkat kemiskinan itu berbeda dengan BPS yang menggunakan standar 1,24 dolar AS per kapita per hari.

Huda merasa survei Global Flourishing Study tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya terjadi. Ketika ditanyakan tentang tentang kebatinan, masyarakat Indonesia memang akan cenderung menjawab puas, seperti ditanyakan terkait kepuasan hidup ataupun pertemanan.

Padahal, kata dia, jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi warga saat ini, apabila masyarakat benar-benar sejahtera maka tidak ada WNI yang rela bekerja di Kamboja cuma untuk “setor nyawa”. Huda menyoroti banyaknya warga Indonesia yang bekerja ke Kamboja menjadi pekerja di sektor judi online dan penipuan daring, karena lapangan kerja di Indonesia belum mendukung.

“Saya rasa Indonesia unggul di aspek-aspek yang terkait dengan kebatinan,” kata Huda kepada wartawan Tirto, Rabu (7/5/2025), saat mengomentari hasil Global Flourishing Study.

Hasil ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan survei kebahagiaan nasional oleh BPS. BPS menempatkan Provinsi Maluku yang paling bahagia penduduknya. Bukan Jakarta yang merupakan tempat dengan perputaran uang yang tinggi.

PAPALELE DI AMBON

Seorang pedagang mengenakan kebaya Ambon yang kerap disebut papalele menjajakan kenari dan buah-buahan saat berjualan di Lorong Pos, Kota Ambon, Provinsi Maluku, Senin (19/12/2022). ANTARA FOTO/FB Anggoro/aww.

Berdasarkan Survei BPS, Indeks Kebahagiaan Indonesia pada 2021 naik 0,8 menjadi 21,79 dibanding 70,69 di 2017. Pengukuran Indeks Kebahagiaan 2021 menggunakan metode baru, dengan kontribusi 2017 menjadi tahun dasar ukuran kebahagiaan. Pendekatan yang digunakan adalah kepuasan hidup, afeksi (perasaan), dan eudaimonia (makna hidup).

Maluku Utara masih menjadi provinsi paling bahagia dengan skor 76,34, disusul Kalimantan Utara 76,33 dan Maluku 76,28. Tidak ada provinsi di Pulau Jawa yang masuk dalam 10 besar provinsi paling bahagia versi BPS.

Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, melihat kenapa masyarakat Indonesia diasumsikan merasa sejahtera di tengah kondisi ekonomi yang tidak ideal, kuncinya ada pada dimensi yang diukur dalam studi. Studi kesejahteraan oleh Harvard tidak hanya menyoroti pendapatan atau stabilitas ekonomi, tapi juga faktor-faktor psikologis dan sosial. Di sinilah Indonesia unggul daripada negara lain, termasuk negara-negara maju.

Namun, kata Yusuf, jika ditilik dari sisi data ekonomi makro maupun indikator kesejahteraan material, tentu bakal memunculkan kontras yang mencolok. Pasalnya, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan akses ke layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia.

“Rasa sejahtera masyarakat tak selalu sejajar dengan kondisi objektif kesejahteraan ekonomi. Ini bukan berarti studinya tidak valid, tapi menegaskan bahwa persepsi subjektif dan kenyataan objektif bisa saling bertolak belakang,” jelas Yusuf kepada wartawan Tirto, Rabu (7/5/2025).

Maka, persepsi sejahtera meskipun amat berharga, tidak boleh membuat Indonesia terlena. Merasa cukup bukan alasan untuk berhenti mendorong perbaikan kualitas hidup yang lebih merata dan berkelanjutan.

Justru karena masyarakat sudah memiliki daya lenting (resilience) yang tinggi, itu menjadi modal sosial yang luar biasa memperjuangkan akses yang lebih baik terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak, hingga jaminan sosial. Masyarakat Indonesia adalah aset yang berharga bagi negara. Pemerintah dalam hal ini, harus memainkan peran pentingnya menggenjot kesejahteraan materiil dan non-materiil masyarakat.

“Jadi bagi saya, memperkuat kesejahteraan objektif [ekonomi] adalah bentuk penghargaan terhadap ketangguhan masyarakat,” ucap Yusuf.

Baca juga artikel terkait HARVARD UNIVERSITY atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty