tirto.id - Pagelaran pameran masih dianggap sebagai alat yang efektif dalam strategi pemasaran untuk mendongkrak penjualan. Di pameran, perusahaan atau pelaku usaha biasanya memiliki peluang menjangkau audiens sesuai target, memengaruhi keputusan pembelian, serta membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen.
Namun, efektivitas pameran dalam menjangkau pasar kini sedikit menghadapi tantangan berat. Berbagai faktor, seperti deflasi, ketidakpastian ekonomi, membuat konsumen lebih selektif dalam mengeluarkan uang. Masyarakat yang sebelumnya antusias datang ke pameran untuk membeli barang, kini lebih berhati-hati, memilih untuk menunda pembelian barang-barang konsumsi.
Indonesia sendiri telah mengalami deflasi secara bulanan atau month to month (mtm) pada dua bulan pertama di 2025. Deflasi tercatat sebesar 0,76 persen mtm pada Januari 2025 dan 0,48 persen mtm pada Februari 2025. Sementara itu, tingkat deflasi secara tahunan atau year on year tercatat sebesar 0,09 persen pada Februari 2025. Deflasi tahunan ini merupakan yang pertama sejak Maret 2000.
Indonesia terakhir kali mengalami deflasi secara tahunan hampir 25 tahun yang lalu, dengan tingkat deflasi 1,1 persen year on year. Secara year on year telah terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48 pada Februari 2025.
Fenomena deflasi terjadi karena penurunan jumlah uang yang beredar, yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Masyarakat bisa jadi enggan membeli barang dan jasa karena kebosanan atau pembatasan belanja.
“Pameran masih memiliki peran strategis sebagai platform pemasaran. Tetapi efektivitasnya saat ini memang mulai menghadapi tantangan yang cukup serius, terutama jika dikaitkan dengan daya beli masyarakat yang terus menurun,” ujar Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).
Pameran menurut Anwar memiliki dua fungsi utama dalam konteks pemasaran: sebagai sarana promosi atau mendorong produk ke konsumen (Push) dan sebagai ajang menarik langsung konsumen (Pull). Dalam situasi ekonomi yang stabil, keduanya bisa berjalan beriringan dan memberikan dampak positif bagi pelaku usaha.
Namun, dalam kondisi daya beli yang menurun, kata Anwar, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengubah ketertarikan konsumen menjadi keputusan pembelian yang nyata. Karena banyak masyarakat yang tetap datang ke pameran untuk melihat-lihat produk, membandingkan harga, atau sekadar mencari informasi, tetapi tidak langsung melakukan pembelian karena keterbatasan anggaran.
Dalam beberapa industri, seperti otomotif dan properti misalnya, pameran memang masih menjadi alat pemasaran yang relevan, tetapi keberhasilannya tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah pengunjung. Banyak pelaku usaha mengandalkan gimik pemasaran seperti diskon besar, program cicilan ringan, atau bundling produk untuk menarik minat konsumen.
“Tapi jika masyarakat menghadapi tekanan ekonomi, insentif-insentif ini tidak selalu efektif, karena kebutuhan dasar mereka lebih mendesak dibandingkan pembelian produk yang bersifat tersier atau investasi jangka panjang,” jelas Anwar kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).
Di sisi lain, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat bawah sering kali tidak mendapatkan manfaat optimal dari pameran. Terlebih biaya untuk berpartisipasi dalam pameran besar bisa cukup mahal, sehingga hanya pelaku usaha dengan modal besar yang bisa memanfaatkannya secara maksimal.
“Jika pameran lebih didominasi oleh pemain besar, maka usaha kecil bisa semakin terpinggirkan, dan peluang mereka untuk mendapatkan pasar baru pun semakin terbatas,” jelas dia.
Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa pameran tetap efektif sebagai alat mendorong penjualan di tengah kondisi daya beli yang menurun, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki. Pertama, penyelenggara pameran perlu menyesuaikan format acara agar lebih relevan dengan kondisi pasar saat ini.
"Misalnya, dengan menyediakan slot khusus bagi UMKM, menghadirkan produk dengan harga yang lebih terjangkau, atau menawarkan program pembiayaan yang lebih fleksibel," jelas dia.
Kedua, pemerintah dan asosiasi bisnis perlu berperan lebih aktif dalam memberikan insentif bagi pelaku usaha kecil agar mereka tetap bisa bersaing di pameran. Terakhir, pameran sebaiknya tidak hanya berorientasi pada penjualan langsung, tetapi juga membangun jaringan bisnis yang bisa berkelanjutan, misalnya dengan mempertemukan UKM dengan distributor atau investor potensial.
“Secara keseluruhan, pameran masih bisa menjadi strategi pemasaran yang efektif, tetapi efektivitasnya tidak bisa lagi hanya diukur dari jumlah peserta atau pengunjung,” jelas dia.
Keberhasilan pameran, lanjut Anwar, juga harus diukur dari sejauh mana ia bisa benar-benar menciptakan transaksi yang menguntungkan bagi pelaku usaha, terutama bagi sektor-sektor yang bergantung pada daya beli masyarakat menengah ke bawah. Jika hanya menjadi ajang promosi tanpa dampak nyata terhadap penjualan, maka pameran bisa kehilangan relevansinya di tengah kondisi ekonomi yang semakin menantang.
Mereka yang Masih Diuntungkan dari Pameran
Namun menurut Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, bagi sebagian barang, pameran ini sejatinya tetap efektif meskipun di era digital saat ini. Konsumen tetap ingin melihat barangnya secara langsung sebelum memutuskan membeli barang.
Seperti contohnya produk baju yang hingga saat ini masih ramai untuk pameran baju di berbagai daerah. Masih banyak masyarakat yang lebih memilih membeli baju secara offline karena mereka bisa melihat secara langsung barang yang ingin dibeli.
“Jadi saya rasa paling efektif adalah menjual secara offline dan online. Offline untuk menjangkau peserta yang memilih pembelian secara langsung. Online untuk memperluas pangsa pasar,” jelas dia kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).
Pakar Bisnis, Teguh Hidayat, mengatakan jika melihat efektivitas pameran terhadap penjualan akan sangat bergantung dengan kondisi barang yang ditawarkan. Sektor properti dan otomotif dalam hal ini menjadi sektor yang masih cukup potensial dan tetap butuh mendapatkan tempat di pameran.
“Kalau misalnya kita mau beli sesuatu yang harganya memang mahal ya, rumah itu kan mahal, mobil juga sama mahal, nah itu ya harus pakai pameran seperti itu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (14/3/2025).
Tengok saja Perhelatan Indonesia International Motor Show (IIMS) 2025 yang mencatat total transaksi mencapai Rp8 triliun selama 11 hari penyelenggaraan. Pencapaian pameran IIMS pertanda geliat dunia otomotif tanah air mulai kembali bergerak ke arah yang positif.
Berdasarkan data resmi yang diterima penyelenggara dari laporan para brand, IIMS 2025 mencatat jumlah unit kendaraan yang terjual berdasarkan data Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) selama sebelas hari adalah 22.322 unit. Angka tersebut masih memungkinkan bertambah seiring rekap beberapa brand yang masih terus berjalan.
“Tapi di luar itu (mobil atau otomotif) ya pameran tidak efektif, nggak perlu, nggak perlu ada pameran seperti itu. Kampanye iklan di media sosial ya itu sudah cukup,” imbuh dia.
Pada akhirnya, dengan segala tantangan yang ada, pameran sebenarnya masih memiliki potensi untuk berkembang, meski harus melakukan penyesuaian yang signifikan agar tetap menarik minat pengunjung dan peserta. Inovasi dan adaptasi menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan pameran-pameran di tengah situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Ke depan, beberapa pameran juga harus mulai mengubah fokusnya, tidak hanya sebagai ajang jual beli, tetapi juga sebagai media edukasi dan hiburan. Pelaku usaha harus mencoba untuk menawarkan pengalaman yang lebih beragam kepada pengunjung. Ini bertujuan untuk menarik pengunjung yang ingin lebih dari sekadar membeli produk, tetapi juga mendapatkan wawasan dan pengalaman baru.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang