tirto.id - Bumi manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca merupakan empat karya sastra yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer.
Karya-karya yang menjadi idaman para penikmat sastra ini sering dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru atau "Tetralogi Pulau Buru".
Sebutan itu lahir, karena Pram menyelesaikan keempat karya tersebut saat sedang mengalami penahanan di Pulau Buru pada tahun 1965-1979.
Pram yang memiliki nama asli Pramoedya Ananta Mastoer lahir di Blora, 6 Februari 1925.
Ketertarikannya pada dunia sastra, membuatnya menghasilkan beberapa karya novel, seperti Keluarga Gerilya dan Perburuan sejak tahun 1940-an.
Pada tahun 1958 ia masuk menjadi anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Inilah yang kemudian mengakibatkan Pram dipenjara dan diasingkan ke Pulau Buru pada 1965, karena ia dianggap sebagai bagian dari PKI yang saat itu dilakukan penangkapan anggota ataupun simpatisan PKI oleh TNI. Walaupun, pada saat penangkapan ia mendapat perlakuan yang tidak pantas hingga menyebabkan pendengarannya rusak.
Hal itu tak menyurutkan Pram untuk dapat menghasilkan karya sastra Tetralogi Buru, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Lantas, bagaimana sinopsis dari keempat novel tersebut? Berikut penjelasannya.
Sinopsis Bumi Manusia
Bumi Manusia merupakan buku pertama dari empat seri novel yang dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru.
Dikutip dari lamanensiklopedia.kemdikbud.go.id, diceritakan seorang pria keturunan priyayi bernama Minke saat itu mendapat kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.
Dalam novel tersebut diceritakan juga bahwasanya, Minke menjalin cinta dengan Annelies, putri Herman Mellema dengan Nyai Ontosuroh.
Kemudian, Minke menikah dengan Annelies. Pernikahannya dengan Annelies membuat dirinya sering berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat Belanda.
Ia pun menyadari bahwa realitas kehidupan masyarakat saat itu sangat bersifat rasialis.
Hal tersebut yang membawa Minke bersama Nyai Ontosuroh berjuang melawan hukum kolonial, walaupun pada akhirnya mengalami kegagalan.
Sinopsis Anak Semua Bangsa
Minke pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang terpelajar, namun suatu waktu ia mendapat kritik dari temannya yang menyatakan ia penulis salon.
Ia pun memutuskan untuk berlibur ke desa. Saat di desa ia bertemu seorang petani bernama Kromodongso.
Dari petani tersebut ia mendapat cerita bahwa banyak petani yang tanahnya yang diambil alih oleh pengusaha gula.
Mendengar hal itu, ia tersadar untuk menjadi pembela para petani di desa tersebut.
Minke pun mulai menulis tentang penderitaan-penderitaan yang dirasakan petani ke surat kabar, namun surat kabar yang dimiliki oleh Belanda sudah pasti tidak akan menerbitkan tulisan tersebut.
Hal ini dikarenakan modal yang digunakan para surat kabar bersumber dari pengusaha gula. Minke pun sadar bahwa ia harus membuat surat kabar sendiri yang nantinya akan dibaca oleh rakyatnya sendiri.
Sinopsis Jejak Langkah
Novel ini diawali dengan perpindahan Minke ke Batavia untuk melanjutkan studi ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandische Artsen – sekolah pendidikan dokter untuk pribumi).
Akan tetapi, peraturan yang mewajibkan siswa untuk tinggal di asrama membuat dirinya merasa terkekang.
Hal ini dikarenakan, kebiasaan Minke yang sudah terbiasa hidup dengan bebas harus menerima kenyataan yang demikian.
Di Batavia ia bertemu dengan seorang putri Tionghoa bernama Ang San Mei. Perawakannya yang berkulit putih halus dan bermata sipitnya berhasil memikat hati Minke.
Akhirnya Minke memperistri Ang San Mei. Setelah memperistri Ang San Mei, pemikiran Minke menjadi semakin tajam dan kritis terhadap Belanda.
Di benaknya muncul pemikiran untuk melakukan revolusi di tanah Hindia.
Keinginan yang kuat memperjuangkan bangsanya, membuat Minke bersama teman-temannya membentuk Syarikat Priyayi di STOVIA sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
Hal ini terus berlanjut, ketika Minke membentuk surat kabar Medan Priyayi. Surat kabar ini merupakan satu-satunya media yang berbahasa Hindia Melayu.
Dalam perjalanannya, Minke kembali berjuang untuk dapat mempertahankan syarikat dan media yang telah dibentuknya.
Sinopsis Rumah Kaca
Pada novel edisi terakhir dari "Tetralogi Buru" terdapat penambahan tokoh dalam ceritanya, yakni muncul seorang yang bernama Jacques Pangemanann.
Ia adalah seorang anak bangsa berpendidikan Eropa asal Makassar yang bekerja sebagai polisi pada pemerintah kolonial.
Kariernya sebagai polisi melejit, ketika ia berhasil menumpas gerombolan si pitung. Saat itu, ia dipromosikan menjadi Komisaris Besar Polisi.
Jabatan tersebut membuatnya diberikan tugas baru untuk dapat mengawasi geliat pergerakan nasional di Hindia akibat tulisan-tulisan Minke di Medan Priyayi.
Ia pun mulai meneliti tulisan-tulisan Minke, dalam penelitian tersebut ia memberikan rekomendasi kepada pimpinannya untuk melakukan penangkapan dan pengasingan terhadap Minke.
Pada akhirnya, Minke pun diasingkan ke Maluku. Setelah berhasil mengasingkan Minke, ia kemudian diberi tugas untuk melumpuhkan pergerakan Indische Partij dan Syarikat Islam yang idenya lahir dari Minke juga.
Pangemanann kembali berhasil melumpuhkan dua organisasi tersebut. Akan tetapi, ia malah diberi tugas yang lebih berat lagi, karena setelah bubarnya dua organisasi tersebut banyak bermunculan organisasi lain.
Namun, pekerjaan yang berat membuat keluarganya hancur. Ia ditinggal oleh anak dan istrinya, kemudian posisinya hampir terancam.
Akan tetapi, pengalaman yang dimiliki membuat posisinya tetap aman. Setelah Minke bebas, ia kembali ke Surabaya untuk melanjutkan perjuangan yang sempat terhenti.
Perjuangan Minke dirasa semakin berat, karena Pangemanann menyarankan Gubernur Jenderal untuk membuat kebijakan tentang penyitaan seluruh aset dan menyebarkan rumor bahwa Minke mempunyai hutang kepada bank.
Sehingga, setiap orang yang berhubungan dengan Minke akan diselidiki oleh pihak kepolisian. Oleh karena itu, kerabat dan teman-temannya tidak berani menjalin hubungan kembali dengan Minke.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Dhita Koesno