tirto.id - Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, masih belum melihat perubahan dari media massa di Indonesia dalam memberitakan kasus-kasus perkosaan yang menimpa wanita.
Menurutnya, media masih menempatkan wanita sebagai objek bukan subjek pemberitaan.
"Posisi media dan publik itu tidak setara. Media punya kekuasaan dalam menarasikan dan orang hanya menerima," ujarnya dalam diskusi 'Reproduksi Mitos Perkosaan di Media' di Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).
Ia pun memberi contoh salah satu judul pemberitaan di media massa 'Gadis 14 Tahun Digagahi Empat Pria Secara Bergilir'.
Menurutnya, kata 'digagahi' menunjukkan perkosaan ialah suatu nilai kejahatan maskulin. Begitu juga dengan pemakaian kata 'gadis' dan 'secara bergilir' yang menurutnya menimbulkan daya imaji hubungan seksual pada pembaca.
"Pilihan kata gadis, janda, cantik atau digagahi mengandung nilai yang cabul dan tidak adanya empati pada korban. Biasa disebut rape culture atau budaya yang menormalkan perkosaan dalam sistem masyarakat yang patriarkis," ujarnya.
Pemilihan kata tersebut, lanjut Mariana, menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang biasa.
Dalam kata-kata yang digunakan tersebut, menurutnya, menunjukkan laki-laki dengan nafsu birahinya adalah sesuatu yang normal. Sementara bagi perempuan, menjadi korban pemerkosaan adalah sesuatu yang harus diterima.
"Mari kita bongkar nilai patriarkis dari berbagai kata yang mereka [media] gunakan tersebut," pungkasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno