tirto.id - Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan karya dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau populer sebagai Buya Hamka, dan terbit pertama di tahun 1939. Lantas, bagaimana sinopsis Tenggelamnya Kapal van Der Wijck?
Pada awalnya, cerita tersebut dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat. Buya Hamka menyampaikan cerita ketika bekerja sebagai pimpinan redaksi pada 1938 silam, lokasinya di Medan.
Kisah berlatar belakang kehidupan di Minangkabau, tanah asal Buya Hamka, dengan masalah adat yang berlaku pada saat itu perihal warisan. Perjodohan, kawin paksa, serta pertalian darah dan status sosial yang sangat kuat masih berakar.
Sinopsis Novel "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" Karya Buya Hamka
Bagaimana cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck? Kisah ini bermula dari Pendekar Sutan yang membunuh Mamak (saudara laki-laki ibunya) karena masalah warisan. Ia pun harus diasingkan ke luar dari Batipuh, Minangkabau, kemudian dikurung di Penjara Cilacap selama 12 tahun.
Usai menjalani hukuman tersebut, Sutan pun pergi merantau ke Makassar dan berjumpa dengan wanita bernama Daeng Habibah. Ia lalu menikahinya.
Mereka memiliki seorang putra yang dinamai Zainuddin. Namun tak lama setelah melahirkan, Daeng Habibah meninggal karena penyakit.
Sutan pun menyusul tak lama setelah istrinya meninggal. Zainuddin yang hidup sebatang kara lalu diasuh oleh Mak Base.
Setelah dewasa, Zainuddin memutuskan pergi ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Minangkabau.
Akan tetapi, bukannya disambut dengan baik oleh sanak keluarga sang ayah, Zainuddin malah diacuhkan. Alasannya karena ia memiliki darah ibu dari luar suku Minangkabau, walau ayahnya berasal dari sana.
Ia dianggap sudah terputus darah dengan keluarga di Batipuh, sebab daerah Minangkabau menganggap wanita lah yang menjadi kepala keluarga (matrilineal) dan menjadi penyambung keturunan.
Di tempat yang baru itu, Zainuddin memiliki seorang teman bernama Hayati, wanita asal Minang yang kerap jadi tempatnya berkeluh kesah melalui surat.
Keduanya kemudian lama kelamaan saling suka, karena Hayati merasa kasihan pada Zainuddin yang terlunta-lunta.
Namun, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi keluar dari Batipuh karena tak suka dengan hubungan mereka. Zainuddin pun pergi ke Padang Panjang, meninggalkan Hayati yang berjanji untuk setia.
Mamak Hayati kemudian menjodohkan wanita itu dengan Azis, pria Minang yang berasal dari keluarga terpandang serta kaya. Hayati mau tidak mau menerima pinangan Azis dan menikah dengannya.
Zainuddin yang mengetahui bahwa kekasihnya Hayati sudah menikah dengan pria lain, kemudian memutuskan pindah ke Batavia bersama dengan temannya yang bernama Muluk.
Ia mulai menjadi penulis yang karya-karyanya disukai banyak orang. Setelahnya, ia kembali hijrah ke Surabaya, dan tinggal di sana dengan pekerjaan yang mapan.
Tak disangka, Azis pun pindah ke Surabaya bersama Hayati, istrinya. Namun karena sering bertengkar, rumah tangga Azis dan Hayati terpaksa berpisah.
Azis yang dipecat dari pekerjaannya tak bisa lagi sombong dan terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Ia dan Hayati tinggal sementara di rumah mantan kekasih Hayati itu, yang kini sudah menjadi penulis terkenal.
Karena frustasi, Azis memutuskan bunuh diri dan menuliskan surat wasiat untuk Zainuddin. Ia meminta Zainuddin menjaga Hayati.
Zainuddin menolak menerima Hayati kembali, karena sakit hati wanita itu sudah menghianati dirinya. Ia malah membelikan untuk Hayati sebuah tiket kapal Van Der Wijk yang berlayar dari Jawa ke Sumatera.
Alur cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dilanjutkan dengan kesedihan mendalam Hayati. Perempuan ini masih teringat pada suaminya yang meninggal, begitu juga dengan peristiwa penolakan Zainuddin.
Di perjalanan, kapal Van Der Wijk tenggelam namun sebagian penumpangnya berhasil diselamatkan di rumah sakit wilayah Tuban. Zainuddin yang mendengar kabar tersebut segera berangkat ke Tuban untuk mencari Hayati.
Di rumah sakit, ia menemukan Hayati sedang sekarat dan kemudian meninggal dunia. Muluk, teman Zainuddin mengatakan bahwa Hayati sebenarnya masih mencintai Zainuddin.
Mendengar hal itu, Zainuddin menyesali dirinya. Setelah memakamkan Hayati, Zainuddin dilanda kesedihan panjang dan jatuh sakit pula.
Kondisi tubuhnya menjadi lemah, dan tak lama kemudian Zainuddin meninggal. Zainuddin dan Hayati dimakamkan berdampingan di tanah Jawa.
Ringkasan dan Review Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Ringkasan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dapat dilihat melalui uraian berikut.
Cerita singkat Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengisahkan seorang pria kelahiran berdarah separuh Minangkabau yang merantau ke Jawa. Ayahnya merupakan keturunan asli, sementara ibunya bukan.
Kendati punya setengah darah Minangkabau dari ayahnya, Zainuddin tidak diterima ketika bertamu ke kampung halaman. Ketentuan adat ini berlaku di sana, di mana perempuan menjadi kepala rumah tangga dan penghubung keturunan.
Dikisahkan bahwa Zainuddin bertemu Hayati, yaitu perempuan asli Minang. Kedua insan muda ini sama-sama merasakah jatuh hati, namun tidak mendapatkan resti dari Mamak Hayati.
Hayati pada akhirnya dijodohkan dengan seorang pria bernama Aziz. Zainuddin yang mendengar kabar pernikahan pun memutuskan pergi ke Batavia, kemudian pindah lagi ke Surabaya.
Takdir pun mempertemukan Zainuddin dan Hayati kembali di Surabaya. Aziz yang baru dipecat dari pekerjaannya di sana pun menumpang di rumah Zainuddin.
Aziz yang sudah muram dengan nasib menghabisi dirinya sendiri, kemudian menulis suatu surat wasiat kepada Hayati dan Zainuddin. Melihat informasi yang disampaikan surat, Zainuddin tidak bersedia menerima Hayati lagi.
Kebetulan mereka berdua berencana pergi ke dataran Minang untuk kembali ke kampung halaman, Namun nahasnya Hayati yang ditinggal sendiri di Kapal Van der Wijck malah menjadi korban kecelakaan laut.
Zainuddin yang mendengar kabar kematian Hayati langsung menjenguk mantan kekasih. Penyesalan tiada akhir dirasakan oleh Zainuddin sampai akhir hayatnya.
Dari resensi novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, kita dapat memahami bagaimana seorang pria bisa larut dalam keterpurukan. Tokoh Aziz merasakan kegagalan karena tidak mampu menghidupi sang istri.
Sementara Zainuddin menyesal karena tidak menerima hayati, padahal masih memiliki perasaan terhadapnya. Adapun Hayati juga punya rasa sedih dan sesal lantaran tidak setia terhadap Zainuddin.
Bukan hanya itu, Buya Hamka menyerukan persatuan bangsa untuk kaum pribumi, serta meninggalkan adat budaya yang tidak sesuai dan merugikan.
Walaupun di tahun 1962 sempat diterpa isu bahwa Buya Hamka melakukan plagiat dari novel karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang berjudul Sous les Tilleuls (1832), namun tudingan tersebut tidak benar.
Hamka disebut terinspirasi dari peristiwa tenggelamnya sebuah kapal di tahun 1936, lalu memasukkan kejadian tragis tersebut sebagai bagian akhir atau klimaks dari cerita di dalam novelnya.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dhita Koesno
Penyelaras: Yuda Prinada