tirto.id - Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) kembali merilis data Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang diadakan oleh pada 2018. Kali ini, mereka fokus pada pelecehan seksual di transportasi publik.
Berdasarkan hasil survei tersebut, KRPA memaparkan sebanyak 46,80 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Data tersebut diambil dari 62.224 responden.
Transportasi umum (15.77 persen) menjadi lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan, setelah jalanan umum (28.22 persen). Moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan antara Iain adalah bus (35.80 persen), angkot (29.49 persen), KRL( 18.14 persen). ojek online (4.79 persen), dan ojek konvensional (4.27 persen).
"Kenapa bus dan angkot lebih banyak? Karena respondennya kan dari beragam daerah, dan angkutan paling umum memang bus dan angkot," ujar salah satu peneliti dari KRPA, Rastra, dalam konferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/11/2019).
Dalam hasil survei tersebut, responden perempuan yang melaporkan pelecehan di bus (35.45 persen), angkot (30.01 persen), dan KRL (17.79 persen). Sementara, responden Iaki-laki yang juga mengalami pelecehan seksuaI di bus (42.89 persen), KRL (24.86 persen), dan angkot (19.65 persen).
Pelecehan yang sering terjadi di transportasi umum datang dalam bentuk verbal, diikuti dengan nonverbal atau fisik.
Bentuknya cukup beragam, yakni siulan atau suitan (5392 orang), suara kecupan, komentar atas tubuh (3628), main mata (3325), diraba atau dicekam (1826), komentar rasis (1753), didekati dengan agresif dan terus-menerus (1445), digesek dengan alat kelamin (1411), diikuti atau dikuntit (1215), gestur vulgar (1209), suara kecupan (1001), dipertontonkan masturbasi publik (964), dihadang (623), diperlihatkan kelamin (35), difoto secara diam-diam (11), serta diintip (7).
“Masyarakat kita sejauh ini hanya mengenal pelecehan dalam bentuk fisik, seperti diraba atau digesek-gesek dengan alat kelamin saat menggunakan transportasi umum. Namun dari hasil survei nasionaI kami, ada 19 bentuk pelecehan yang responden alami di transportasi," jelas Rastra.
Kemudian, terkait dengan pelecehan di luar publik, termasuk dalam Transportasi, Co-director Hollaback Jakarta Anindya Restuviani, yang juga tergabung dalam KRPA, menilai bahwa hal tersebut perlu untuk menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Ketika pelecehan terjadi di ruang publik, adalah tanggung jawab orang sekitar atau saksi, bukan korban, untuk membantu mengintervensi atau menghentikan kejadian.” ujar Anindya.
Anindya pun menegaskan bahwa penyedia layanan transportasi publik memiliki tanggung jawab untuk memberi perlindungan terhadap korban, serta melakukan pencegahan.
"Penyedia layanan transportasi kan mereka punya tanggung jawab untuk pencegahan, mereka punya tanggung jawab untuk edukasi," tegas Anindya.
"Korban sudah terlalu banyak. Satu saja sudah urgent, karena seharusnya tidak ada korban," pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika