tirto.id - Karakter muka Alden Ehrenreich memang kepalang beda dengan Harrison Ford muda. Aktor yang kita kenal lewat film-film romantis berbujet sedang macam Beautiful Creatures (2013) dan Rules Don’t Apply (2016) ini punya rahang yang tegas, hidung kecil yang lancip, dan mata sayu yang tinggal segaris bila ia tersenyum.
Sementara fitur muka Harrison Ford muda adalah semua kebalikannya. Lekuk-lekuk wajah Ford lebih lembut, tak setajam Ehrenreich. Hidungnya juga lebih besar dan mancung, lengkap dengan mata yang lebar dan kharismatik. Dua-duanya tampan, tapi dengan caranya masing-masing. Sehingga, tak heran, para penggemar Star Wars heboh bukan main ketika mendengar Ehrenreich akan memainkan peran Han Solo muda—karakter yang dibuat terkenal oleh Harrison Ford muda.
Sulit rasanya untuk bernostalgia pada satu karakter yang sama dengan dua wajah yang terlampau berbeda.
Mereka juga sanksi akting Ehrenreich mampu memperkaya salah satu ikon paling berjaya dalam sejarah budaya populer ini. Mengingat, Harrison Ford sudah menutup hikayat Han Solo, Si Pilot Terbaik Seantero Galaksi, dengan kematian yang singkat dan dramatis, namun membekas—dalam Star Wars Episode VII: The Force Awakens (2015).
Tugas Ehrenreich memang berat.
Belum lagi, sebagian besar penggemar—termasuk para sineas yang pernah terlibat pembuatan Star Wars—merasa Han Solo tak perlu dibuatkan film tunggal. Apalagi tujuannya cuma untuk bernostalgia. Harrison Ford sendiri sempat bilang, “Jangan buat (filmnya),” ketika Ellen DeGeneres bertanya tentang saran apa yang bisa ia berikan pada pembuat film Han Solo muda.
Banyak orang—termasuk Ford—beranggapan Han Solo tak perlu dibikinkan film tunggal, karena karakternya sudah kuat dan ikonik. Namun ternyata, hasrat membuatkan Han Solo filmnya sendiri datang dari George Lucas, sang penggagas orisinal Star Wars. Jauh sebelum Lucasfilm dijual ke Disney pada 2012 silam, naskah tentang film tunggal Han Solo sudah didelegasikan pada Lawrence Kasdan, penulis naskah dedengkot yang memang punya pengaruh besar dalam alur semesta perang galaksi.
Dalam linikala Star Wars yang rumit dan kompleks, film tunggal Solo ini rencananya akan mengambil latar di antara Revenge of the Sith (2006) dan Rouge One: A Star Wars Story (2016).
Sederhananya, itu adalah masa ketika pemberontakan dahsyat atas Empire—kekaisaran galaksi yang dipimpin diktator Darth Vader—belum dimulai dalam Star Wars: A New Hope (1977). Lebih sederhananya, adalah masa ketika Han Solo belum bertemu Princess Leia dan Luke Skywalker.
Intinya, George Lucas ingin menawarkan masa lalu Han Solo pada para penggemar. Ia ingin kita paham, bagaimana hidup bisa menempah Han Solo jadi seorang pemuda rebel yang akhirnya jadi salah satu tokoh penting melawan rezim fasis Darth Vader.
Lantas seberapa penting latar belakang itu dalam linikala Star Wars?
Sebuah Upaya Bernostalgia (Demi Doku) Belaka
Star Wars, sejak pertama kali muncul pada 1977, sudah meledak menjadi salah satu budaya populer yang paling dirayakan. Orang-orang mengultuskan tokoh-tokoh utamanya dalam berbagai upaya: mengulang-ulang dialog legendaris, seperti "May the Force be with you", sampai menamai anak-anak mereka dengan Anakin, Leia, bahkan Arturito—sebagai plesetan R2D2 bagi lidah orang Peru.
Salah satu tokoh yang paling dikenal adalah si rebel Han Solo; seorang pilot antar-galaksi, tak punya kewarganegaraan, temannya Chewie “Chewbacca”, sekaligus ayah dari anak Princess Leia Organa kelak, yang konon adalah penerus tahta Jedi.
Ketika karakter ini mati pada 2015 silam, tentu saja banyak yang bersedih. Tapi Disney, yang kini jadi rumah produksi resmi waralaba Star Wars, sudah menyiapkan karakter-karakter baru sebagai pengganti sekaligus perawat umur panjang ketenaran semesta yang ditelah dibangun Han, Leia, dan Luke selama 41 tahun terakhir.
Adam Driver sebagai Ken Rylo dan Daisy Ridley sebagai Rey digadang-gadang akan meneruskan petualangan galaksi itu buat generasi milenial dan seterusnya. Maka, alasan lain untuk memberontak ketika gagasan membuatkan film tunggal buat Han Solo muda semakin besar. Rasanya tak perlu ada Han Solo baru untuk menggantikan Harrison Ford, biarkan Rylo dan Rey berkembang jadi dua ikon baru. Lagi pula, akhir hayat Solo sudah dituliskan.
Bukankah menggali lebih dalam karakter yang sudah kuat dan tamat akan jadi pekerjaan berat? Salah-salah, film tunggal ini bisa merusak citra Han Solo yang sudah ada, dan tentu saja itu bisa membuat penggemar jatuh kecewa.
Namun, ketakutan itu akhirnya berhasil ditampik Ron Howard, sutradara Solo yang dipilih di menit-menit ujung proses pembuatan film tersebut. Setelah menonton 2 jam 15 menit, Han Solo muda versi Ehrenreich nyatanya sama sekali tak merusak karakter Han Solo yang sudah lama kita kenal. Ia tetap pemberontak, sinis, bermulut besar, beraksi tanpa pikir panjang, dan tak kenal takut.
Meski begitu, bukan berarti Solo sebagai sebuah film hadir tanpa membawa kekecewaan. Film berbujet sekitar 250 juta dolar AS ini memang berhasil mempertahankan karakter Han Solo sebagaimana semestinya. Namun, di saat bersamaan, ia sama sekali tidak membawa kebaruan apapun pada karakter tersebut. Naskah yang ditulis Kasdan memang sangat rapi membangun detail, sehingga tak ada hal yang dilakukan Ehrenreich dalam film ini yang akan membuat kita berpikir ia bukan Han Solo.
Caranya? Detail-detail kecil yang dilakukan Han Solo versi Ford diamplifikasi Howard. Sehingga kita akan tahu kapan Han mendapat nama belakang Solo, kapan ia bertemu sahabatnya Chewbacca, darimana asal mula Kessel Run dalam kurang dari 12 parsec, bagaimana ia mampu membeli Milennium Falcon, dan lainnya. Ini tentu saja membangun sisi nostalgia pada para penggemar. Dan manusia memang suka bernostalgia.
Jika dikuliti lebih dalam, bukan cuma plot utama Solo yang dipertebal Howard. Ia juga menyelipkan hal-hal kecil yang selama ini jadi debat kusir para penggemar kelas berat. Misalkan tentang apakah Han Solo adalah orang yang tega menembak lebih dulu dalam sebuah duel? (terinspirasi dari adegan Solo dan Greedo dalam Star Wars Episode IV: A New Hope)
Jawabannya disuguhkan Howard dalam sebuah putaran plot di ujung film, dalam adegan dramatis yang konyol tapi mengharukan. Ia juga menimbun dialog-dialog singkat yang membantu Solo untuk tampil kuat sebagai bagian dari linikala Star Wars, meski di saat bersamaan adalah sebuah film tunggal.
Misalnya, dari ceracau Val (diperankan Thandie Newton yang tampil sebentar tapi berkesan) di awal-awal film, kita akan tahu mengapa kelak Bossk si monster kadal punya motif besar untuk mengejar Solo dan kawan-kawan dalam Star Wars: The Empire Strikes Back (1980).
Sebagai sebuah film tunggal, Solo memang tak buruk-buruk amat. Naskahnya kuat. Dilengkapi sejumlah adegan perang galaksi yang tak sayang untuk ditonton. Kelakar-kelakarnya juga mendarat tepat. Yang paling penting, Han Solo tetaplah Han Solo, meski akting (dan figur) Ehrenreich tetap tak bisa tampil lebih kharismatik daripada Han Solo yang orisinal.
Sayangnya, jika dilihat secara komprehensif lewat linikala Star Wars yang rumit, hadirnya Solo sama sekali tak berpengaruh apa-apa. Ia memang berhasil menyelip di tengah-tengah skenario raksasa semesta Star Wars. Perlu diacungi jempol, karena—sekali lagi—linikala Star Wars bukan sesuatu yang mudah untuk disiasati. Tapi, kehadiran film ini sama sekali tak menjawab pertanyaan penting yang dirusuhkan penggemar sejak awal mula:
Untuk apa Solo: A Star Wars hadir sekarang? Apa faedahnya masa lalu Han Solo dibongkar lagi ketika karakternya sendiri sudah tamat?
Pada hakikatnya, Solo memang tampil solo. Ia memang tak merusak linikala Star Wars, tapi tak menontonnya sama sekali juga tak akan membuatmu ketinggalan apa-apa. Karakter Han Solo tetap kuat dan ikonik, sebelum atau sesudah film ini hadir.
Berbeda dengan Rouge One: A Star Wars Story (2016) yang dapat kritik baik, karena bukan cuma mampu menyelip dalam linikala yang kompleks, tapi juga berhasil membuktikan bahwa kehadirannya penting dalam memperkaya khasanah tentang Star Wars.
Setelah menonton Solo, kita akan tahu jawaban mengapa George Lucas begitu keras kepala menghadirkan film ini. Tiada lain dan tiada bukan: mengkapitalisasi budaya populer ini agar menghasilkan pundi-pundi lebih banyak.
Editor: Windu Jusuf