Menuju konten utama

Sinopsis Novel "Jejak Langkah" Karya Pramoedya Ananta Toer

Sinopsis Novel "Jejak Langkah" karya Pramoedya Ananta Toer yang menjadi judul ketiga dari rangkaian "Tetralogi Buru".

Sinopsis Novel
Ilustrasi karya sastrawan Pramoedya Ananata Toer. FOTO/Istimewa

tirto.id - Jejak Langkah adalah salah satu novel fiksi sejarah karya Pramoedya Ananta Toer dan menjadi judul ketiga dari rangkaian "Tetralogi Buru".

Cetakan pertama novel ini pertama kali rilis pada tahun 1985 diterbitkan Lentera Dipantara. Hingga tahun 2007, Jejak Langkah sudah memasuki cetakan kesebelas dengan tebal 732 halaman.

"Tetralogi Buru" terdiri dari empat judul novel yang diterbitkan beriringan yakni, Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Setelah beberapa waktu terbit dan mendapat respons positif dari masyarakat, pemerintah orde baru kala itu melarang buku-buku ini beredar karena dianggap mengandung paham Marxisme-Leninisme.

Sinopsis Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah mengisahkan Minke yang berhijrah dari Surabaya ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan dokter pribumi di School tot Opleiding van Inlandische Artsen (STOVIA).

Selama menjalani pendidikan, putra bupati Bojongnegoro itu dibiayai oleh gubermen.

Namun, selama menjalani pendidikan di Batavia, Minke harus tinggal di asrama. Sifat Minke yang cenderung bebas membuatnya merasa terkekang dengan segala peraturan asrama yang wajib untuk diikuti.

Setelah Annelies Mallema, anaknya Nyai Ontosoroh meninggalkannya untuk selamanya. Di sini, Minke berkenalan dengan seorang putri Tionghoa bernama Ang San Mei berkat surat wasiat yang diberikan temannya Khouw Ah Soe sebelum meninggal.

Pertemuan ini membuat mereka akrab, Minke akhirnya mempersunting Ang San Mei.

Menikah dengan Ang San Mei membuka pikirannya tentang gerakan revolusi dan semakin kritis terhadap kolonialisme, sebab isterinya itu merupakan seorang aktivis pergerakan revolusi Cina yang melarikan diri ke Hindia Belanda.

Di suatu waktu, Minke mengikuti kelas yang diisi oleh seorang dokter Jawa senior, Dr. Wahidin Soedirohoesodo.

Dr. Wahid membakar semangat Minke untuk berorganisasi, sebagai upaya perjuangan pribumi melawan kolonialisme.

Isterinya Ang San Mei sebenarnya sangat mendukung Minke untuk menjadi dokter, tapi Minke lebih tertarik untuk membaca dan menulis serta mewujudkan perjuangan kaum pribumi.

Sayangnya, umur Ang San Mei tak bertahan lama, ia meninggal dunia. Sebelum meninggal, Minke sibuk merawat Mei sehingga membuat Minke dikeluarkan dari STOVIA dan harus membayar biaya sekolahnya selama ini.

Ini menjadi titik balik perjalanan Minke sebagai seorang pejuang dengan menempuh jalan menjadi jurnalis.

Dibantu dengan Nyai Ontosoroh, Minke akhirnya bisa mendirikan organisasi Syarikat Priyayi dan sebuah media bernama Medan Priyayi, kala itu media pertama dan satu-satunya dengan bahasa melayu.

Minke juga kemudian bertemu dengan Princess Van Kasiruta dari kerajaan Maluku, Princess Van Kasiruta mengikuti ayahnya menjalani masa buangan.

Minke dan Princess Van Kasiruta kemudian menikah. Keduanya saling bahu membahu berjuang melawan pemerintahan kolonial.

Tulisan-tulisan Minke yang syarat kritik digandrungi kalangan pribumi. Medan Priyayi melesat menjadi bacaan yang diantisipasi oleh pemerintah kolonial.

Suatu ketika akibat kesalah penulisan oleh bawahannya, Minke ditangkap dan diasingkan ke luar Pulau Jawa.

Baca juga artikel terkait PRAMOEDYA ANANTA TOER atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dhita Koesno