Menuju konten utama

Perkosaan dalam Perkawinan Itu Nyata dan Bisa Membunuhmu

Undang-undang kita mengatur laki-laki, wajib memberi semua kebutuhan rumah tangga, sementara istri, mengatur keperluan rumah tangga, bukan memberi pelayanan seksual setiap saat pada suami.

Perkosaan dalam Perkawinan Itu Nyata dan Bisa Membunuhmu
Ilustrasi pemerkosaan terhadap pasangan yang sah. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jika pemaksaan hubungan seksual dengan oleh suami disebut perkosaan, maka bisakah seorang istri yang meminta paksa uang suaminya disebut merampok?

Beberapa minggu lalu, sekadar melepas penat, saya mengunjungi sebuah acara

stand up comedy di Jakarta. Tema malam itu membahas segala hal yang tabu, termasuk masalah seksualitas dan agama. Awalnya saya berpikir guyonan para pelawak itu akan lucu dan berbobot, mengingat banyaknya isu seksualitas dan agama yang diangkat.

Tapi pertengahan acara, saya memilih pulang. Seorang komika pria tiba-tiba membahas perkosaan dalam hubungan pernikahan. Mulanya saya berharap ia bisa membawa guyonan berbobot, menyuarakan opini dari sisi perempuan, dan membuka pemahaman penonton bahwa perkosaan bisa juga terjadi dalam perkawinan sah.

Tapi harapan saya terlalu muluk, guyonan si komika tetap misoginis. Ia bilang, “Tujuan kita nikah kan buat ngewe, itu istri emang buat diewe, kok dibilang memperkosa?”. Pernyataannya itu disambut teriakan riuh penonton yang sebagian besar laki-laki.

Pandangan semacam itu, bukan kali ini saja saya temui. Tak usah jauh-jauh membahas soal pemuka agama yang bilang bahwa kewajiban istri adalah melayani suami. Lingkaran keluarga dan pertemanan saya pun banyak yang berpendapat sama.

Saya teringat pernah membuka diskusi dengan seorang kawan. Namanya Ozi, 33 tahun. Ia bekerja sebagai pegawai di sebuah kementerian.

Ozi mengaku tak pernah marah jika istrinya menolak berhubungan seksual, apalagi jika sang istri dalam kondisi sakit. Tapi, ia juga keberatan terhadap sanksi hukum yang dijatuhkan kepada suami akibat mengajak istrinya berhubungan seksual. “Konyol,” katanya menanggapi saya yang panjang lebar membeberkan aturan-aturan tersebut.

“Kasarnya enggak mungkin juga istri ngelaporin, emang lu mau suami lu dipenjara? Terus yang cari nafkah siapa?”

Ozi masih juga mengeluarkan argumennya yang seolah tak memberi pilihan pada perempuan. “Tinggal pilih, mau suaminya jajan atau nolak (berhubungan seksual).”

Rekan lain (laki-laki tentunya) yang ikut nimbrung dalam obrolan kami menimpali dengan sebuah analogi: “Kalau begitu konsepnya, istri bisa dilaporkan atas kejahatan merampok ketika meminta uang suami secara paksa.”

Perkosaan dalam Pernikahan Nyata Adanya

Anggapan bahwa perkosaan tak mungkin terjadi dalam perkawinan sah tak punya dasar empiris. Sudah banyak kasus perkosaan dalam rumah tangga yang berujung pada cidera, bahkan kematian istri.

Contohnya kasus yang terjadi pada 2014. Sebuah berita kematian datang dari seorang perempuan asal Denpasar, Bali. Namanya Siti Fatimah, ia meninggal karena mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluan.

Beberapa minggu sebelum ia meninggal, suaminya, M. Tohari alias Toto (57 tahun) memaksa Siti berhubungan badan. Siti sempat menolak karena merasa tidak enak badan, napasnya sesak dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi Toto tak peduli. Miris, atas perbuatannya Toto hanya dijatuhi hukuman penjara 10 bulan.

Mundur ke belakang, kasus di tahun 2011 di Pasuruan, Jawa Timur, melibatkan Hari Ade Purwanto (29 tahun) sebagai pelaku, dan Sri Wahyuni sebagai korban. Relasi pernikahan mereka sedang renggang saat Ade mencegat Sri sepulang kerja dan membawanya ke hutan Nongkojajar. Ade kemudian memperkosa Sri. Ia menggunakan dalih agama bahwa istri wajib melayani kebutuhan biologis suami.

Pada kasus terakhir, hakim Pengadilan Negeri Bangil, Jatim mengganjar hukuman 1 tahun 3 bulan kepada Ade. Kisah Siti dan Sri cuma sebagian kecil kasus yang terkuak dan berhasil dibawa ke persidangan. Ada lebih banyak kasus kekerasan seksual terpaksa dipendam oleh perempuan sebagai istri karena ketidakberdayaan mereka, dan tentu saja, akibat tekanan norma yang seksis.

“Budaya kita masih permisif terhadap kekerasan. Suami seolah boleh pukul istri, suami boleh perkosa istri, orang tua boleh pukul anak,” kata Inggrid Irawati Atmosukarto, peneliti dari Rutgers WPF Indonesia, lembaga yang aktif menangani masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi, dalam Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (ICIFPRH), beberapa waktu lalu.

Ketimpangan relasi itu membikin banyak perempuan harus kembali ke ruang operasi, mengulang jahitan di liang vagina mereka yang masih basah, karena suaminya memaksa berhubungan seksual pasca-melahirkan. Ada pula yang menahan sakit ketika suami meminta penetrasi dobel, dan memasukkan beragam benda ke anus atau vagina.

Para perempuan itu juga terlihat memar di sejumlah bagian tubuh karena pasangannya terobsesi menyakiti mereka. Tak sedikit yang pasrah menerima ajakan seks suami meski sedang menstruasi. Karena urusan norma, mereka menuruti permintaan suami yang menuntut seks oral, meski merasa enggan.

Ingatkah kasus Vina Garut? Perempuan itu jadi korban dari suami yang ingin melihatnya berhubungan seksual dengan pria lain.

“Yang mereka (pria) tidak tahu, hubungan seksual itu harus konsensual,” kata Irawati.

Sebelumnya Tirtojuga pernah membahas efek negatif lain dari pemaksaan hubungan seksual. Selain sakit dan nyeri di organ reproduksi, perkosaan dalam rumah tangga bisa memicu atau menularkan infeksi/penyakit seksual, pusing, gangguan kejiwaan pada pasangan, dan tentu, merusak relasi pernikahan.

Infografik Material Rape

Infografik Material Rape. tirto.id/Sabit

Upaya Menegakkan Aturan Hukum

Pro-Kontra soal hukuman pada pelaku perkosaan dalam rumah tangga mulai mencuat ketika wacana Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) muncul. Meski RKUHP ini banyak diprotes karena memiliki banyak pasal bermasalah. Nyatanya, ada juga poin hukum anyar yang progresif.

Pasal 480 ayat (1) undang-undang ini mengatur sanksi hukum bagi orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam upaya persetubuhan. Hal tersebut digolongkan sebagai perkosaan dan mendapat ancaman pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Sementara Pasal 480 ayat (2) memperluas definisi tindakan perkosaan dalam rumah tangga mencakup persetubuhan dengan persetujuan, namun terjadi dalam situasi di mana pasangannya percaya mereka adalah suami/istri sah. Pasal ini bisa menjerat para pelaku penipuan dalam pernikahan, atau pelaku nikah siri.

Kedua pasal ini menambal celah dalam Pasal 285 KUHP yang hanya menjerat pelaku perkosaan tanpa ikatan perkawinan. Sejatinya, aturan soal sanksi pelaku perkosaan dalam rumah tangga sudah termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Pasal 8 huruf a undang-undang tersebut menjabarkan definisi kekerasan seksual sebagai pemaksaan hubungan seksual--yang bisa dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Sementara Pasal 46 UU PKDRT menyebut perilaku itu diganjar pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta. Yang perlu digarisbawahi, pasal-pasal ini berlaku bagi kedua belah pihak.

“Tapi perlu dipahami, bahwa tidak semua pemaksaan dianggap kekerasan. Ketika ada ketimpangan relasi, menimbulkan kesakitan, dan tidak manusiawi, baru negara hadir,” jelas Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati kepada Tirto, Kamis (10/10/2019).

Jadi menurutnya, analogi perampokan oleh istri yang memaksa minta uang kepada suami tidaklah tepat. Apalagi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur kewajiban suami untuk memberikan segala kebutuhan hidup berumah tangga. Sedangkan isteri wajib mengatur keperluan rumah tangga. Meski UU tersebut bermasalah karena mendasarkan pembagian kerja dalam rumah tangga sesuai jenis kelamin, tindakan isteri untuk memaksa suami memberi nafkah justru bisa dianggap 'membantu' pihak laki-laki agar tidak terjerat gugatan UU Perkawinan. Lagipula, faktanya menurut data Komnas Perempuan, pelaporan kasus dalam rumah tangga antara pria dan wanita sangat timpang jika dilihat dari jenis pasal yang digunakan.

Jika perempuan melakukan pelaporan atas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka seringkali pihak laki-laki melapor balik atas bermacam tuduhan seperti pencurian, penggelapan, penculikan, atau pencemaran nama baik. Bahkan sebanyak 60 persen perempuan dikriminalisasi karena melawan KDRT yang mereka terima, termasuk di dalamnya kekerasan seksual.

“Ukuran siapa korban, siapa pelaku, jadi dimanipulasi,” ungkap Sri, menanggapi situasi penegakan hukum soal kekerasan dalam rumah tangga.

Lebih spesifik lagi, dari ratusan kasus kekerasan seksual di Indonesia, hanya sepuluh persen kasus berhasil dilaporkan. Dari jumlah tersebut, sekitar lima persen masuk persidangan, dan kasus yang berhasil vonis dengan hukuman sekitar 2-3 persen saja.

Kondisi mengenaskan itu terjadi bahkan ketika Indonesia punya payung hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika aturan-aturan itu dihapuskan, misalnya karena ada kelompok yang ingin melakukan judicial review atau masuk lewat Program Lesgislasi Nasional (Prolegnas).

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf