Menuju konten utama

Sinopsis Novel "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" Karya Buya Hamka

Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck Berlatar belakang kehidupan di Minangkabau, tanah asal Buya Hamka.

Sinopsis Novel
Buku Tenggelamnya Kapal van der Wick karya Hamka. FOTO/readingsocially.com

tirto.id - Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan karya dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau populer sebagai Buya Hamka, dan terbit pertama di tahun 1939.

Pada awalnya, cerita tersebut dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat, tempat Buya Hamka bekerja sebagai pimpinan redaksi tahun 1938, di Medan.

Berlatar belakang kehidupan di Minangkabau, tanah asal Buya Hamka, dengan masalah adat yang berlaku pada saat itu perihal warisan, perjodohan dan kawin paksa, serta pertalian darah dan status sosial yang sangat kuat berakar.

Adat tersebut dianggap bertentangan dengan syariat agama Islam, demikian seperti dilansir laman Kemdikbud.

Novel ini laris di pasaran sejak cetakan pertamanya serta telah dicetak berkali-kali hingga saat ini.

Tenggelamnya Kapal van der Wijck bahkan menjadi bacaan sastra yang wajib bagi kalangan pelajar di Indonesia dan Malaysia, sebab novel tersebut juga diterbitkan dalam bahasa Melayu.

Melalui novel tersebut, Buya Hamka menyerukan persatuan bangsa untuk kaum pribumi, serta meninggalkan adat budaya yang tidak sesuai dan merugikan.

Walaupun di tahun 1962 sempat diterpa isu bahwa Buya Hamka melakukan plagiat dari novel karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang berjudul Sous les Tilleuls (1832), namun tudingan tersebut tidak benar.

Hamka disebut terinspirasi dari peristiwa tenggelamnya sebuah kapal di tahun 1936, dan memasukkan kejadian tragis tersebut sebagai bagian akhir atau klimaks dari cerita di dalam novelnya.

Sinopsis Novel "Tenggelamnya Kapal van der Wijck"

Pendekar Sutan membunuh Mamaknya (saudara laki-laki ibunya) karena masalah warisan, sehingga ia harus dihukum dengan diasingkan ke luar dari Batipuh, Minangkabau dan dipenjara di Cilacap selama 12 tahun.

Usai menjalani hukuman tersebut, Sutan pun pergi merantau ke Makassar dan berjumpa dengan wanita bernama Daeng Habibah. Ia lalu menikahinya.

Mereka memiliki seorang putra yang dinamai Zainuddin. Namun tak lama setelah melahirkan, Daeng Habibah meninggal karena penyakit.

Sutan pun menyusul tak lama setelah istrinya meninggal. Zainuddin yang hidup sebatang kara lalu diasuh oleh Mak Base.

Setelah dewasa, Zainuddin memutuskan pergi ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Minangkabau.

Akan tetapi, bukannya disambut dengan baik oleh sanak keluarga sang ayah, Zainuddin malah diacuhkan.

Itu karena ia memiliki darah ibu dari luar suku Minangkabau, walau ayahnya berasal dari sana.

Ia dianggap sudah terputus darah dengan keluarganya di Batipuh, sebab daerah Minangkabau menganggap wanita lah yang menjadi kepala keluarga (matrilineal) dan menjadi penyambung keturunan.

Di tempat yang baru itu, Zainuddin memiliki seorang teman bernama Hayati, wanita asal Minang yang kerap jadi tempatnya berkeluh kesah melalui surat.

Keduanya kemudian lama kelamaan saling suka, karena Hayati merasa kasihan pada Zainuddin yang terlunta-lunta.

Namun, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi keluar dari Batipuh karena tak suka dengan hubungan mereka. Zainuddin pun pergi ke Padang Panjang, meninggalkan Hayati yang berjanji untuk setia.

Mamak Hayati kemudian menjodohkan wanita itu dengan Azis, pria Minang yang berasal dari keluarga terpandang serta kaya. Hayati mau tidak mau menerima pinangan Azis dan menikah dengannya.

Zainuddin yang mengetahui bahwa kekasihnya Hayati sudah menikah dengan pria lain, kemudian memutuskan pindah ke Batavia bersama dengan temannya yang bernama Muluk.

Ia mulai menjadi penulis yang karya-karyanya disukai banyak orang. Setelahnya, ia kembali hijrah ke Surabaya, dan tinggal di sana dengan pekerjaan yang mapan.

Tak disangka, Azis pun pindah ke Surabaya bersama Hayati, istrinya. Namun karena sering bertengkar, rumah tangga Azis dan Hayati terpaksa berpisah.

Azis yang dipecat dari pekerjaannya tak bisa lagi sombong dan terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Ia dan Hayati tinggal sementara di rumah mantan kekasih Hayati itu, yang kini sudah menjadi penulis terkenal.

Karena frustasi, Azis memutuskan bunuh diri dan menuliskan surat wasiat untuk Zainuddin. Ia meminta Zainuddin menjaga Hayati.

Zainuddin menolak menerima Hayati kembali, karena sakit hati wanita itu sudah menghianati dirinya. Ia malah membelikan untuk Hayati sebuah tiket kapal Van Der Wijk yang berlayar dari Jawa ke Sumatera.

Dengan sedih karena suaminya meninggal dan Zainuddin menolaknya, Hayati pun pulang ke Minang.

Di perjalanan, kapal Van Der Wijk tenggelam namun sebagian penumpangnya berhasil diselamatkan di rumah sakit wilayah Tuban.

Zainuddin yang mendengar kabar tersebut segera berangkat ke Tuban untuk mencari Hayati.

Di rumah sakit, ia menemukan Hayati sedang sekarat dan kemudian meninggal dunia. Muluk, teman Zainuddin mengatakan bahwa Hayati sebenarnya masih mencintai Zainuddin.

Mendengar hal itu, Zainuddin menyesali dirinya. Setelah memakamkan Hayati, Zainuddin dilanda kesedihan panjang dan jatuh sakit pula.

Kondisi tubuhnya menjadi lemah, dan tak lama kemudian Zainuddin meninggal. Zainuddin dan Hayati dimakamkan berdampingan di tanah Jawa.

Biografi Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Nagari Sungai Batang, Agam, Sumatera Barat.

Ayahnya adalah seorang ulama, sehingga Hamka dibesarkan dengan nilai-nilai Islam yang kuat.

Hamka meneruskan sekolah agama di Diniyah School, yang membuatnya pandai berbahasa Arab.

Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Thawalib di Padang Panjang untuk menghapal kitab klasik, nahwu, dan shorof, juga syair berbahasa Arab.

Ia juga sempat belajar di Mekah namun kemudian kembali ke tanah air setelah tamat.

Namun sebagai remaja normal, Hamka dikisahkan juga suka menonton film di bioskop, demikian dikutip laman fkip.umri.ac.id.

Dari situ kecintaannya pada sastra makin besar. Selain piawai dalam bidang agama yang membawanya menjadi seorang tokoh agama yang disegani, Hamka dewasa juga adalah seorang sastrawan handal, sekaligus guru juga jurnalis.

Di tengah kecamuk penjajahan, Hamka lalu terjun pula di bidang politik dan menjadi anggota Partai Masyumi.

Setelah partai tersebut dibubarkan, Hamka aktif di Muhammadiyah serta sempat menjabat Ketua MUI yang pertama. Ketokohan Hamka membuat sebuah universitas milik Muhammadiyah memakai namanya, yakni Universitas Hamka.

Jasanya dalam bidang politik di saat pergerakan kemerdekaan membuat Hamka mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Karya Novel Hamka yang paling populer adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Baca juga artikel terkait BUYA HAMKA atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dhita Koesno