tirto.id - Sejumlah pejabat publik kerap menyitir kata "pribumi" dalam pidatonya. Pada Desember 2014, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti, sebagaimana dilansir Antara menyatakan bahwa perikanan tangkap harus dikuasai oleh pengusaha pribumi. Dalam ucapannya itu, Susi memaksudkan "pribumi" sebagai pengusaha ikan dalam negeri atau lokal.
Setahun berikutnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan agar publik tidak mencurigai para pengusaha pribumi yang bertemu petinggi Freeport-McMoran. Sementara pada September 2017, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyebut kata pribumi dalam pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa yang diterimanya dari Universitas Negeri Padang.
Kata "pribumi" juga disebut Anies Baswedan dalam pidato pertamanya kepada publik sebagai gubernur DKI Jakarta, Senin (16/10/2017).
“Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujar Anies.
Menurut Anies, kata "pribumi" dalam pidatonya ada dalam konteks menjelaskan era penjajahan atau kolonialisme. Artinya, "pribumi" tidak berhadapan dengan "non-pribumi" yang punya konotasi rasial pada etnis Tionghoa, melainkan dengan "penjajah".
Namun, sulit mengabaikan konteks waktu dan situasi politik pidato tersebut—pidato itu dilakukan setelah Anies dilantik sebagai gubernur, mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang beretnis Tionghoa. Maka, kata "pribumi" dalam pidato Anies pun menimbulkan polemik.
“Setiap orang Indonesia yang mendengar pidato ini akan mengerti bahwa hal tersebut ditujukan kepada orang Tionghoa-Indonesia,” tulis ahli Asia Tenggara dari Cornell University Tom Pepinsky dalam artikelnya “Jakarta’s New Governor Doubles Down On Identity”.
Bagaimana ceritanya istilah "pribumi" menjadi dikotomis dengan istilah "non-pribumi" yang terasosiasi erat dengan Tionghoa-Indonesia?
Bencana Klasifikasi Rasial
Menurut peneliti sejarah era kolonial Indonesia (Hindia Belanda), Andi Achdian, konsepsi pribumi berkembang seiring dengan datangnya kolonialisme Eropa. Istilah tersebut digunakan untuk mengkategorikan orang yang sebelumnya telah tinggal di wilayah tempat mereka berkuasa.
“Pada masa pra-kolonial konsep pribumi tidak dikenal. Konsep negara-bangsa juga tidak terlalu kuat. Orang-orang Eropa menamai orang-orang yang tinggal di pulau-pulau sebagai inlander yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu Pasar sebagai pribumi,” ujar Andi saat diwawancarai oleh Tirto, Selasa (17/10/2017).
Andi menuturkan sebelum penggunaan kata ‘Indonesia’ menjadi populer di awal 1920-an, orang-orang yang tinggal di nusantara kerap menggunakan kata pribumi atau inlander untuk menyebut diri mereka.
Hal tersebut terjadi beriringan dengan klasifikasi rasial penduduk di Hindia Belanda. Undang-Undang Kolonial tahun 1854 menanamkan pemisahan rasial dalam 3 tingkatan status sosial, yakni Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang meliputi orang (peranakan) Cina, Arab, India, maupun non-Eropa lainnya, dan Inlander atau pribumi, yang kemudian diidentikkan dengan masyarakat lokal (ras Melayu), terlebih yang beragama Islam.
Menariknya, kata ‘vreemde’ yang berarti asing hanya disematkan pada kategori orang-orang Timur, tidak pada orang-orang Belanda atau Eropa yang notabene juga pendatang di nusantara. Ketiadaan kata ‘vreemde’ menyiratkan orang Eropa berkuasa atas tanah jajahan—beserta Pribumi dan Timur Asing yang tinggal di dalamnya. Konsekuensi dari pembedaan berdasar ras tersebut, menurut Dhaniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan, adalah pertarungan antara kaum inlander melawan vremde oosterlingen.
Ironisnya, politik pecah belah etnis ala Belanda itu pula yang dilestarikan oleh Presiden Soeharto. Amy Freedman, dalam "Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia", menyebutkan semasa berkuasa, Presiden Soeharto menekan orang-orang Tionghoa untuk melakukan asimilasi. Mereka juga diidentifikasi sebagai ‘non-pribumi’.
Di sisi lain, sejumlah kecil pengusaha etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru juga menikmati berbagai fasilitas dalam mempraktikkan usaha mereka. Akhirnya, tumbuhlah konglomerasi. Segelintir kelompok kaya inilah yang kemudian dianggap sebagai representasi etnis Tionghoa. Sentimen kelas kemudian berimpitan dengan sentimen rasial.
Lengsernya Soeharto pada 1998 membuat segregasi semakin kusut. Dari penjarahan dan pembakaran kios hingga pemerkosaan perempuan Tionghoa-Indonesia terjadi di Jakarta pada 1998.
Menanggapi situasi tersebut, Presiden Habibie, yang menjabat persis setelah Soeharto, mengeluarkan Instruksi Presiden No 26 Tahun 1998 yang melarang penggunaan kata (dikotomis) pribumi/non-pribumi oleh pejabat publik.
“Saya kira itu langkah tepat dari Habibie untuk menghapus penggunaan kata pribumi dalam proyek negara. Jadi ada sensitivitas baru dalam wacana publik yang digulirkan oleh Habibie supaya lebih etis dan beradab. Karena ada kecenderungan penggunaan kata pribumi yang diwarisi oleh Orde Baru berujung pada eliminasi orang-orang non-pribumi,” ujar Andi.
Tanggal 8 Juli 1996, tepat hari ini 25 tahun lalu, pemerintah Orde Baru sebenarnya telah menghapus berlakunya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi keturunan Tionghoa, namun kurang terdengar. Maka tiga tahun berikutnya, hal ini diperkuat oleh Presiden Habibie yang mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang-orang Tionghoa-Indonesia dan memberikan izin untuk mengajarkan bahasa Mandarin di sekolah.
Menjadi Non-pribumi Karena Birokrasi
“Kalau non-pribumi didefinisikan sebagai kaum bermata sipit, berkulit kuning (atau ciri-ciri fisik lain), akan muncul aneka macam masalah. Cukup banyak orang Jawa, Sunda, atau Bali mempunyai ciri fisik seperti itu. Kalau komunitas non-pribumi didefinisikan sebagai kaum pedagang, maka hasilnya juga kacau. Perdagangan bukan profesi tiga atau empat persen penduduk dengan keturunan, jenis rambut, dan bentuk mata atau hidung macam apa pun.”
Pernyataan tersebut ditulis oleh Ariel Heryanto dalam artikelnya berjudul “Apa Ada Nonpribumi?”. Menurutnya, kaum non-pribumi tidak ada, yang ada hanya sejumlah individu warga negara yang secara sepihak dinonpribumikan oleh birokrasi negara.
Tidak hanya kategori non-pribumi yang muncul karena birokrasi. Kategori inlander yang digunakan oleh Belanda juga berubah seiring waktu. Hendrik E. Niemeijer dalam buku bertajuk Batavia menelaah kelompok orang yang dikategorikan sebagai inlander melalui penelusuran arsip-arsip VOC abad ke-17.
Hasilnya, berbagai arsip memuat kelompok mardijker atau mardiker sebagai inlander. Kata mardijker berasal dari kata mardicas yang digunakan oleh Portugis untuk merujuk orang-orang berkulit hitam dan para budak nasrani yang dibebaskan.
“Secara harfiah, kata ini berkaitan dengan kata orang merdeka dalam bahasa Melayu atau mahardhika yang pada zaman Hindu di Jawa berarti orang yang dibebaskan dari membayar pajak,” ujar Niemeijer.
Jika merujuk pada catatan Niemeijer, dengan kata lain di Batavia abad ke-17 kata inlander belum merujuk pada rakyat Pribumi, bumiputra, atau penduduk asli di nusantara, melainkan merujuk kepada mardiker.
Kata ‘Indonesia’, Kata yang Subversif
Setelah pada 1850 etnolog Inggris G.W. Earl menggunakan ‘Indunesians’ dalam papernya dan pada 1884 etnolog Jerman Adolf Bastian menggunakan kata ‘Indonesien’ untuk judul bukunya, kata Indonesia semakin populer digunakan untuk menggantikan kata inlander atau pribumi, terutama oleh kaum pergerakan nasional.
Kata tersebut terutama digunakan sebagai nama organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Perhimpunan Indonesia (PI). Puncaknya, pada 1928 para pemuda menyelenggarakan Kongres Pemuda. Kongres ini menghasilkan pernyataan yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Tiga butir sumpah tersebut menggunakan kata Indonesia untuk merujuk bangsa, tanah air, dan bahasa.
“Arti pentingnya adalah konsep Indonesia sebenarnya menjadi suatu pemahaman tentang kewargaan modern yang menggantikan pribumi yang sebenarnya peyorasi karena pribumi kan artinya orang yang dikuasai dalam artian politik,” ungkap Andi.
Namun, membangun ide mengenai Indonesia tidaklah mudah. Dalam Runtuhnya Hindia Belanda yang disusun oleh Onghokham, pada 1930-an mereka yang menggunakan kata ‘Indonesia’ dianggap anti-rezim kolonial atau anti-Belanda. Pasalnya, waktu itu kata ‘Indonesia’ sedang ramai diperjuangkan oleh kaum pergerakan nasional namun secara tegas pemerintah Belanda menolaknya. Belanda tetap ingin menggunakan kata ‘Hindia Belanda’ dan ‘Inlander/Pribumi’.
H.B Jassin yang saat itu berumur 15 tahun pun tidak lepas dari situasi tersebut. Saat itu laki-laki yang kelak dikenal sebagai sastrawan tersebut sedang menempuh sekolah menengah yang didirikan oleh Belanda di Medan. Tatkala mengerjakan ujian Ilmu Bumi, secara tak sadar dia menulis kata ‘Indonesia’ pada tempat yang seharusnya dia tulis ‘Hindia Belanda’.
Akibatnya—walau belum memiliki kesadaran politis apapun—Jassin dianggap subversif oleh pemerintah kolonial Belanda. Kepala sekolah dan inspektur pendidikan melancarkan berbagai pertanyaan kepada Jassin guna mengetahui motifnya. Jassin pun diancam dikeluarkan dari sekolah dan mendapat catatan hitam dari lembaga Politieke Inlichtingen Dienst (PID)—semacam lembaga intel Hindia Belanda yang menurut Onghokham kerap bertindak represif.
“Apa Saya Betul-betul Asli Itu?”
Sekitar 15 tahun setelah H.B. Jassin dipanggil kepala sekolahnya, pada 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sukarno didapuk menjadi presiden. Walau konflik rasialis masih kerap terjadi, menurut Andi, pada masa Presiden Sukarno konsepsi pribumi tidak melulu menyentuh pada ras, seperti yang terjadi pada Orde Baru. Di luar konsep rasialnya, pribumi juga merujuk pada persoalan warga miskin.
“Di dalam kehidupan Orde Lama, wacana pribumi lebih mengetengahkan pada status ekonomi, seperti orang-orang melayu yang miskin atau orang-orang Jawa yang miskin. Bagi Sukarno, tidak masalah jika orang keturunan Tionghoa misalnya mengakui Indonesia sebagai tanah kelahiran. Dia lebih menekankan patriotisme dibanding ikatan darah,” kata Andi.
Kata pribumi kerap ramai diperbincangkan. Jelas ini bukan yang pertama, dan mungkin pula bukan yang terakhir. Sebelum menggunakan sentimen identitas, tokoh publik semestinya belajar dari Sukarno.
“Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, Saudara-Saudara,” ujar Sukarno pada pidato pembukaan kongres Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), gabungan beberapa organisasi orang Tionghoa, Maret 1963.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan pada 20 Juli 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi