Menuju konten utama

Sinopsis Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun dari Sutan Takdir AS

Sinopsis Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisyahbana

Sinopsis Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun dari Sutan Takdir AS
Anak Perawan di Sarang Penjamun salah satu novel karya Sutan Takdir Alisyahbana. (kemdikbud.go.id)

tirto.id - Anak Perawan di Sarang Penyamun merupakan novel karya sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana yang terbit tahun 1940.

Sebelum dibukukan, kisah ini dipublikasikan pertama kali sebagai cerita bersambung di majalah Penindjauan pada tahun 1932.

Novel ini sangat populer hingga cetak ulang berkali-kali, bahkan diterbitkan dalam edisi bahasa Melayu di Malaysia pada tahun 1964.

Tak hanya itu, novel ini juga pernah diangkat ke layar lebar dengan judul sama di tahun 1962 oleh sutradara Usmar Ismail.

Sinopsis Novel Anak perawan di Sarang Penyamun

Cerita novel ini bermula ketika seorang saudagar kaya bernama Haji Sahak melakukan perjalanan ke Palembang. Saat itu Haji Sahak juga mengajak sang istri dan anak gadisnya yang bernama Sayu.

Namun di tengah perjalanan, rombongan Haji Sahak dicegat oleh kelompok penyamun/perampok yang dipimpin oleh Medasing.

Semua orang tewas dibunuh oleh kawanan Medasing, kecuali Sayu yang kemudian diculik oleh Medasing dan dibawa ke markasnya. Sayu akhirnya terpaksa tinggal bersama para penyamun dan tak bisa melarikan diri.

Konflik lain datang ketika anak buah Medasing yang bernama Samad muncul dan jatuh cinta pada Sayu.

Diam-diam, Samad berusaha membawa kabur Sayu dan berjanji akan memulangkan gadis itu ke tempat asalnya.

Sayu yang merasa curiga akhirnya menolak Samad dan memilih untuk tetap tinggal di tempat Medasing. Hal ini rupanya membuat Samad sangat kecewa.

Samad kemudian berkhianat terhadap Medasing dan berusaha menggagalkan semua usaha perampokannya.

Caranya, ia membocorkan rencana perampokan tersebut pada saudagar-saudagar kaya yang jadi target Medasing.

Perampokan yang dilakukan Medasing pun selalu gagal. Tak hanya itu, anak buah Medasing banyak yang terluka parah karena para saudagar kaya itu sudah mempersiapkan diri dan melakukan perlawanan.

Sampai pada suatu hari Medasing pulang dengan luka yang sangat parah, sementara seluruh anak buahnya sudah tewas. Saat itulah Sayu merasa iba dan mulai mengobati Medasing.

Keduanya perlahan-lahan menjadi lebih dekat dan Sayu mulai mengenal Medasing lebih jauh. Sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta dan Medasing menyadari dosa-dosanya selama ini.

Biografi Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisyahbana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli, Sumatera Utara.

Sastrawan yang telah menulis banyak buku ini meninggal pada 31 Juli 1993 silam dan dimakamkan di kawasan Bogor.

Semasa hidupnya, Sutan Takdir Alisyahbana dulunya sempat mengenyam pendidikan guru di Hogere Kweekschool Bandung (1925-1928). Ia juga menempuh pendidikan yang sama di Hoofdacte Cursus Jakarta (1931-1933).

Sutan Takdir kemudian mengikuti kuliah di Rechtshcogeschool (Sekolah Hakim Tinggi) Jakarta di tahun 1937-1942. Ia juga sempat kuliah di Fakultas Sastra Universiteit van Indonesie pada tahun 1940-1942.

Di tahun 1979, Sutan Takdir Alisyahbana menerima gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia.

Kemudian tahun 1987, ia menerima gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains Malaysia.

Sutan Takdir Alisyahbana pernah menjalani profesi sebagai guru di Hollandsch Inlandsche School di Palembang.

Setelah pindah ke Jakarta, ia menjadi redaktur kepala di Penerbit Balai Pustaka sekaligus pimpinan majalah Pandji Poestaka (1930-1942).

Ia juga menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia (1942-1950). Dalam kurun waktu tersebut, Sutan Takdir diangkat menjadi direktur SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan.

Di tahun 1946-1948, ia sempat menjadi dosen Universitas Indonesia dan mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia, Sastra, dan Sejarah Kebudayaan.

Sutan Takdir Alisyahbana juga dikenal sebagai pendiri Universitas Nasional sekaligus menjadi rektor di sana.

Dalam dunia pendidikan, ia tercatat pernah mengajar sebagai dosen di Fakultas Pascasarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat.

Selain itu, Sutan Takdir juga pernah menjabat sebagai guru besar Universitas Andalas, Akademi Jurnalistik, dan University of Malaya.

Sementara untuk bidang jurnalistik, Sutan Takdir Alisyahbana pernah mendirikan sekaligus menerbitkan majalah Poedjangga Baroe.

Majalah yang berfokus untuk menyuarakan pembaharuan sastra tersebut ia terbitkan bersama Amir Hamzah dan Armijn Lane.

Sutan Takdir dikenal sebagai seorang penulis yang berorientasi ke dunia barat. Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan banyak karya tulis, mulai dari novel, puisi, artikel, hingga tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kebudayaan.

Berikut beberapa karya Sutan Takdir Alisyahbana:

    • Novel Tak Putus Dirundung Malang (Balai Pustaka, 1929)
    • Novel Dian yang Tak Kunjung Padam (Balai Pustaka, 1932)
    • Novel Layar Terkembang (Balai Pustaka, 1937)
    • Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun (Balai Pustaka, 1940)
    • Kumpulan puisi Tebaran Mega (Pustaka Rakyat, 1935)
    • Puisi Lama (Dian Rakyat, 1946)
    • Puisi Baru (Dian Rakyat, 1946)
    • Novel Grotta Azzura, Kisah Cinta dan Cita (Dian Rakyat, 1970)
    • Kumpulan puisi Lagu Pemacu Ombak (1978)
    • Novel Kalah dan Menang (1978), dan novel ini membuat Sutan Takdir mendapatkan anugerah The Order of Sacred Treasure, Gold and Scheer dari Kaisar Jepang.

Baca juga artikel terkait SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Dhita Koesno