tirto.id - A long time ago in galaxy far far away ...
Pada 25 Mei 1977, tepat hari ini 41 tahun silam, film pertama Star Wars berjudul A New Hope resmi dirilis. Debut tersebut membuka pintu petualangan di galaksi raya, di samping menjadi pijakan awal Star Wars untuk menyabet predikat produk budaya populer yang namanya terus menggelinding sepanjang zaman.
A New Hope berkisah mengenai perjuangan untuk mendongkel dominasi rezim. Ia mengambil latar waktu di mana kekaisaran jahat, Empire, menguasai jagat semesta. Setelah berhasil menghancurkan ksatria galaksi yang termaktub dalam wujud Jedi, mereka perlahan menancapkan pengaruh di segala lini kehidupan. Dipimpin Darth Vader, Empire memerintah secara diktator.
Kehadiran Empire membuat sekelompok orang murka. Mereka yang menamakan dirinya sebagai pemberontak (Rebellion) mulai menyusun rencana dan aksi perlawanan. Mereka tak ingin galaksi berada di tangan yang salah. Selama Empire masih bercokol di puncak piramida, maka yang ada hanyalah kekacauan dan kenestapaan.
Pemberontakan itu memunculkan sosok-sosok yang berani—dan kelak jadi ikonik. Ada Luke Skywalker (Mark Hamill), pemuda antah berantah yang ternyata berandil besar dalam kebangkitan Jedi; Princess Leia (Carrie Fisher), aristokrat yang ambisius dan berani; serta Han Solo (Harrison Ford), bandit karismatik yang punya mesin terbang bernama Millenium Falcon.
Usai diputar pertama kali, Star Wars langsung menimbulkan euforia. Publik dibuat terpana oleh aksi baku tembak, adu balap pesawat tempur luar angkasa, efek visual serba meriah, hingga tentunya drama keluarga yang sebetulnya jadi konflik utama Star Wars, alih-alih pertarungan rezim diktator melawan pemberontak (Anda pasti paham maksud saya).
Di lain sisi, kritikus pun turut merayakan kelahiran Star Wars. Pauline Kael dari The New Yorker, misalnya, mengatakan bahwa melihat Star Wars ibarat “menyaksikan anak-anak ketagihan datang ke pertunjukan sirkus.” Star Wars adalah tentang “nostalgia perasaan untuk sejenak kembali ke masa kecil.”
Sementara Roger Ebert menyebut Star Wars adalah “dongeng, fantasi, dan legenda yang menemukan akarnya dalam beberapa fiksi paling populer—The Wizard of Oz hingga 2001: A Space Odyssey. Star Wars berhasil mengetuk fantasi yang lama terkubur dalam ingatan dan, tambah Ebert, “itu sangat brilian.”
Mimpi Besar George Lucas
Suatu ketika, Steven Spielberg datang ke lokasi syuting Star Wars bersama Brian De Palma, Jay Cocks, Williard dan Gloria Huyck, Hal Barwood, serta Matthew Robbins. Rencananya, Spielberg hendak mengunjungi konco kenthel-nya, George Lucas, yang sedang mengerjakan film terbarunya. Semua berjalan lancar hingga akhirnya ia menyaksikan perdebatan antara Lucas dan De Palma.
“Ketika kami akan pergi makan malam setelah itu, Brian berteriak pada George: ‘AKU ENGGAK NGERTI CERITAMU! FILM INI ENGGAK ADA KONTEKS SAMA SEKALI KECUALI LUAR ANGKASA! APA INI? SIAPA YANG MAU PEDULI? AKU GAGAL PAHAM!’” tutur Spielberg sebagaimana dikisahkan ulang majalah Empire dalam “Secret History of Star Wars.”
Spielberg melanjutkan:
“Dan George yang mendengar teriakan itu kemudian membalasnya: ‘Kamu enggak pernah buat film komersial sepanjang hidupmu! Ngomong apa sih kamu?’ Brian lalu menjawab, ‘Ini enggak bakal laku. Enggak ada yang bakal paham. Ini cuma kekosongan yang isinya bintang-bintang dan beberapa kapal konyol mondar-mandir!’”
Namun, aku Spielberg, percekcokan itu tak berlangsung lama. Berselang setelahnya, De Palma menghampiri Lucas dan memberikannya petuah.
“Kenapa kamu enggak memulai film dengan semacam legenda? Kamu selalu ngomong kalau ingin menjadikan film ini sebagai serial luar angkasa. Maksudku, kenapa kamu enggak punya legenda kayak di masa lalu yang nantinya bakal muncul di pembuka film dan jadi inti cerita?’” jelas Spielberg.
Lucas yang menyimak nasihat kawannya tersebut seperti langsung tersengat. Ia lantas menerapkan masukan De Palma dan menyertakannya di setiap film Star Wars. Dari situlah kemudian lahir kalimat pembuka “A long time ago in galaxy far far away” seperti yang kita kenal sampai sekarang.
Star Wars memang identik dengan George Lucas. “Star Wars adalah anakku,” ungkapnya satu ketika membuktikan betapa kuatnya koneksi Lucas dengan semesta Star Wars. Baginya, Star Wars lebih dari sekadar film; ia merupakan denyut nadi yang terus berdetak di tubuhnya.Kelahiran Star Wars bermula dari kesenangan Lucas menonton serial Flash Gordon semasa kecil. Kesukaan tersebut lalu membentuk fantasinya tentang sosok pahlawan yang menyelamatkan bumi dari serangan makhluk jahat.
Pada 1970-an, Hollywood sedang diramaikan film-film bertema kekerasan, seksualitas, dan realitas yang pahit. The Taxi Driver, Rocky, hingga The Godfather adalah beberapa contohnya. Banyak dari film-film itu mengangkat narasi bahwa “pahlawan tidak selamanya menang”—ia juga bisa kalah, tersungkur, dan bahkan mati.
Apa yang disajikan Hollywood saat itu rupanya membuat Lucas terusik. Lucas, yang sudah lulus dari kuliah perfilman di University of Southern California dan membuat debut film lewat American Graffiti (1973), pun memberontak. Ia ingin punya film macam tontonan favoritnya di masa anak-anak, Flash Gordon, yang menonjolkan tema perang, imajinasi, dan kepahlawanan.
“Ada momentum, seperti sebuah ide, yang mendorongku untuk membuat film aksi seperti serial pertunjukan di Sabtu siang yang aku nikmati waktu kecil. Tapi, dalam bayanganku, film ini nanti bakal ditunjang motif psikologis dan mitologis mengingat Hollywood tidak punya film semacam itu hari ini. Jadi, aku berkata, ‘Baiklah aku ingin mengambil dua hal itu dan menyatukannya,’” kata Lucas kepada Empire.
Maka, seperti diceritakan Adam Rogers dalam “The Wired Guide to Star Wars” yang terbit di WIRED, niat tersebut pelan-pelan Lucas wujudkan. Berbekal antusiasme yang berlebih, ia mulai menyusun karakter utama dan bagaimana dunia Star Wars nantinya berjalan.
Tapi, ekspektasi kadang tak sejalan dengan kenyataan. Cetak biru film anyar Lucas ditolak studio-studio macam Universal, United Artist, sampai Disney. Gagasannya untuk membikin semesta fantasi yang kompleks dianggap remeh oleh bos-bos pabrikan film.
Ada yang beralasan filmnya bakal tak laku, ada pula yang menilai kualitasnya biasa saja. Kendati demikian, Lucas tak patah arang. Ia terus berusaha mematangkan konsepnya dan mencari donatur untuk memuluskan proyek Star Wars.
Upaya Lucas membuahkan hasil. Idenya menarik perhatian serta minat Alan Ladd Jr., Kepala 20th Century Fox. Alan pun setuju mendanai film Lucas.
“Ia mendatangiku dan berkata, ‘Aku suka film ini. Aku rasa ini adalah film terhebat sepanjang masa. Aku ingin melakukannya. Aku tidak tahu apa itu, tapi kamu adalah sutradara berbakat dan aku ingin kamu membuat filmnya,’” kenang Lucas.
Semangat Lucas pun makin berlipat. Ia langsung mempersiapkan segala hal; dari membentuk unit produksi khusus yang menciptakan efek visual, merancang model komputer untuk mengendalikan kamera, sampai membikin miniatur pesawat luar angkasa yang canggih. Dibantu istrinya, Marcia (yang juga menjabat sebagai editor dalam Star Wars), Lucas betul-betul ingin filmnya megah dan menyegarkan.
Hasilnya? Star Wars berhasil membungkam orang-orang yang dulu meragukan proyek ini. Total, A New Hope berhasil meraup pundi-pundi uang senilai $11 juta. Keberhasilan tersebut menuntun Lucas ke film selanjutnya: Empire Strikes Back (1980) dan The Return of Jedi (1983).
Anak Kandung Pop Culture
Dalam How Star Wars Conquered the Universe (2014), Chris Taylor mengatakan Star Wars menjadi luar biasa karena visi jembar George Lucas. Dengan modal itu, Star Wars menjelma sebagai anak pop culture yang langgeng dan terus dibicarakan orang sedunia.
Ungkapan Taylor ada betulnya. Tanpa visi Lucas, mustahil Star Wars bisa sebesar ini. Adam Smith dalam “How Star Wars Changed the Movies” yang dipublikasikan di The Telegraph menyatakan visi Lucas tak cuma mengubah Star Wars, melainkan juga dunia film—terutama Hollywood—secara keseluruhan.
Beberapa hal yang dianggap revolusioner antara lain penggunaan efek visual dan properti yang "wah", eksplorasi alur cerita yang terus berlanjut, terperinci, serta digali tanpa henti, model franchise, hingga penerapan hak merchandising yang jadi terobosan penting bagi industri Hollywood.
Namun, kebersamaan Lucas dan buah kerja kerasnya harus berakhir pada 2012 ketika Walt Disney membeli 100% kepemilikan Lucasfilm seharga $4 miliar. Lewat kesepakatan itu, kendali film-film Star Wars dan segala lainnya sudah bukan lagi di bawah tangan Lucas.
“Selama 35 tahun terakhir, salah satu kebahagiaanku adalah melihat Star Wars diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” kata Lucas dalam sebuah pernyataan.
“Sekarang saatnya bagiku untuk menyerahkan Star Wars ke generasi pembuat film baru.”
Terlepas dari perkara bisnis tersebut, Star Wars tetaplah milik Lucas. Ia adalah alam semesta yang diciptakan Lucas berdasarkan rasa cintanya kepada fantasi masa kecil, nostalgia, petualangan, serta kepahlawanan. Star Wars sekaligus menjadi bukti betapa budaya populer mampu membuat kita sejenak melupakan persoalan dunia nyata dan masuk ke dalam dunia yang tak pernah kita jelajahi sebelumnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan