Menuju konten utama

Bumi Manusia, Novel Sejarah Karya Pramoedya yang Dilarang Orde Baru

Film Bumi Manusia diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang oleh rezim Soeharto.

Bumi Manusia, Novel Sejarah Karya Pramoedya yang Dilarang Orde Baru
Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananata Toer yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. FOTO/Istimewa

tirto.id - Film Bumi Manusia yang dibintangi Iqbaal Ramadhan sebagai Minke rilis di bioskop Indonesia, Kamis (15/8/2019) hari ini. Sinema garapan sutradara Hanung Bramantyo ini diadaptasi dari novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul serupa yang pernah dilarang Orde Baru (Orba) di bawah rezim Soeharto.

Pram, sapaan akrab Pramoedya, kerap mengalami ketidakadilan pada zaman Orde Baru. Dikutip dari buku Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2013) yang ditulis Koh Young Hun, tokoh kelahiran 6 Februari 1925 ini diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, tanpa proses pengadilan.

Mental Pram tak lantas runtuh. Penulis asal Blora, Jawa Tengah, ini menjadikan pembuangannya ke Pulau Buru –dari Agustus 1969 hingga November 1979– sebagai momentum untuk terus berkarya. Kendati dilarang menulis, Pram justru mampu menyusun rangkaian naskah yang kelak menjadi karya masterpiece-nya.

Di tanah buangan itulah Bumi Manusia tercipta. Ini merupakan seri pertama dari empat novel yang terangkai dalam "Tetralogi Pulau Buru". Tiga seri lainnya berjudul Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

"Tetralogi Pulau Buru" mengisahkan tentang perjalanan hidup Minke, seorang ningrat-intelektual Jawa yang dengan segala daya upaya berusaha menyadarkan rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan.

Minke yang merupakan karakter fiksi sebenarnya merujuk kepada tokoh nyata, yakni Tirto Adhi Soerjo. Tirto adalah perintis pers bumiputera sekaligus pelopor pergerakan nasional di awal abad ke-20.

Selain karya semi-fiksi "Tetralogi Pulau Buru", Pram juga menulis buku non-fiksi mengenai Tirto Adhi Soerjo dengan judul Sang Pemula (1985).

Pramoedya vs Orba

Pemerintah Orde Baru melarang para mantan tahanan politik menyebarkan tulisannya. Namun, Pramoedya jalan terus. Bersama Hasjim Rachman dan Joeseoef Ishak yang juga pernah ditahan di Pulau Buru, Pram mendirikan penerbit Hasta Mitra.

Buku-buku karya Pram pun terbit di bawah naungan Hasta Mitra. Gebrakan perdana adalah menerbitkan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa pada 1980 dan 1981. Dua seri awal "Tetralogi Pulau Buru" ini laris manis, hanya dalam waktu 6 bulan sudah dicetak ulang tiga kali.

Rezim Orde Baru tak pelak kebakaran jenggot karena merasa kecolongan atas munculnya dua karya Pram tersebut. Kejaksaan Agung RI pun mengeluarkan larangan peredaran Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

Bahkan, Maxwell Lane, Staf Kedutaan Besar Australia di Jakarta yang menerjemahkan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, dipulangkan ke negaranya.

Begitu pula percetakan Ampat Lima yang mencetak kedua karya Pram, seperti dikutip dari Portal Sastra, akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan Agung dan aparat.

Kejaksaan Agung juga menarik buku-buku Pram yang sudah terlanjur beredar. Namun, hanya 972 eksemplar yang bisa diperoleh, jauh lebih sedikit dibanding total buku yang telah beredar yaitu sebanyak 20 ribu eksemplar.

Antara Lekra dan PKI

Orde Baru menyematkan label kiri kepada Pramoedya lantaran ia pernah bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang kerap dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lekra memang sempat lekat dengan PKI, namun lembaga yang menaungi kaum sastrawan dan seniman revolusioner ini tidak pernah menjadi bagian resmi dari partai politik berhaluan kiri tersebut.

Dilaporkan Majalah Tempo (30 September 2013), Ketua Central Comite PKI Dipa Nusantara Aidit pernah berselisih dengan Njoto, wakilnya, mengenai posisi Lekra yang sebelumnya mereka dirikan.

Aidit menghendaki Lekra melebur dengan PKI, namun Njoto dengan tegas menyatakan tidak setuju. Njoto beralasan, di dalam Lekra terdapat para seniman yang bukan anggota PKI, termasuk Pramoedya Ananta Toer.

Jika Lekra tetap dipaksakan menjadi bagian resmi partai, kata Njoto, bukan tidak mungkin para seniman non-PKI itu justru bakal hengkang, dan jika itu terjadi, tentu bukan menjadi keuntungan bagi Lekra maupun PKI sendiri.

Selain politisi, Njoto juga dikenal sebagai sosok yang memiliki pengetahuan tentang kesenian yang luas, dan pengaruhnya di Lekra lebih besar ketimbang Aidit. Berkat Njoto, Lekra tidak pernah menjadi bagian resmi dari PKI.

Hanya saja, oleh rezim Orde Baru, Lekra disamaratakan dengan PKI yang harus dibasmi. “Tak satu pun yang berhasil mem-PKI-kan Lekra, kecuali Soeharto. Bahkan, Aidit tidak bisa,” kata Putu Oka Sukanta, seniman asal Bali, dikutip dari Tempo.

Itulah alasan mengapa Pramoedya Ananta Toer, beserta karya-karyanya, membuat penguasa dan pemerintahan Orde Baru alergi.

Selain Bumi Manusia yang dihidupkan kembali lewat layar lebar dan tayang perdana pada 15 Agustus 2019 ini, Falcon Pictures selaku rumah produksinya juga merilis film dari adaptasi karya Pramoedya lainnya, yakni Perburuan yang disutradarai oleh Richard Oh.

Novel Perburuan diterbitkan pada 1950 dan pernah memenangkan Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Wisnu Amri Hidayat

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Iswara N Raditya & Wisnu Amri Hidayat
Editor: Abdul Aziz