tirto.id - Suara isak tangis terdengar dari seorang perempuan muda saat tubuhnya digotong paksa oleh sekelompok laki-laki ke dalam rumah bambu. Si pemilik rumah sudah menunggu sambil menggenggam sebaskom air yang kemudian dicipratkan ke dahi perempuan itu. Di lain tempat, kegaduhan serupa terjadi di tempat umum diiringi suara sorakan ratusan orang.
Dua peristiwa yang terjadi di waktu berlainan itu direkam ke dalam dua video pendek dan sempat viral di media sosial pada 16 dan 23 Juni 2020 lalu. Keduanya terjadi di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai “kawin tangkap.”
Kawin tangkap diterjemahkan oleh warga setempat sebagai tahap awal perkawinan adat. Praktik yang sudah dikenal di pedalaman NTT sejak dulu ini diawali dengan pura-pura menculik calon mempelai perempuan yang sudah didandani ke rumah calon mempelai laki-laki. Peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, disusul penyerahan belis (mahar).
Sayangnya, kawin tangkap yang juga dikenal di Bali pada masa lampau ini praktiknya sudah melenceng dari kebiasaan. Dalam dua kasus yang terjadi di bulan Juni 2020 terdapat unsur pemaksaan dan intimidasi lantaran si perempuan tidak sudi dibawa lari. Sebagian pelaku penangkapan juga terlihat membawa senjata tajam seakan sedang melakukan penculikan sungguhan. Pada 2019 lalu, seorang remaja berusia 16 tahun bahkan sempat diperkosa karena menolak menikah dengan laki-laki yang menangkapnya.
Kompas (2/7/2020) merangkum kesaksian penyintas kawin tangkap berdasarkan data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruatu), Sumba. Menurutnya, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap yang terjadi sepanjang tahun 2016 hingga Juni 2020. Pada dua kasus terakhir, salah satu perempuan akhirnya menikah di bawah tekanan.
“Keluarga pelaku datang membawa seekor kerbau, seekor kuda, dan sebilah parang ke rumah orang tua perempuan sebagai mahar pernikahan. Mereka menerima pemberian keluarga pelaku dan sepakat menggelar perkawinan adat di bulan Juli,” tulis Kompas (22/6/2020).
Warisan Budaya Kekerasan
Tradisi pernikahan yang merugikan kaum perempuan itu nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan dikenal di hampir seluruh dunia. Menculik untuk menikah bisa dilihat jejaknya dalam sejarah perang antarsuku yang terjadi sepanjang periode Yunani dan Romawi kuno. Laki-laki Eropa abad pertengahan terbiasa menculik perempuan yang dipandang bisa meningkatkan status sosial lewat pernikahan.
Caroline Dunn, sejarawan yang banyak meneliti perempuan Eropa abad pertengahan, berpendapat menculik pengantin erat kaitannya dengan pernikahan paksa. Dalam Stolen Women in Medieval England (2013: 82) dia memaparkah bahwa “dalam kasus pernikahan paksa, pemerkosaan dan penculikan adalah konsep yang tumpang tindih, karena penculik seringkali memperkosa korban dengan tujuan mempermalukan dan menjebaknya ke dalam pernikahan.”
Kebiasaan ini juga berkembang di kalangan suku Romani (Gipsi) di Eropa dan dipraktikan di benua Amerika, Afrika, dan kawasan Kaukasus. Di beberapa negara Asia Tengah (Kazakhstan, Uzbekistan, dan Kirgistan), menculik pengantin dapat ditelusuri ke sejarah Kirgistan kuno. Para jagoan suku nomaden dari kawasan pergunungan biasanya menggerebek perempuan yang tidak dia kenal dari suku musuh dengan tujuan memusnahkan keturunan mereka.
Barbara Ayres dalam studi “Bride Theft and Raiding for Wives in Cross-Cultural Perspective” menyebut ada empat pola penculikan mempelai perempuan di seluruh dunia. Selain dengan jalan menggerebek, ada pula cara menculik mempelai dalam desa yang sama, diikuti negosiasi antarkeluarga dan penyerahan mahar. Selain itu, ada kalanya penculikan dilakukan atas kesepakatan pihak perempuan demi menghindari perjodohan atau bagian dari upacara adat.
Mahalnya Mahar
Sementara menurut Russell Kleinbach, Profesor Emiritus Sosiologi di Universitas Philadelphia, menculik pengantin bukanlah hal yang lumrah dilakukan di belahan dunia manapun. Para pelaku biasanya akan menerima hukuman rajam bila tertangkap. Sayangnya di masa modern, menghukum para pelaku tidak lagi semudah melempari mereka dengan batu sampai mati.
Di awal tahun 2000-an, Kirgizstan mendulang reputasi buruk sebagai “pusat penculikan pengantin perempuan.” Ketika itu semakin banyak peneliti dan aktivis yang mengecam pelanggaran hak-hak perempuan dalam kebiasaan primitif tersebut. Antara tahun 1999 dan 2001, sekitar 50 persen pernikahan etnis yang terjadi di Kirgizstan timbul dari hasil penculikan.
Kleinbach dan rekan-rekannya mengutip pendapat sejarawan Fannina Halle, yang menyebut kasus penculikan pengantin di negara-negara bekas Uni Soviet ibarat relik simbolis yang terbangun berkat kondisi politik kontemporer. Dia menunjuk adanya reaksi negatif laki-laki konservatif terhadap undang-undang kesetaraan gender yang diberlakukan pemerintahan sosialis Uni Soviet sejak tahun 1920-an berperan memunculkan kembali praktik tersebut. Menculik perempuan desa ke dalam pernikahan secara efektif memblokir migrasi perempuan ke perkotaan.
Pada tahun 1991, jumlah kasus pernikahan non-konsensual meroket tajam setelah federasi negara sosialis itu tumbang dan menyisakan sejumlah masalah sosial baru. Krisis ekonomi yang terjadi setelahnya menghasilkan lebih banyak laki-laki muda pengangguran yang tidak mampu lagi membayar mas kawin atau kalym. Demi bisa menikah, mereka lantas mengambil tindakan sendiri di bawah klaim budaya setempat.
“Saya tidak mampu membayar kalym, tetapi saya harus menikah, dan saya telah memutuskan untuk mencuri seorang istri untuk diri saya sendiri,” kata Temirlan, 24 tahun, seperti dikutip oleh Institute for War and Peace Reporting. Kalym sering kali datang berbentuk uang tunai, hewan ternak, atau barang-barang rumah tangga yang mahal seperti permadani hingga furnitur.
Kleinbach dalam makalah “Kidnapping for Marriage (ala kachuu) in a Kyrgyz Village” mengimbuhkan bahwa jika seorang laki-laki yang ingin menikah tidak memiliki sumber daya untuk membayar mahar, maka dia akan membayar sejumlah kecil saja kemudian menculik perempuan pilihannya. Setelah itu, ayah dari laki-laki tersebut harus mengunjungi ayah dari calon mempelai perempuan untuk meminta maaf dan bernegosiasi.
Kendati tidak sepenuhnya sama, mahalnya harga sebuah pernikahan yang dikenal di Asia Tengah tidak jauh berbeda dibandingkan dengan yang dikenal di Indonesia. Masyarakat tradisional di pedalaman Sumba mengenal tradisi belis, sama halnya dengan orang Batak mengenal sinamot atau orang Bugis mengenal uang panai. Besarnya harga mahar tergantung status sosial dan pendidikan mempelai perempuan.
Dilaporkan VICE Indonesia, mas kawin yang harus dibayar oleh laki-laki Sumba nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Semakin terpandang keluarga mempelai perempuan, semakin banyak kuda dan kerbau yang digiring ke rumahnya. Menurut kepercayaan, perempuan yang dipinang melalui cara ini artinya sangat tinggi nilai dirinya. Sementara bagi pihak laki-laki, belis dianggap sebagai simbol perjuangan, pengorbanan, dan ketulusan dalam meminang.
“Biayanya berat, saya habis beratus-ratus juta bawa 1 kambing juga dan 1 babi belum makanan-makanan lainnya,” kata Nando, warga asli Larantuka yang bekerja sebagai supir, mengutip Merdeka.com.
Terlepas dari fungsi belis yang jadi polemik karena terlihat seperti transaksi kekayaan dua keluarga, menculik pengantin tanpa persetujuan jelas merupakan tindakan dominasi beberapa orang laki-laki yang kurang percara diri menghadapi konsepsi pernikahan semacam ini. Ada kalanya pula, seorang laki-laki nekat menghamili perempuan pujaannya hanya agar harga belis-nya bisa dikorting.
Editor: Irfan Teguh Pribadi