tirto.id - Pekerjaan Joesoef Isak dan Hasjim Rachman—mantan pemimpin harian Bintang Timur—dalam mengoreksi novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (1980), telah rampung.
Dengan keterbatasan sumber daya, novel itu mampu dicetak untuk dijual. Setelah itu, cetakan baru terus-menerus keluar saking membludaknya permintaan. Proses ini lancar sampai tahun 1981: Kejaksaan Agung memanggil Joesoef Isak.
Ia harus melapor ke Kejaksaan Agung setiap hari, selama sebulan. Saban hari ia diinterogasi berjam-jam soal isi buku Pram.
Dicuplik dari Max Lane dalam Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto (2008, hlm. 202), setelah menginterogasi, aparat memberi tahu Joesoef bahwa buku Pram akan dilarang sembari menyelipkan selembar kertas di bawah meja.
"Saya ingin salinan Bumi Manusia secara gratis karena istri saya ingin membacanya," begitu kira-kira tulisan pada kertas yang diselipkan itu.
Di lain waktu, Joesoef Isak diinterogasi secara empat mata.
"Buku ini (Bumi Manusia) berisi Marxisme dan Leninisme, menyebarkan komunisme," ucap aparat seperti dikutip TEMPO edisi 13 Agustus 2007.
"Bapak menuduh. Saya bertanya, di halaman berapa, alinea berapa ada Marxisme," sergahnya.
Interogator membalas cepat, "Saya tidak bisa membuktikan, tapi saya bisa merasakan adanya Marxisme dan Leninisme."
Singkat cerita, akhirnya novel Pram dilarang beredar.
Mesin Tik yang Berkutik
Joesoef Isak lahir di Kampung Ketapang, Jakarta Pusat, pada 15 Juli 1928. Menurut John Roosa dalam Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020, hlm. 49), keluarganya berasal dari kalangan elite di Sumatra Barat.
Dalam obituari "Joesoef Isak Died" (2009), Andreas Harsono menyebut ayah Joesoef adalah mantan pegawai kantor pos dari Minangkabau yang pindah ke Jakarta.
Mula-mula, Joesoef belajar di sekolah dasar Katolik. Dalam majalah TEMPO edisi 26 April 2004 disebutkan, ia lihai berbahasa Inggris dan Belanda sejak dini. Ia mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.
Menginjak masa SMP, ia dan teman-temannya terseret arus politik untuk dimobilisasi arahan Sukarno pada periode Pendudukan Jepang tahun 1941. Retorika Sukarno sering Joesoef dengar dalam berbagai kesempatan, tetapi tak satu patah kata pun ia mengerti.
"Ketika saya menguasai bahasa saya sendiri, saya menjadi pengagum Sukarno," ucapnya seperti dikutip The New York Times edisi 13 Februari 2003.
Selanjutnya ia belajar di Taman Dewasa di Kemayoran, Jakarta. Setelah lulus pada usia 18 tahun, dikutip dari obituari "Kisah Sebelum Tidur Panjang" (TEMPO edisi 24 Agustus 2009), ia mulai meniti karier jurnalisme pada 1946. Pilihannya jatuh pada surat kabar Berita Indonesia yang berkantor di Jakarta.
Mula-mula ia bekerja di bagian dokumentasi. Tanggung jawabnya menerjemahkan berita-berita berbahasa Belanda yang layak untuk dimuat dalam harian itu.
"Kemudian saya menjadi korektor dan di bagian layout. Setelah itu, saya menulis berita kriminal atau sepak bola,” kata Joesoef.
Warsa 1949, pemilik harian Merdeka, B.M. Diah, memutuskan membeli Berita Indonesia. Ia lalu menutup harian tersebut dan karyawannya bermigrasi ke Merdeka.
Di Merdeka, Joesoefmenulis pelbagai ulasan, mulai dari Johann Sebastian Bach hingga Beethoven. Di samping itu, menurut Max Lane dalam artikel "On Joesoef Isak" (2006), ia banyak membaca sastra Barat. Kegemaran ini membawanya masuk bergaul ke dalam lingkar intelektual Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pada 1956, Joesoef menikah dengan Budi Asni Isak yang digelar di Gedung Pemuda—sekarang Gedung Mahkamah Agung. B.M. Diah dan istrinya, Herawati, datang. Lalu tibalah sesi pemberian selamat kepada pengantin. B.M. Diah naik podium dan mengucapkan selamat sambil berbisik pada Joesoef dalam bahasa Belanda.
"Soef, aku punya kado untukmu. Mulai hari ini aku angkat kau jadi managing editor.”
"Jadi saya adalah wakil B.M. Diah! Ini suatu penghargaan, karena banyak senior di atas saya. Tapi B.M. Diah memilih saya,” kenang Joesoef dalam memoar "Ditunjuk Pemimpin Besar Revolusi" (2008).
"Saya Ditendang ke Atas"
B.M. Diah ditugaskan Bung Karno menjadi Duta Besar Indonesia untuk Cekoslowakia pada 1959. Ia melepas jabatannya sebagai pemimpin redaksi Merdeka. Lalu ia menunjuk Joesoef sebagai penggantinya.
Sekali waktu Bung Karno bertemu dengan Joesoef dan mewanti-wanti agar menjaga Merdeka tetap konsekuen di garis progresif-revolusioner.
"Kalau tidak bisa [melaksanakan pesan itu], Bung Karno akan memanggil Diah pulang kembali ke Indonesia,” kenangnya.
Kerry W. Groves dalam Harian Rakjat, Daily Newspaper of the Communist Party of Indonesia – Its History and Role (1983) menerangkan, Joesoef membawa Merdeka ke dalam regu pers-progresif bersama Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, dan Warta Bakti.
Pers-progresif mendukung penuh kebijakan radikal Sukarno. Sekitar 1959, Joesoef juga memegang kendali sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta.
Arah ideologinya berputar balik pada 1960. Max Lane (2006) menyebut, Joesoef merasa terasing dari kelompok PSI yang bergerak secara terbatas. Joesoef merasa gandrung untuk menjadi bagian dari gerakan massa.
"… terutama ketika gerakan massa tersebut bersifat internasionalis," catat Roosa (2020, hlm. 49).
Joesoef lalu mendekati salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia, Sudisman, dan menawarkan diri untuk bergabung dengan partai. Sudisman menolak permintaan Joesoef.
"Sudisman mengatakan kepadanya bahwa ia akan lebih berharga jika terus tampil sebagai nonafiliasi,” tulis Roosa.
B.M. Diah hanya tiga tahun di Praha, kemudian berpindah ke Inggris. Ia dihubungi Suhardiman—Ketua Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia--yang memberi tahunya bahwa Joesoef membawa Merdeka ke arah kiri. Kawat pesan Diah buat Joesoef dari London diterimanya dan ia baca:
"Soef, kau tahu sendiri kan? Suluh Indonesia itu didukung Partai Nasional Indonesia, Harian Rakjat didukung Partai Komunis Indonesia, Bintang Timur ada Partindo, Merdeka apa? Keringat kita sendiri. Jadi buat apa kita besar-besarkan Ali Sastroamidjojo, Roeslan Abdulgani, atau Soebandrio? Kalau menguntungkan, kita dukung, kalau tidak, buat apa?"
Pada 17 Agustus 1963, Joesoef didepak dari pemimpin redaksi Merdeka. Ia digantikan oleh Hiswara Darmaputera, seorang editor konservatif. Namun, menurut Joesoef, ia tidak dipecat dari Merdeka.
Oleh Diah, ia dipromosikan menjadi direktur Dewan Pimpinan Merdeka yang mengurus harian, majalah, percetakan, dan Indonesian Observer—koran berbahasa Inggris milik Merdeka. Berbagai pertimbangan membuat Joesoef menolak tawaran Diah.
"Saya tidak dipecat, tapi ditendang ke atas," ucapnya.
Hasta Mitra & Tetralogi Buru
Dalam pusaran Tragedi 1965, Joesoef Isak turut ditahan. Mula-mula ia tahan tahun 1965. Dalam artikel "Saya dan Joesoef Isak" (2008), Bonnie Triyana mengungkap bahwa Joesoef harus "bolak-balik memenuhi panggilan aparat militer untuk diinterogasi." Akhirnya, tanpa proses pengadilan, militer kembali menjebloskan Joesoef ke penjara Salemba pada 1967.
Meski tidak dibawa ke Pulau Buru seperti teman-temannya, Joesoef digolongkan sebagai tapol kategori A.
"Kalau golongan A berarti saya selevel sama Sudisman dan semua anggota CC dan Politbiro [PKI]," terang Joesoef dalam koran TEMPO edisi 24 Januari 2006.
Selama di penjara Salemba, ia tidak sepenuhnya buta akan kondisi dunia luar. Seorang sipir mengenali karya-karya jurnalistik Joesoef dan dengan cepat menjalin persahabatan dengannya.
Setiap hari, dengan penuh kehati-hatian, sang sipir memasok surat kabar pada Joesoef. Menurut Carmel Budiardjo dalam artikel "Obituary of Joesoef Isak" (2009), Joesoef juga telaten menyampaikan laporan pada sesama tahanan atas apa yang ia telah baca.
Setelah diterungku selama 10 tahun, Joesoef akhirnya dibebaskan pada 1977. Tiga tahun setelahnya, Hasjim Rachman bersama Pramoedya Ananta Toer bertandang ke rumah Joesoef di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Mereka sepakat untuk mendirikan penerbitan Hasta Mitra yang berkantor di rumah Joesoef.
Awalnya, Hasta Mitra tidak disokong siapapun kecuali mereka bertiga. Penerbitan itu pada mulanya ditujukan untuk menerbitkan karya-karya Pram yang digarap selama dibuang di Pulau Buru. Maka lahirlah Tetralogi Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Joesoef dalam artikel memoar "Jejak Langkah Pergulatan Pena" (2008) menerangkan, pembagian kerja di antara ketiganya dilakukan secara teratur. Hasjim Rachman dipercaya untuk mengurus masalah modal, distribusi, dan penjualan. Pram sebagai penulis, sedangkan Joesoef sebagai editor dan menyangkut urusan politik terhadap pemerintah.
Naskah Bumi Manusia akhirnya tuntas cetak. Saat itu, Joesoef menemui Goenawan Mohamad di kantor TEMPO, Senen, Jakarta Pusat. Goenawan setuju untuk mencetak Bumi Manusia dan meminta salinannya untuk diresensi.
Dilarangnya peredaran Bumi Manusia sudah diantisipasi Joesoef sejak awal. "Saya bahkan mengirimkan fotokopi naskah buku ke luar negeri untuk diselamatkan, lantaran khawatir disita dan dimusnahkan aparat," kenangnya.
Kegigihan Joesoef dalam dunia penerbitan membuatnya diganjar beberapa penghargaan, di antara lain PEN Keneally Award dari Australia, Wertheim Award bersama Goenawan dari Belanda, Jeri Laber Award dari International Freedom to Publish Committee, Amerika Serikat.
Joesoef tetap melakoni penyuntingan dan memberi kata pengantar pada beberapa buku sebelum kematiannya. Terakhir ia sempat menyunting memoar Ang Yan Goan, pemimpin redaksi surat kabar Sin Po.
Seperti biasa, larut malam ia selalu bercakap-cakap dengan Asni, istrinya. Kemudian Joesoef membalikkan badannya ke sebelah kiri dan tertidur. Pada Sabtu dini hari, 15 Agustus 2009, jam menunjukkan pukul 01.30, di tengah tidurnya ia mengembuskan napas terakhir.
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Irfan Teguh Pribadi