Menuju konten utama

Sistem Retur E-Commerce; Pembeli Untung, Penjual Buntung

Penjual online keluhkan sistem retur dan COD yang merugikan. Dianggap terlalu berpihak ke pembeli, sementara perlindungan seller minim.

Sistem Retur E-Commerce; Pembeli Untung, Penjual Buntung
Ilustrasi bisnis pengiriman barang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Asoka (26) sudah empat tahun terakhir bergelut di usaha menjual produk baju bayi. Namun belakangan dia mengaku khawatir dengan operasinya di platform belanja daring.

Dia mengatakan ada dilema soal sistem retur di platform e-commerce. Meski aturan ini bermanfaat bagi para pembeli, Asoka bilang, ia tak jarang menjumpai kasus kecurangan yang justru dilakukan oleh oknum yang culas.

Bentuk kecurangan itu umumnya dalam bentuk pengembalian paket berisi barang yang tidak sesuai. Misalnya, dia pernah menerima baju bekas atau kain perca. Kata Asoka, pembeli yang mengembalikan paketnya biasanya beralasan kalau, “produk yang dikirim beda dari deskripsi atau salah”.

Alasan seperti itu sangat merugikan penjual, lantaran mereka jadi mendapatkan poin penalti. Padahal, kata Asoka, pembeli terkadang merasa produknya tidak sesuai akibat tak membaca detail produk yang sudah dideskripsikan di laman e-commerce.

Di sisi lain, Asoka bercerita kalau barang retur juga biasanya bersumber dari paket yang dikirim lewat mekanisme cash on delivery (COD) atau bayar di tempat. Sistem COD bikin kurir harus bertemu dengan pembeli, sementara jika tak ketemu artinya barang harus diretur.

“Jadi banyak barang COD yang diretur karena gagal payment. Masalahnya (barang) susah banget untuk kembali ke penjual, karena sistem kurir juga kacau balau menurutku. Kurirnya kebanyakan paket, turnover-nya cepet banget, dan gak bisa melacak paket retur,” cerita Asoka saat dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (26/6/2025).

Ilustrasi COD

Ilustrasi COD. foto/IStockphoto

Ia menjelaskan, penyebab kurir tak bertemu dengan pembeli bisa jadi karena pembeli yang kebetulan tak di rumah atau pembeli memberi alamat yang kurang jelas.

“Jadi sistem retur dan COD ini bener-bener banyak kerugiannya buat penjual. Karena antara pembelinya ngaco atau kurirnya ngaco. Sampai tahap merasa sebenarnya COD bener-bener lebih baik dimatiin aja. Tapi kalau dimatiin tuh masalahnya gak banyak yang beli. Nggak tahu juga kenapa orang tuh maunya COD,” tutur Asoka.

Kisah Asoka mewakili suara sejumlah penjual di luar sana. Di jagat maya, berseliweran cerita para pedagang yang mengisahkan soal sistem retur yang dinilai terlalu berpihak ke pelanggan.

Proyeksi pertumbuhan pengguna e-commerce di Indonesia

Warga berbelanja secara daring di salah satu aplikasi belanja daring di Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/4/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz.

Jika merujuk pada salah satu situs e-commerce, yakni Tokopedia, pengembalian barang/retur bisa dilakukan ketika penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan pengembalian barang. Setelah disepakati, pembeli bisa mengirimkan barang ke alamat yang sudah diberikan penjual.

Cara melakukan retur barang yang dibeli di Tokopedia yakni dengan mendokumentasikan pengemasan atau kondisi paket sebelum dikirim guna mengantisipasi kendala lainnya, mencantumkan nomor invoice yang berkendala di luar paket, lalu mengirimkan pesanan setelah penjual menerima solusi returnya.

“Jika menggunakan asuransi pengiriman, kamu bisa memilih pengiriman dijemput Tokopedia sehingga bisa langsung request pick up di Pusat Resolusi. Kamu dapat datang langsung ke agen pengiriman yang bekerjasama dengan Tokopedia atau menggunakan layanan jemput/pick up ke rumah (Ninja Xpress, AnterAja, SiCepat, Rex Kiriman Express, Lion Parcel),” tulis Tokopedia di laman resminya.

Sementara untuk toko oren atau Shopee, pembeli memang diberikan keleluasaan untuk mengembalikan pesanan. Namun, ada syarat dan ketentuan yang perlu mendapat perhatian.

“Syarat dan ketentuan yang ada mengatur jenis produk yang tidak bisa dikembalikan dan kondisi barang saat dikembalikan untuk bisa melindungi penjual dari kerugian,” begitu keterangan dari Juru Bicara Shopee Indonesia, kepada Tirto Rabu (25/6/2025).

Lebih lanjut, Shopee Indonesia juga mengimplementasikan beberapa kebijakan untuk melindungi penjual. Ada sanksi kepada pembeli yang melakukan kecurangan, dengan pencabutan hak untuk menikmati keuntungan program Garansi Bebas Pengembalian.

Selain itu penjual juga bisa mengajukan proses banding, jika produk yang dikembalikan dalam kondisi rusak, dan tim Shopee akan melakukan pengecekan.

“Shopee terus berusaha mengembangkan dan memperbaiki sistem pengembalian barang dan dana, untuk menghadirkan layanan yang lebih baik bagi seluruh pihak,” tambah Juru Bicara Shopee Indonesia.

Target pertumbuhan ekonomi digital Tahun 2024

Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (6/2/2024).ANTARA FOTO/Auliya Rahman/nym.

Namun begitu, Asoka sebagai seller merasa kalau kebijakan soal retur di Shopee ini berubah. Dari sebelumnya penjual bisa mengajukan banding dari awal atau sebelum pembeli kirim retur, menjadi hanya bisa melakukan banding setelah pembeli kirim retur. Menurutnya, penjual juga tidak bisa menolak permintaan retur dari pembeli.

“Dan seller ngajuin banding tuh hampir gak mungkin dimenangin (oleh) Shopee, karena Shopee memihak pembeli terus. Kecuali memang kalau baju bekas gitu kadang masih bisa seller menang, karena jelas salah kan. Tapi kalau misal karena kesalahan pembeli, misal produknya udah ada detail bahan, ukuran, dll, tapi pembelinya aja yang ngasal beli gak dibaca dulu, itu tetep seller yang rugi karena returnya diterima oleh Shopee,” ungkap Asoka.

Tidak Ada Aturan Universal

Pada dasarnya, kebijakan retur di e-commerce mengacu pada masing-masing kebijakan platform. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, mengatakan, hal itu umumnya merujuk pada prinsip perlindungan konsumen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

“Artinya, tidak ada satu aturan baku yang berlaku universal untuk semua platform. Tetapi umumnya terdapat syarat dan ketentuan yang sudah dijelaskan sejak awal kepada pengguna (baik penjual maupun pembeli),” tutur Budi lewat keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025).

Kebijakan retur biasanya mencakup beberapa alasan yang dapat diterima — seperti produk rusak, tidak sesuai deskripsi, atau salah kirim — dan akan diverifikasi terlebih dahulu oleh sistem/platform. Namun, Budi bilang, pihaknya juga mencatat bahwa praktiknya, tingkat fleksibilitas dan perlindungan bagi seller dapat berbeda-beda tergantung platform dan kategori produk.

Kata Budi, keluhan penjual terkait retur umumnya muncul karena sistem penanganan retur yang masih belum sepenuhnya sempurna. Dalam beberapa kasus, mekanisme verifikasi retur belum bisa menyaring secara adil apakah alasan pengembalian valid atau tidak.

“Akibatnya, seller merasa tidak memiliki ruang untuk menolak retur yang dianggap merugikan. Sistem ini masih terus dikembangkan dan membutuhkan penyempurnaan, termasuk dari sisi teknologi, SOP, dan komunikasi antara platform, seller, dan pembeli,” ungkap Budi.

Belanja online di Indonesia meningkat

Warga menggunakan ponsel untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja di Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/5/2024). Berdasarkan laporan Digital 2024 Global Overview yang dirilis We Are Social dan Meltwaterper Januari 2024, tren belanja online di Indonesia menunjukkan peningkatan yaitu sebanyak 59 persen pengguna internet di Indonesia gemar belanja online sehingga menempati urutan tertinggi kesembilan di dunia. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nym.

Terlepas dari itu, ia meyakini bahwa platform e-commerce terus melakukan evaluasi terhadap kebijakan retur, terutama ketika muncul keluhan dari penjual. Budi menyatakan bahwa beberapa platform telah menerapkan fitur verifikasi foto/video saat retur, pelacakan alasan pengembalian, hingga ulasan akun pembeli yang dianggap bermasalah.

“Dari sisi idEA, kami mendorong adanya keseimbangan dalam sistem retur, agar tidak timpang antara perlindungan konsumen dan perlindungan seller. Kami juga mendorong platform untuk meningkatkan transparansi, memperketat sistem verifikasi retur, dan membuka kanal komunikasi yang responsif agar seller tidak merasa sendirian saat menghadapi kendala ini,” tutur Budi.

Isu ini disebut menjadi salah satu fokus diskusi antara idEA dengan para anggota dan regulator, dalam rangka membangun ekosistem e-commerce yang sehat dan adil untuk semua pihak.

Hak Konsumen Dilindungi UU

Hak konsumen memang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, tapi bukan berarti konsumen bisa melakukan semena-mena dan justru berbuat merugikan.

Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, menyatakan pihaknya mengecam tindakan konsumen yang nakal. Dia juga mengimbau untuk para pelaku usaha dan konsumen beritikad baik dalam bertransaksi. Sehingga terjadi sistem transaksi yang adil dan berkelanjutan.

Kendati begitu, menurutnya, menolak penyerahan kembali barang yang dibeli merupakan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen mengenai klausul baku. Apalagi, penyerahan barang kembali dikarenakan produk yang diterima tidak sesuai. Hal ini dikatakan Rio jelas mencederai hak konsumen apabila pelaku usaha menolak.

Pasal 4 Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebut bahwa salah satu hak konsumen adalah hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

CAPAIAN PAJAK DIGITAL

Warga mengakses aplikasi belanja daring di Jakarta, Sabtu (10/9/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

Selain itu, konsumen juga berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

“Pengaduan konsumen belanja online ke YLKI dalam 5 tahun terakhir masuk dalam 10 besar pengaduan konsumen, di tahun 2024 pengaduan tersebut mencapai 144 pengaduan. YLKI banyak mendengar pengaduan dari konsumen perihal refund 29,9 persen; barang tidak sesuai 27,1 persen; penipuan dan pembobolan sebanyak 7,6 persen, dll,” ungkap Rio kepada Tirto, Kamis (26/6/2025).

Rio bilang, banyak persoalan berulang yang terjadi di e-commerce. Oleh karenanya perlu adanya pembenahan secara sistemik maupun implementasi pengawasan dari pemerintah terhadap pelaku usaha di e-commerce untuk memastikan hak konsumen tidak dilanggar

YLKI meminta pihak platform untuk responsif dan bertanggung jawab atas layanan transaksi di e-commerce dari hulu hingga hilir. Dalam artian, platform dan penjual mesti memberikan iklan informasi yang benar, jelas, dan jujur, dan menyelesaikan sengketa secara responsif dan adil bagi konsumen, termasuk apabila ada barang yang tidak sesuai maupun pengembalian dana konsumen.

Promosi potongan harga Harbolnas

Warga menunjukan promosi potongan harga Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) di aplikasi belanja daring di Jakarta, Selasa (12/12/2023). ANTARA FOTO/ Erlangga Bregas Prakoso/sgd/YU

Sementara dari sisi pemerintah, Rio mendorong adanya pengawasan di lokapasar dari mulai iklan produk hingga uji pembelian produk di pasar. Hal itu bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang didapat sesuai dengan yang ditawarkan

“YLKI juga meminta pihak platform menindak tegas seller nakal dan asosiasi e-commerce juga bisa berkontribusi untuk mem-black list penjual tersebut agar tidak bisa lagi berjualan di platform lain,” tutur Rio.

Pengawasan yang lemah ia sebut menjadi celah bagi para oknum pedagang nakal melakukan penjualan produk yang tidak sesuai. Pemerintah sebaiknya membuka keran pengaduan dan partisipasi masyarakat untuk mengawasi seller lokapasar.

Baca juga artikel terkait ECOMMERCE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto