Menuju konten utama

Solusi Kasus Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Bukan "Damai"

Salah satu sanksi yang diberikan yakni melarang pelaku menggunakan transportasi umum.

Solusi Kasus Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Bukan
Petugas KRL dengan pakaian kebaya memberikan himbauan tertulis kepada para pengguna KRL untuk ikut serta mencegah pelecehan seksual di dalam KRL, Jakarta , Jumat (20/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus meminta penyedia layanan transportasi umum tidak menyelesaikan kasus pelecehan seksual dengan cara mendamaikan antara pelaku dan korban.

"Kalau ada pelaku, jalan keluarnya jangan damai. Perlu ada sanksi yang jelas," tegas Magdalena dalam konferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).

"Misalnya, catat nama dan NIK-nya, kemudian tidak boleh naik transportasi umum selama kurun waktu tertentu," imbuhnya.

Kemudian, kata Magdalena, data tersebut bisa disebarkan ke transportasi umum lainnya. "Jadi pelaku terkunci. Bukan dia dikunci di satu lokasi, lalu gentayangan di tempat lain," jelasnya.

Bentuk-bentuk sanksi yang bisa diberikan, ujar Magdalena, bisa dipertimbangkan terlebih dahulu.

"Saya tidak menyarankan penjara juga, tapi perlu ada sanksi yang tegas. Perlu juga untuk terus diadakan edukasi pelecehan seksual karena pengetahuan itu belum merata," jelas Magdalena.

Magdalena menilai penjara bukanlah solusi atas sejumlah bentuk pelecehan seksual di transportasi umum.

"Saya tidak menyarankan penjara juga, tapi perlu ada sanksi yang tegas," ujarnya.

Magdalena menilai pemberian sanksi, sekaligus edukasi, justru dapat menjadi jalan keluar untuk yang lebih tepat, daripada sekadar pemisahan ruang atau gerbong antara laki-laki dan perempuan.

"Bukan soal pemisahannya, mungkin itu baru langkah pertama, tapi diharapkan semakin banyak edukasi," ungkap Magdalena.

Sejumlah argumen yang disampaikan oleh Magdalena merupakan respons atas data yang dikeluarkan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dalan Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Survei tersebut diadakan oleh pada 2018 yang berfokus pada pelecehan seksual di transportasi publik.

Berdasarkan hasil survei tersebut, KRPA memaparkan sebanyak 46.80 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Data tersebut diambil dari 62.224 responden.

Transportasi umum (15.77 persen) menjadi Iokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan, setelah jalanan umum (28.22 persen). Moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan antara Iain adalah bus (35.80 persen), angkot (29.49 persen), KRL( 18.14 persen). ojek online (4.79 persen), dan ojek konvensional (4.27 persen).

"Kenapa bus dan angkot lebih banyak? Karena respondennya kan dari beragam daerah, dan angkutan paling umum memang bus dan angkot," ujar salah satu peneliti dari KRPA, Rastra, dalam konferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/11/2019).

Dalam hasil survei tersebut, responden perempuan yang melaporkan pelecehan di bus (35.45 persen), angkot (30.01 persen), dan KRL (17.79 persen). Sementara, responden Iaki-laki yang juga mengalami pelecehan seksuaI di bus (42.89 persen), KRL (24.86 persen), dan angkot (19.65 persen).

Pelecehan yang sering terjadi di transportasi umum datang dalam bentuk verbal, diikuti dengan nonverval atau fisik.

Bentuknya cukup beragam, yakni siulan atau suitan (5392 orang), suara kecupan, komentar atas tubuh (3628), main mata (3325), diraba atau dicekam (1826), komentar rasis (1753), didekati dengan agresif dan terus-menerus (1445), digesek dengan alat kelamin (1411), diikuti atau dikuntit (1215), gestur vulgar (1209), suara kecupan (1001), dipertontonkan masturbasi publik (964), dihadang (623), diperlihatkan kelamin (35), difoto secara diam-diam (11), serta diintip (7).

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan