tirto.id - Profesi dokter kembali tercoreng setelah munculnya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter residensi Program Pendidikan Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31), terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) beberapa waktu lalu. Kasus ini jelas menimbulkan kekhawatiran mengenai pentingnya menjaga integritas dan kepercayaan dalam hubungan antara dokter, pasien, dan keluarga pasien.
Dalam kasus tersebut, pelaku diketahui melakukan aksinya dengan modus ingin mengambil darah korban dan membawanya ke ruang instalasi rawat darurat (IGD) di lantai 7, RS Hasan Sadikin, pada Selasa, (18/3/2025). Pelaku yang merupakan dokter berdomisili di Pontianak, Kalimantan Barat dan telah berkeluarga ini meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau, dan memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali percobaan.
Pelaku kemudian menghubungkan jarum suntik ke selang bius sehingga korban merasakan pusing tidak sadarkan diri. Setelah korban tersadar, pelaku mengantarkan korban ke ke lantai dasar pada pukul 04.00 WIB dini hari.
"Korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening ke dalam selang infus, yang membuat korban tidak sadarkan kemudian saat korban buang air kecil korban merasakan perih di bagian tertentu yang terkena air," kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Rabu (9/4/2025).
Dari hasil pemeriksaan dan penyidikan terhadap saksi-saksi, polisi telah mengamankan sejumlah alat bukti antara lain dua buah infus full set, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah alat kontrasepsi atau kondom, dua buah obat midazolam dan beberapa obat lainnya. Kemudian, satu buah baju tangan warna hitam, serta satu buah tangan panjang warna putih dengan corak warna hitam.
Atas tindakan dan perbuatan pelaku, Priguna disangka melanggar Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 yakni tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan ancaman hukuman pidana penjara paling lama adalah 12 tahun.
Sebagai langkah tegas, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah meminta kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) terhadap pelaku. Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP) yang bersangkutan.
Kemenkes juga sudah menginstruksikan kepada Dirut RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan sementara waktu, selama satu bulan, kegiatan residensi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin.
“Ini untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan pengawasan serta tata kelola bersama FK Unpad,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhamarwan, dalam pernyataannya, Rabu (9/4/2025)
Sementara, Direktur Utama Sumber Daya Manusia, Pendidikan dan Penelitian RS HS, Fitra Hergyana, mengatakan selama ini pihaknya memang menerima dokter pelajar yang dititipkan Unpad. Ia mengatakan, pelaku Priguna saat itu sedang bertugas jaga malam sesuai jadwal yang telah diatur.
Fitra menambahkan, setiap dokter pelajar selalu didampingi oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dengan SOP dan waktu yang telah diatur penjadwalannya. Namun, aksi pemerkosaan yang dilakukan Prima jelas di luar ketentuan standar operasional (SOP).
"Mungkin juga dari terduga (pelaku) ini memang melaksanakan di luar SOP," jelas Fitra.
Atas perbuatannya pelaku juga sudah diberhentikan sebagai peserta PPDS di lingkungan Unpad dan rumah sakit pendidikan. Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Yudi Mulyana Hidayat, mengecam segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, di lingkungan pelayanan kesehatan dan akademik.
“Karena terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS,” katanya dalam keterangannya Rabu (9/4/2025).
Rektor Unpad, Arief S Kartasasmita, menambahkan keputusan pemutusan studi diambil sebagai bentuk ketegasan institusi dalam menanggapi dugaan pelanggaran hukum dan norma yang dilakukan oleh peserta PPDS tersebut. Meskipun proses hukum masih berlangsung dan belum ada putusan pengadilan, kata dia, Unpad telah memiliki cukup indikasi dan dasar untuk menjatuhkan sanksi akademik berupa pemutusan studi.
Unpad memastikan dokter berinisial PAP tersebut tidak lagi memiliki status sebagai peserta didik Unpad dan tidak diperbolehkan menjalani kegiatan apapun di lingkungan kampus maupun rumah sakit pendidikan.
“Ada aturan internal di Unpad yang menyatakan bahwa setiap mahasiswa, dosen, maupun karyawan, yang melakukan tindakan pidana akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” kata Arief dalam keterangannya.
Kekerasan Seksual Multi Aspek
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, melihat bahwa kasus ini semakin memperkuat dan memperjelas, bahwa potensi kekerasan seksual punya multi aspek. Artinya tidak hanya terjadi di tempat-tempat private, seperti rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya seperti hotel. Tetapi tempat publik bahkan tempat kerja, dan khususnya kali ini di rumah sakit.
Pelakunya selama ini, kata Mike, biasanya erat dihubungkan dengan mereka yang punya simbol keras, jahat, seperti penjahat. Tetapi juga mereka yang punya sosok jauh dari persepsi jahat seperti, guru, dosen, kyai, manajer, bos, bahkan dokter yang dalam benak publik adalah figur penolong, penyembuh.
Mike pun mengapresiasi bahwa kasus ini telah diproses dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang memang secara unsur pidana telah mencakup segala bentuk, locus, arena, dan jenis kekerasan seksual itu sendiri. Sehingga kasus ini memang telah benar-benar diakui sebagai tindak kekerasan seksual itu sendiri.
Sebab dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang ada, beberapa tidak diproses dengan menggunakan UU TPKS, tetapi dengan UU lainnya seperti aturan KUHP versi lama atau bahkan jenis kekerasan lainnya. Ini dikarenakan locus dari kasus ini menghadapi keterbatasan sistem layanan dan daya dukung struktural yang belum memadai.
Misalnya, kata Mike, terbatasnya unit layanan, proses pemeriksaan yang mahal dan sulit diakses, sehingga mengaburkan bukti, belum lagi aparat penegak hukum yang belum tersosialisasi soal pidana kekerasan seksual bahkan UU TPKS sendiri, ditambah lagi perspektif APH, layanan hukum lainnya yang bias gender, dan tidak berpihak pada korban.
“Kasus yang dilakukan Priguna ini akhirnya mendorong juga bahwa mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasaan seksual harus menjadi SOP penting dalam setiap institusi atau kelembagaan di Indonesia mengingat kekerasaan seksual punya potensi terjadi dalam aspek dan lingkup yang sangat luas dan multi dimensi,” jelas dia.
Maka, sudah saatnya Kemenkes menginstruksikan seluruh rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, layanan kesehatan lainnya klinik-klinik memiliki standart yang sama untuk memastikan layanan kesehatan merupakan layanan yang bebas dari kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.
Mengikis Kepercayaan Publik
Menurut Mike, kasus seperti ini mungkin sering terjadi di ranah layanan kesehatan. Namun, korban kerap tidak berani melapor karena dua hal. Pertama, relasi kuasa yang timpang antara dokter dan pasien. Kedua, kondisi sakit yang justru menjadi penghalang untuk bersuara. Belum lagi respons rumah sakit yang terkadang cenderung menutupi pengaduan.
“Karena kasus kekerasan seksual akan mempengaruhi persepsi publik dan berdampak pada turunnya minat masyarakat untuk memeriksakan diri, atau secara langsung berdampak pada kerugian secara ekonomi, lantaran citra rumah sakit menjadi jelek karena kasus ini,” kata dia.
Ketua Departemen Luar Negeri di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Iqbal Mochtar, mengaminkan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS Unpad terhadap keluarga pasien merupakan pelanggaran berat terhadap etika profesi dan kepercayaan publik terhadap tenaga medis.
Profesi dokter, kata dia, semestinya dibangun atas dasar kepercayaan, empati, dan tanggung jawab moral. Ketika keahlian medis disalahgunakan untuk melakukan kekerasan, maka itu bukan hanya mencoreng nama institusi, tapi juga melukai rasa aman masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Terlebih kasus ini diakuinya bukan pertama kali terjadi. Pada akhir 2023, dokter rumah sakit swasta di Pelembang juga sempat mencabuli istri pasien yang sedang hamil muda. Modusnya pelaku menyuntikkan obat bius ke korban yang disebut sang dokter sebagai vitamin kebugaran. Setelah korban tertidur pelaku melancarkan aksi bejatnya dengan mencabuli korban di ruang kamar VIV.
Dokter di salah satu rumah sakit bunda di kawasan Jakabaring Palembang berinisial MY ini sudah dilaporkan ke Polda Sumsel atas kasus kekerasan seksual. Dokter spesialis ortopedi itu diduga mencabuli istri pasien yang sedang hamil berinisial TAF (22). Insiden tersebut terjadi saat korban yang sedang menjaga suaminya yang dirawat di rumah sakit pada Desember 2023 lalu.
Dari kasus ini, profesionalisme dan integritas menjadi pondasi utama dalam profesi dokter. Kasus pelecehan oleh oknum dokter harus dilawan dengan sistem pengawasan, edukasi etika yang kuat, serta keberanian pasien untuk melapor. Karena menjaga kepercayaan terhadap dokter bukan hanya tugas individu, tetapi tanggung jawab bersama antara profesi, institusi, dan masyarakat.
Agar Kejadian Serupa Tidak Terulang
Agar kejadian serupa tidak terulang, maka menurut Iqbal Mochtar ada beberapa langkah penting yang perlu diambil. Pertama, penguatan pendidikan etika dan ender di dunia kedokteran. Institusi pendidikan kedokteran, dalam hal ini harus menanamkan pemahaman mendalam tentang kode etik profesi serta wawasan terkait kekerasan seksual, relasi kuasa, dan batas profesional antara tenaga medis dan pasien atau keluarganya.
“Jadi bukan sekadar teori, tapi juga melalui diskusi kasus, pelatihan sensitivitas, dan refleksi etis,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah itu.
Langkah kedua, yakni perlunya sistem pengawasan dan penanganan aduan yang transparan. Rumah sakit pendidikan maupun institusi medis, menurutnya harus memiliki sistem pelaporan dan pengawasan yang tegas, aman, dan berpihak pada korban. “Pelaku harus ditindak secara profesional dan hukum, tanpa perlindungan institusional,” imbuh dia.
Selain itu, perlu adanya budaya nol toleransi terhadap kekerasan seksual. Lingkungan kedokteran harus mengembangkan budaya yang secara aktif menolak dan melawan segala bentuk kekerasan seksual. Rekan sejawat, pengajar, dan manajemen dalam hal ini harus berani bertindak jika melihat potensi pelanggaran.
Langkah terakhir, yakni perlunya pendampingan psikososial bagi korban dan edukasi publik. Korban dalam hal ini, harus didampingi secara psikologis dan hukum, serta masyarakat perlu diberi edukasi mengenai hak mereka dalam layanan kesehatan, termasuk hak atas rasa aman dan bermartabat.
Di sisi lain, lanjut Iqbal, sangat penting juga untuk menegaskan bahwa azas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi dalam penanganan kasus ini. Artinya, sebelum ada putusan hukum yang berkekuatan tetap, semua pihak yang diduga terlibat tetap harus diperlakukan sebagai belum terbukti bersalah. Ini adalah prinsip dasar dalam sistem hukum yang adil dan harus dihormati oleh masyarakat, media, maupun institusi terkait.
Namun, penerapan azas tersebut juga tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan perlindungan terhadap korban atau menunda proses evaluasi internal yang diperlukan. Dua hal bisa berjalan bersamaan: menjaga hak hukum terduga pelaku sambil memastikan korban mendapat dukungan penuh, dan sistem segera membenahi celah yang memungkinkan kekerasan itu terjadi.
“Keseimbangan antara kehati-hatian hukum dan keberpihakan pada korban adalah kunci untuk mencegah kasus serupa di masa depan, tanpa mengorbankan prinsip keadilan,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang